Mohon tunggu...
Muhammad Ismail
Muhammad Ismail Mohon Tunggu... Pegawai Pemerintahan dan Kuli Tinta -

Penikmat kopi. Mempunyai cita-cita jadi penulis dan blogger, tetapi sampai bio ini ditulis belum ada satupun tulisan dan blog yang dihasilkan. Lahir dan besar di pesisir, memiliki atensi terhadap berita-berita tentang kelautan, konservasi dan pulau-pulau kecil. Motivator ulung dikalangan cewek-cewek patah hati.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pulau Miossu, Pulau Terluar Saksi Bisu Masuknya Injil ke Tanah Papua (Part 1)

22 Januari 2016   16:52 Diperbarui: 22 Januari 2016   23:44 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara berdecik ban mobil membangunkan kami yang tertidur lelap. Ya kami....saya dan dua kawan akan mewarta salah pulau kecil terluar Indonesia, Miossu, kira-kira itulah namanya secara toponim. Pulau yang berada di ujung utara pulau Papua, penanda titik referensi NKRI dan juga pulau yang menjadi acuan ditariknya garis batas negeri ini.

Sebenarnya baru pukul 07.00 pagi, cepat satu jam dari waktu yang kami jadwalkan. Untuk menyegarkan badan sengaja Sang Driver mengajak kami di "gerbang" Kab. Tambraw, Sungai Jodoh, gerbang Kab. Tambraw, Papua Barat. Sedikit membahas mengenai Sungai Jodoh. Sungai ini dinamakan demikian karena konon kabarnya orang yang menyempatkan cuci muka di sungai ini akan enteng jodoh. Dengan semangat perjuangan walaupun masih menahan kantuk, saya turun dari mobil dan mencuci muka di sungai yang airnya jernih ini.

"Marshanda, Cut Meuriska, Raisa...." itu yang terlintas di kepala saya ketika mengusapkan air ke muka. Kan enteng jodoh, setidaknya dengan menyebut nama tersebut saya memudahkan Sang Penentu Jodoh untuk menentukan, barangkali seperti itu.

Sungai jodoh

Setelah membersihkan muka dan bermain air kami sarapan, berbekal makanan cepat saji yang kami bawa dari Koa Sorong lima jam yang lalu. Setelah sarapan menujulah kami ke desa terdekat untuk menuju perahu yang akan mengantar kami ke Pulau Miossu. Kami sudah ditunggu oleh Pak Miol, Sang Kapten kapal handal yang akan mengantar kami menyeberang. Kapal yang kami tumpangi terbuat dari fiber yang ditempel mesin kapal . Kapal ini sudah lebih dari cukup untuk mengantar kami membelah lautan untuk sampai di tujuan.

Pulau Miossu sebenarnya tidak jauh hanya berjarak sekitar satu jam perjalanan, tetapi ombak yang lumayan tinggi pada saat itu membuat lamanya perjalanan bertambah, molor satu setengah jam, itupun dengan berjalan di pinggiran pantai sebelum menembak lurus ke arah pulau. Sang Kapten tegas berada di bagian depan kapal, sesekali berdiri seakan ingin menunjukkan bahwa kami tidak salah memilih beliau yang mengantar kami. Ya kami memang tidak salah pilih, karena pada saat itu cuma ada satu pilihan. Ya kapal ini, sedih kan?

Pulau Miossu adalah pulau kecil terluar yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Daratan negara lain yang terdekat berjarak 400 km adalah Negara Kepulauan Palau. Pada era sebelum meletusnya Perang Pasifik, wilayah perairan pulau ini sangat ramai dilewati kapal-kapal induk Amerika, membawa berpuluh-puluh armada jet tempur. Di daerah ini pulalah barangkali Amerika menyiapkan strategi untuk menggempur Hiroshima dan Nagasaki, di daerah ini pulalah barangkali dua kapal perang Amerika tersembunyi pada masa penyerangan Pearl Harbour sehingga bisa membalas di Hiroshima dan Nagasaki dan di daerah ini pulalah barangkali Amerika melepas para penelitinya untuk mencari daerah tambang mineral yang sampai saat ini dikuasai hingga entah kapan selesainya. Begitulah setidaknya pikiran yang meluap-luap kala itu, meluap-luap kegirangan memiliki kesempatan menginjakkan kaki di Miossu.

Dari kejauhan Miossu tampak biasa saja, sama dengan pulau - pulau kecil lain yang kita tahu, hanya ditumbuhi ilalang-ilalang dan tidak terurus. Tetapi semua kenampakan itu berubah menjadi 180 derajat sesaat setelah semua bagian pulau jelas nampak terlihat, megahnya pulau ini baru terasa. Berbeda, sungguh sangat berbeda. Perbedaan inilah yang nantinya akan menjelaskan betapa pentingnya pulau ini di masa Perang Pasifik. Pulau yang tersembunyi dibalik keramaian, Si Saksi Bisu sejarah Perang Pasifik yang terlupakan. Kini hanya berjarak 50 meter di depan kami. Terbentang sangat indah.

Jangan membayangkan pulau kecil terluar tidak berpenduduk yang tidak terurus, tertinggal jauh atau bahkan kumuh. Pulau ini berbeda, sangat berbeda. Terdapat hal yang tidak umum yang berada di pulau ini.

Dermaga adalah hal pertama yang akan menyapa anda ketika memasuki Pulau Miossu, dermaga yang terbuat dari bahan kayu kelas I dimana pembatas pinggirannya dibuat dari kayu dengan ukuran lebih kecil berselang seling tampak kokoh.

Terdapat jalan sepanjang satu kilometer ke bagian utara pulau, jalan dengan susunan pavin blok selebar dua meter. Tersusun rapi dengan dibatasi pondasi di bagian sampingnya. Sepanjang perjalanan disuguhi pohon yang berjejer tersusun rapi, terlihat bahwa ini adalah hasil tanam campur tangan manusia melihat dari letak dan jarak tanamnya tampak beraturan. Mungkin sebagian tidak terlalu takzim dengan jalan seperti ini, karena banyak ditemukan di tengah tempat kita tinggal. Tetapi, di pulau kecil terluar? Tak berpenduduk? Menghubungkan apa? Disinilah menariknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun