Mohon tunggu...
Dudu Rahman
Dudu Rahman Mohon Tunggu... -

Guru SD dan Pimpinan Pondok Media (Citizen Journalism forum) Kota Tasikmalaya

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sejumput Mawar Tentang Sajak dan Penyair Bode Riswandi

6 Agustus 2010   15:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:15 1355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bode Riswandi lahir di Tasikmalaya, 6 November 1983. Tidak aneh, jika metafora sajaknya disadur dari wilayah geografis yang berupa pegunungan, lembah, lindai, dan persawahan yang membentang. Bisa dikatakan masih perawan dari polusi metropolitan. Kondisi ini membawa jiwa si penyair ke renung yang cenderung memilih suasana pedesaan. Membaca puisi penyair ini, bisa larung ke labirin ruang alam, karena ramuan-ramuan katanya, menjadi metafora yang mapan. Hal tersebut sering dijumpai dalam rancang bangun puisi, Bode, panggilan akrabnya, memuat metafora alam, dibungkus unsur agamis yang sedikit ‘nakal’, seperti bait : Kekasih, berilah aku buah dada bugar Buah dada yang memanjang dari Langit-Mu Langit yang menjadikan api sebagai taman mawar Bagi Ibrahim Bagaimana tidak, bait di atas jika dibaca selintas; seperti erotisme sesat, desah jiwa ke Tuhan yang nyeleneh. Namun, jika dimaknai dari sudut pandang yang lebih dalam, penyair ini membawa pembaca bercinta atas kesucianNya dengan birahi suci pula tentunya, selayak “racauan cinta” Rumi yang maha dahsyat. Sejalan dengan Prof. Jakob Sumardjo, “… Dan Bode Riswandi bertolak dari adat untuk melukiskan penyatuan denganMu”.

Antologi Puisi Mendaki Kantung Matamu

Dalam antologi puisi MKM ini, penyair, membawa pembaca ke suasana yang loncat-loncatan. Meskipun karya-karya di dalamnya dirancang sebagai jejak penyair selama proses kreatif pembuatan puisi. Beberapa diantaranya : Antarkan Mayatku Sampai Rumah Sepi, Kekasih Kematianku meninggalkan darah di kelopak matamu Bunga-bunga waktunya kau tabur Di batu nisan — di dadamu … Mendaki Kantung Matamu :buat WS. Rendra Mendaki kantung matamu rakyat dengan darah selabu Berlari tak tentu. Siapa lagi yang terbunuh? Darah kami tinggallah selabu Di Vietnamp Camp Banyak yang bercerita lewat angin, semacam dingin Atau isyarat yang licin. Sepi serupa kembang muda Yang tumbuh di ranting rahasia … Buat Anna Politkovskaya Salju yang runtuh dari rambut kelabumu Semacam peluru makarov yang dilempar Seseorang ke dada dan kepalamu. Lantas Orang-orang bernyanyi untukmu, … Mulai puisi pertama hingga terakhir, penyair mencoba merekam semua peristiwa yang dirasa, dilihat, dan direnungkan, tanpa memandang koherensi judul sebagai benang merah. Namun, tidak mengurangi keistimewaan dari kumpulan puisi ini, justeru pembaca akan mengalami pengembaraan makna yang dahsyat di ruang buku antologi MKM ini. Beberapa bulan lalu, di kota santri Tasikmalaya, Buku Antologi Puisi Mendaki Kantung Matamu (MKM), telah ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat sastra. Selain pakar dan kritisi yang membahas keistimewaan buku ini, banyak pula tanggapan positif perihal rencana penerbitannya yang ditungu-tungu, mulai dari tukang becak, pelajar hingga pejabat. Betapa tidak, penyair yang lumayan mempunyai reputasi tinggi di perpuisian nasional ini, membungkus puisi-puisi yang pernah dimuat, dari beberapa antologinya, bersama penyair-penyair muda Indonesia. Pada akhirnya menumbuhkan sikap apresiasi yang welcome dari masyarakat, atas konsistensi, intensitas dan loyalitas terhadap eksistensi kepenyairannya selama ini. Sambutan hangat masyarakat, terutama pelajar, menunjukkan Bode Riswandi memberi pengaruh terhadap gairah jiwa apresiasi masyarakat bawah-atas, yang sebelumnya, hampir redup, mati suri dan lenyap, khususnya di Tasikmalaya. Banyak sekali instansi pemerintah Kota Tasikmalaya, komunitas seni dalam dan luar daerah, mengundang penyair satu ini dalam rangka bedah antologi puisinya. Buku antologi yang didominasi warna sampul merah itu, memberi semilir kebanggaan kepada warga masyarakat, karena memiliki generasi penyair muda berprestasi yang kreatif, khususnya dalam perkembangan sastra di Kota Tasikmalaya. Hingga meranumkan nama daerah di kancah nasional maupun internasional, selain penyair kawakan Acep Zamzam Noor, Saeful Badar, Soni Farid Maulana, Nazarudin Azhar, dlsb. Gaung penerbitan antologi ini, menggema hingga dunia cyber sastra, seperti Blog, Twitter, dan Facebook yang sangat digandrungi penyair-penyair pemula maupun penikmat cyber sastra. Meskipun launching Antologi Puisi MKM ini baru akan dilaksanakan dalam waktu dekat, kegiatan road show ke luar daerah seperti Bogor, Bandung, dan Purwokerto, sudah dilaksanakan sebelum acara penerbitan diselenggarakan di Kota Tasikmalaya. Langkah tersebut dilakukan semata-mata menunggu waktu yang tepat agar pelaksanaan efektif dan efisien. Selain ajang publikasi, penyair ini memang hampir diminati kerabat sastra Indonesia, sehingga undangan bedah puisi MKM ini pun silih berganti. Lulusan FKIP Unsil ini, berhasil mengetengahkan sajak-sajak segar yang mawar. Kembara kata yang sedemikian lengang, melalui proses kreatif yang tidak stagnan, mengukuhkan masyarakat sastra terhadap kepenyairannya. Seperti yang dikatakan “Ki Guru”, sapaan Bode kepada Acep Zamzam Noor dalam pengantarnya, “Bode Riswandi adalah salah satu dari sedikit penyair muda Jawa Barat yang potensial. Jika saja ia terus menjaga intensitas, mentalitas, dan integritasnya sebagai penyair, saya ramalkan sekali waktu puisi-puisinya akan menjadi penting”. Sebelum meluncurkan buku tunggal antologi puisi ini, karyanya dimuat di Pikiran Rakyat, Majalah Syir’ah, S. K. Priangan, Tabloid MQ, Puitika, Lampung Post, Bali Post, Koran Minggu, Majalah Sastra Aksara, Jurnal Bogor, Tribun Pontianak. Selain itu, puisinya terkumpul dalam Biograpi Pengusung Waktu (RMP, 2001), Poligami (SST, 2003), Kontemplasi Tiga Wajah (Pualam, 2003), Dian Sastro For President #2 (Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2003), Jurnal Puisi (Yayasan Puisi, Jakarta 2003), End Of Trilogy (Insist Press, Yogyakarta 2005), Temu Penyair Jabar-Bali (2005), Lanskap Kota Tua (WIB, 2008), Tsunami, Bumi Nangroe Aceh ((Nuansa, 2008), Rumah Lebah Ruang Puisi (Yogyakarta, 2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa antologi Temu Sastrawan Indonesia II (2009), Antologi Penyair Muda Indonesia-Malaysia (2009), dan Antologi Pemenang Sayembara Cerpen Nasional “Sang Kecoak” (Insist Press, 2006). Diluar kepenyairannya, Bode Riswandi, mengajar di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Tasikmalaya (Unsil). Bergiat di Komunitas Azan, Sanggar Sastra Tasik (SST), Rumah Teater, dan Teater 28. Sebagai apresiasi, kita do’akan saja, mudah-mudahan umur kepenyairan Bode Riswandi, panjang, serta memberi khazanah terhadap perkembangan sastra Indonesia. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun