Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kisah Udin, sang Perantau dari Uloe

28 Oktober 2010   13:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:01 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penanganan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang cenderung tidak manusiawi belakangan ini kerap menyulut ketegangan antara Indonesia dan Malaysia. Di sisi lain, banyak TKI belum sadar tentang pentingnya kejelasan status kerja mereka agar tidak menjadi “sapi perah” aparat kedua negara. Rendahnya kesadaran serta situasi ekonomi yang rentan krisis kerap menjadi pemicu persoalan bagi para TKI saat mengadu nasib. Bagi mereka yang penting bekerja. Mereka tidak mau pusing dengan administrasi atau keimigrasian. Di balik itu ada beberapa kisah menarik yang dialami oleh mereka untuk jadi pelajaran bersama. Salah satunya pengalaman seorang mantan TKI asal Kampung Uloe, Kabupaten Bone berikut ini. *** “Halo, iya. Ini aku, Zaenuddin sopir. Iya, aku bilang sopir. Ini Zaenuddin, Udin, ya Udin. Si Ucok ke Palopo. Rustam juga,” Katanya. Lelaki muda bertubuh ceking ini terus saja bicara di telepon. Saya berkenalan dengannya di depan Hotel Raslim Watampone. Gaya Udin bicara terdengar berbeda dengan warga Watampone lainnya, walau logat Bugis masih terbaca. Dia banyak menyebut kata “aku”, itu yang beda. “Nama aku, Zaenuddin tapi saat masuk di Malaysia aku berganti nama jadi Anwar. Penggantian nama itu demi memudahkan surat izin bekerja,” Terangnya. Dia mengakui bahwa untuk bekerja di negeri Jiran ditempuh banyak cara termasuk menggunakan paspor orang lain atau bahkan mengubah nama. “Banyak warga Bugis yang dipersulit terkait dokumen ini. Seperti saat diberlakukan aturan 05 yang menyebutkan bahwa hanya Bumiputera yang layak diberi kartu sah,” Katanya bercerita. Saya tidak tanya apa itu aturan 05. “Ada juga pekerja yang baik sifatnya, telah lama kerja namun tetap dipersulit juga,” Sambungnya. Dia mau bilang kalau ada seleksi yang ketat pada pemberian izin kerja itu. Yang lahir dan besar di Malaysia masuk kategori Bumiputera walau orang tuanya Bugis atau suku lain. Yang tidak memenuhi kriteria ini, out! *** Udin tamat SD di Uloe, satu kampung di poros Watampone – Sengkang. Dia tidak sempat bersekolah lanjutan lagi. Dia kelahiran tahun 1971. “Aku merantau sejak tahun 1987. Selama itu sudah 5 kali aku pulang ke Bone,” Katanya terlihat bangga. “Selama di Sandakan, aku pindah lokasi kerja empat kali. Tapi kerjaan utama tetap sebagai sopir mobil atau pemandu kelapa sawit ke kilang. Sebagai sopir dia dapat gaji sebesar RM. 2.000 perbulan. Kalau yang tenaga angkat sawit sebesar RM.1.500 perbulan,” terangnya. “Kalau ada orang berbahasa Inggris, aku bisa mengerti sedikit, tapi tidak bisa ucapkan,” katanya. “Kerja di kebun kelapa sawit itu, sulit dan beratnya minta ampun,” akunya. Zaenuddin alias Anwar alias Udin telah 23 tahun bekerja di Sandakan, Sabah, Malaysia sebelum dipulangkan oleh pemerintah Malaysia. Dia menuju Sandakan saat belia. Dia ikut melintas dari Tarakan kemudian melewati daerah Sukanyamuk hingga masuk Tawau bersama kawan sekampung dari Uloe. “Saat itu kita mesti ada paspor sebagai dokumen melintas batas,” Katanya. “Tapi kini, aku kembali ke Bone, belum setahun. Semua karena semakin ketatnya pemeriksaan dokumen pekerja,” kata Udin yang pulang dengan sepupunya setelah 23 tahun di Malaysia. “Padahal di Malaysia, Abang pun ada. Istrinya orang Banjar dan tinggal di Sabah,” Katanya. Udin sendiri beristrikan wanita Pinrang namun kini, sang istri jadi tenaga kerja di toko elektronik. “Dia kerja di KL,” kata Udin yang baru saja kehilangan ibu kandungnya. Istri Udin kini kerja di Kuala Lumpur. Dia bersaudara empat orang, dia bungsu, ada satu perempuan. Dua saudaranya yang lelaki masih bekerja di Malaysia. Hanya dia yang dipulangkan. “Polisi Malaysia memang ada juga yang jahat tapi lebih banyak yang baik. Sebenarnya aku pernah diperiksa tapi tak ditangkap, aku bisa lolos karena punya paspor. Selain itu kita juga mesti sopan dan tidak macam-macam,” Ungkapnya seraya mengisap rokok filternya. “Dulu kita mesti ambil paspor, harus ada lisensi. Abang aku di Sandakan, tetap aman. Rupanya nasib juga yang menentukan,” Katanya. Entah mengapa paspornya tidak berlaku lagi. “Saat ini semakin susah dapat paspor. Aku dengar susah ambilnya kecuali ada jaminan dari sana untuk bekerja lagi,” katanya. Udin mesti pulang sejak diberlakukannya aturan tenaga kerja di Malaysia itu. Dia pulang melalui Sandakan – Tawau – Nunukan hingga Pelabuhan Pare-Pare. “Saat di Malaysia aku sempat ikut pemilu di Malaysia. Aku dapat surat memilih dari pusat,” katanya. Udin yang telah 23 tahun bekerja di Malaysia mengalami nasib tragis, dipulangkan pemerintah Malaysia karena masalah dokumen kerja. Tapi kini, dia mengaku senang jadi sopir mobil umum trayek Watampone – Sengkang. Mobil milik keluarganya. Jika penumpang ramai dia bisa membawa penumpang hingga Palopo. Entah sampai kapan. Pangkajene, 26102010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun