Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Enyahkan Enam Pengikut Ini

8 April 2016   07:40 Diperbarui: 8 April 2016   07:51 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pengalaman pelatihan leadership oleh Pemkab Wakatobi (foto: Kamaruddin Azis)"][/caption]Bolehlah mampir sejenak memberi senyum, menyalami dan berbasa-basi pada orang tua jompo yang duduk di koridor jalanan. Anda ragu tentang higienitas mereka? Takut bersalaman? Sesekali tak apa. Sapalah mereka. Percayalah bahwa mereka adalah pemilik pengalaman. Telah bertahun-tahun meniti hidup dan terus bertahan hingga kini, tidakkah itu istimewa?

Atau begini, sebagai bagian dari kantor atau organisasi yang telah menyuapi anda gaji dan segala kemewahan struktural, pernahkah anda menyapa tukang sapu, satpam atau kurir kantor anda? Jangan salah, mereka adalah pilar tempat kerja anda. Sekali mereka beritikad buruk nasib anda dan kantor anda akan pupus.  

“Satu korek emosi kalian bisa membakar dan meluluhlantakkan kesombongan pedagang di pasar.” Tetiba ingat pesan guru SMP saya di Galesong, Sulawesi Selatan puluhan tahun silam, namanya Pak Rasul. Pak Rasul ingin bilang, kalian yang muda, masuklah dalam barisan perubahan.

Semua unsur dalam kantor anda adalah bagian dari sistem kerja anda. Semua yang ada di lingkungan anda adalah bagian dari sistem lingkungan.  Ajak mereka bicara dan susunlah alur dan arah masa depan bersama mereka.  “Persoalan kita terletak pada kualitas komunikasi,” kata sahabat saya Ashar Karateng saat memberikan pelatihan Leadership pada eselon III PNS Pemerintah Wakatobi tahun lalu.

Ashar menambahkan. “Kita lebih senang berdebat ketimbang mencari titik awal, titik temu dan titik solusi. Kita tak menyiapkan telinga. Kita menunggu orang berhenti bicara dan me-reply. Kita tidak sungguh-sungguh mendengarkannya. Bukan hanya aktivis LSM, di beberapa organisasi pun demikian, di kantor pemerintah bahkan sekelas guru besar sekalipun,” kata Ashar melanjutkan.  “Cobalah lihat gejala sosial, atau apapun. Ajak sesiapa yang ada di dalamnya untuk berdialog,” pesannya.

***

Rekan sekalian, kita seringkali hanya melihat gejala dari masalah yang kita hadapi,  bukan inti masalah. Bukan “problem root” sehingga upaya yang kita ambil tidak terhubung  atau diskonek dengan penyelesaian masalah yang sebenarnya. Nampaknya kita butuh kesadaran baru untuk menatap masa depan lebih baik dengan memperbaiki gaya kita berkomunikasi, melacak penyebab gejala hingga merekonstruksi itikad baik. Menggerakkan tangan untuk mendorong perubahan.

Tapi jangan lupa untuk mengenyahkan boyongan beban dari masa lampau yang selama ini menggerogoti daya kreasi kita. Enyahkan tabiat bawaan historis yang selalu merengek menjadi mahkota masa depan anda. Apa itu?

Yang pertama , kebiasaan lampau yang mengabaikan fenomena dan krisis sekitar. Dia menutup mata dan telinga saat melihat ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, politik. Apapun. Tak melakukan apa-apa. Dia seperti seorang penumpang kapal kayu, yang tahu kapalnya bocor tetapi hanya mencari buritan di kapal itu.  

Kedua, sombong. Sampaikan ke masa lalu anda untuk tinggalkan laku sombong dan menyalahkan orang luar secara berulang-ulang tanpa melihat ke dalam. Itu adalah arogansi yang membunuh peluang. Ketiga, alpa. Alpa atau tiada saat orang sedang susah. Ke depan, tetaplah kreatif dan inovatif sebab kita adalah pemimpin setidaknya untuk diri kita. Pemimpin yang baik adalah bagian dan terus bersama dengan sesiap yang hendak berubah. Jangan menjauh apalagi mengkhianati mereka. Siapapun anda, nelayan, petani, ketua kelompok, manajer, pemimpin, atau presiden sekalian.

Keempat, manipulatif. Jauhilah kebiasaan memanipulasi, abaikan godaan untuk hanya memaksanakan nilai-nilai personal, cobalah untuk memeluk mitra anda, bahkan musuh sekalipun. Kelima, buang jauh ego diri, jangan beri ruang untuk mau menang sendiri dan menumpuk harapan untuk anda saja. Bagikan. Keenam, berhentilah merusak bibit-bibit kebaikan, hindari bully berlebihan sebab saat anda menunjuk orang lain sebagai biang keladi, empat jari lainnya mengarah ke anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun