Mohon tunggu...
Dadan Hidayat
Dadan Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Travel Journalism

Situs Web Berita & Wisata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asal Usul, Tradisi, dan Perubahan Suku Bajo

18 Mei 2020   14:08 Diperbarui: 18 Mei 2020   14:09 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadis Bajo (Instagram/asritntbr).

Pernah denger Suku Bajo atau Bajau? bagi kalian yang suka plesiran pasti mengenal dengan suku yang biasa hidup dan tinggal di laut ini. Suku Bajo dulunya suka berpindah-pindah tempat, karena suka berpindah-pindah, mereka disebut sebagai Gipsi nya laut.

Suku yang terkenal dengan para penyelamnya yang handal ini, tersebar di berbagai wilayah negara di Asia tenggara. Ada beberapa tempat tinggal yang sudah menjadi perkampungan masyarakat Bajo di Nusantara seperti di Pulau Nain (Taman Nasional Bunaken), Pulau Rajuni (TN Takanonerate), sampai ada juga di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

 Suku ini banyak menarik perhatian para ilmuwan untuk mengungkap asal-usul, tradisi dan perubahannya. Dahulu masyarakat Bajo terkenal dengan tradisi melautnya yang disebut mamia kadialo.

"Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut jangka waktu tertentu dan perahu yang digunakan. Ada tiga kelompok tradisi ini: palilibu, bapongka, dan sasakai," tulis peneliti Profesor Ramli Utina dari Universitas Negeri Gorontalo mengutip Mongabay Indonesia.

Lanjut menurutnya, 3 kelompok tersebut memiliki arti masing-masing. Palilibu merupakan kebiasaan melaut menggunakan perahu soppe yang digerakkan dayung. Melaut hanya dalam satu atau dua hari dan kembali ke permukiman menjual hasil tangkapan dan sebagian dinikmati bersama keluarga.

Bapongka (babangi) adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulanan menggunakan perahu besar berukuran kurang lebih 42 meter disebut leppa atau sopek. Kegiatan ini sering mengikutsertakan keluarga, seperti istri dan anak-anak, bahkan ada yang melahirkan di atas perahu.

Sedangkan, sasakai, yaitu kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu selama beberapa bulan dengan wilayah jelajah antar pulau. Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut) ada pantangan bagi keluarga yang ditinggal maupun mereka yang melaut.

Pantangan yang mereka harus hindari, antara lain dilarang membuang ke perairan laut seperti, air cucian teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai, jahe dan air perasan jeruk, dan larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut.

Air cucian maupun bahan-bahan ini hendaknya ditampung dan dibuang di daratan. Ada pula pantangan memakan daging penyu, jika dilanggar bisa mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh jahat bahkan tidak mendapatkan hasil apa-apa di laut. Penyu dipercaya banyak menolong manusia yang mengalami musibah, karena itu satwa ini tidak boleh dibunuh.

Masyarakat Bajo, khusus generasi tua, masih mempercayai gugusan karang tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur. Orang tua melarang anggota keluarga menangkap ikan dan biota laut di sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan sajian bagi leluhur.

"Berbagai pantangan itu mengandung nilai pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir," ujar Profesor Ramli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun