Mohon tunggu...
Cut NandaN
Cut NandaN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sosiologi

Sosiologi UNJ 2018

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Panic Buying di Masa Pandemi Berdasarkan Teori Psikoanalisis

4 Juli 2021   12:30 Diperbarui: 4 Juli 2021   12:41 1665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Satu tahun sudah pandemi Covid-19 telah menyebar di Indonesia tepatnya pada tahun 2020. Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan. Virus baru dan penyakit yang disebabkan virus ini tidak dikenal sebelum mulainya wabah di Wuhan, Tiongkok, bulan Desember 2019. Virus ini dapat menyerang manusia dan gejala yang ditimbulkan berupa infeksi yang serupa dengan penyakit SARS dan MERS, hanya saja covid-19 bersifat lebih masif perkembangannya. Sehingga, virus tersebut menjadi sebuah pandemi yang terjadi di seluruh dunia. Pandemi covid-19 memberikan implikasi ekonomi, sosial, dan politik tidak saja negara-negara besar akan tetapi hampir seluruh negara di dunia (Aknolt Kristian Pakpahanan, 2020 : 1).

Pada awal mula kemunculannya, masyarakat dilanda kekhawatiran dan kebingungan yang menimbulkan kepanikan. Dapat dipahami, karena kondisi masyarakat yang secara tiba-tiba dipaksa untuk menghentikan kegiatan dan dihimbau untuk berdiam diri di rumah, serta narasi narasi yang mendorong ketakutan yang luar biasa. Rasa kekhawatiran dan takut tertular virus tersebut mulai dirasakan oleh masyarakat baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Rasa kekhawatiran ini kemudian mendorong adanya perubahan perilaku masyarakat dari kebiasaannya. Tindakan untuk menjaga diri dan upaya memenuhi kebutuhan menjadi salah satu perilaku yang berubah. Salah satu perilaku yang berubah adalah membeli dan memborong kebutuhan dan sembako lebih dari yang dikonsumsi setiap harinya. Pembelian yang berlebihan dalam satu waktu di tengah mewabahnya Virus Corona tentu dapat jelas diketahui bahwa didasari oleh kecemasan yang tinggi. Narasi kekhawatiran yang seiring dengan kebijakan untuk berdiam diri di rumah, kemudian mendorong masyarakat untuk beramai-ramai memenuhi kebutuhan hidup pokoknya dengan kuantitas yang berlebihan. Hal inilah yang kemudian disebut fenomena panic buying

Tindakan Panic Buying jika dikaji dalam sosiologi dapat digolongkan pada perilaku kolektif yang muncul tiba-tiba, secara spontan, dan diluar kebiasaan sebagai respon cepat terhadap suatu perilaku maupun keadaan (Bahri, 2014). Beberapa Keadaan yang bisa memunculkan tindakan panic buying diantaranya karena wabah atau Pandemi. Maka dapat dipahami bahwa tindakan Panic Buying pada Pandemi Corona saat ini merupakan perilaku masyarakat yang terjadi secara tiba-tiba yang tidak dapat dikontrol atau dibendung. Panic Buying merupakan perilaku menimbun barang yang dilakukan oleh konsumen sebagai salah satu upaya menjaga stok kebutuhan pokok yang bersifat pribadi. Perilaku ini dapat muncul sebagai bentuk upaya untuk melindungi diri, sekaligus persiapan menghadapi bencana atau wabah, berdasarkan asumsi bahwa apabila tidak membeli dalam jumlah banyak serta tidak mempersiapkan barang cadangan, maka stok barang tersebut akan habis, atau harga barang akan semakin mahal. Enny Sri Hartati (INDEF) menjelaskan bahwa perilaku Panic Buying dipengaruhi oleh faktor psikologis karena kurangnya informasi secara menyeluruh yang diterima oleh masyarakat. Hal ini kemudian akan berakibat menimbulkan kekhawatiran masyarakat yang dengan cepat sehingga mengakibatkan tindakan belanja dilakukan secara masif dengan tujuan berjaga-jaga. (Harian Terbit, 2020)

Analisis Berdasarkan Teori Psikoanalisis Freud 

Teori psikoanalisis dikembangkan oleh Sigmund Freud. Dasar dari argumen Freud adalah penemuannya tentang alam bawah sadar (Storey, 2009:91). Dia pertama kali membagi jiwa menjadi dua bagian, sadar dan tidak sadar. Kesadaran adalah bagian yang berhubungan dengan dunia luar, sedangkan ketidaksadaran adalah tempat dorongan naluri dan keinginan yang tertekan. Kemudian disebutkan menurut Freud, kejiwaan terdiri atas tiga sistem atau aspek yaitu: id (aspek biologis), ego (aspek psikologis) dan superego (aspek sosiologis). Ada dua hal khusus yang perlu diperhatikan tentang model jiwa Freud. Pertama, kita dilahirkan dengan id, sedangkan ego berkembang melalui kontak dengan budaya, yang pada gilirannya menghasilkan super-ego. Dengan kata lain, sifat kita diatur oleh budaya.

Berdasarkan aspek skematis Sigmund Freud menganalogikan jiwa sebagai sebuah Gunung Es dimana bagian yang muncul di permukaan air merupakan puncak dari Gunung Es itu yang dalam hal kejiwaan sebagai bagian dari tingkat kesadaran (consciousness). Kemudian agak di bawah permukaan adalah bagian pra kesadaran (sub consciousness) dan bagian terbesar yang terletak di dasar air yang dalam hal kejiwaan merupakan gambaran fase alam ketidaksadaran (unconsciousness). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia dikuasai oleh alam ketidaksadaran dan sebagian tingkah laku manusia dapat dipengaruhi karena faktor yang terpendam dalam fase alam ketidaksadaran.

Kedua, merupakan hal yang mungkin jauh lebih mendasar bagi psikoanalisis, yaitu jiwa digambarkan sebagai tempat terjadinya konflik secara terus-menerus. Konflik yang paling mendasar adalah antara id dan ego. Id menginginkan keinginan untuk dipuaskan terlepas dari tuntutan budaya, sedangkan ego terkadang berada dalam hubungan yang longgar dengan super ego, memiliki kewajiban untuk memenuhi tuntutan dan konvensi dari masyarakat. Konflik ini terkadang digambarkan sebagai pertarungan antara prinsip kesenangan dan prinsip realitas. Dalam hal ini, id yang diatur oleh prinsip kesenangan menuntut masyarakat untuk menginginkan sesuatu. Lalu ego yang diatur oleh prinsip realitas harus bisa untuk menunda pemikiran akan keinginan tersebut yang setelah itu dilanjutkannya dengan mempertimbangkan bagaimana cara untuk mendapatkannya.

Dalam fenomena panic buying, berdasarkan pernyataan teori psikoanalisis Freud, manusia berada dalam aspek ego. Ego merupakan sistem kepribadian yang terbentuk akibat pengaruh individu kepada dunia obyek dari kenyataan dan menjalankan fungsinya. Pada aspek inilah masyarakat yang dilanda kekhawatiran akan pandemi Covid-19, memusatkan ego yang dimiliki dengan bertindak untuk menimbun makanan dengan tujuan memenuhi kebutuhannya dan keluarganya di kala pandemi berlangsung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mayoritas ego bekerja pada fase kesadaran, namun terkadang juga bekerja pada alam ketidaksadaran bertujuan untuk melindungi individu dari gangguan kecemasan yang dihasilkan oleh tuntutan pada fase id dan superego. Menurut Matsumoto (2004), adanya perbedaan budaya menyebabkan perbedaan akan pemahaman mengenai kebenaran dan prinsip-prinsip yang berlaku. Maka, penyebab terjadinya perbedaan faktor yang membuat seseorang melakukan panic buying adalah adanya perbedaan budaya tersebut.

Konflik yang terjadi berada pada id yang diatur oleh prinsip kesenangan yang dalam hal ini berupa keinginan untuk memberikan kepuasan akan kebutuhan yang diakibatkan oleh adanya budaya panic buying yang ditimbulkan oleh masyarakat pada awal terjadinya kasus covid-19. Apabila masyarakat melakukan panic buying maka pikirnya mereka akan aman karena telah menimbun kebutuhan-kebutuhan yang nantinya akan susah untuk didapatkan. Namun, karena ego berkembang melalui kontak dengan budaya maka kegiatan panic buying tidak bisa dihindarkan karena masyarakat dilanda oleh rasa kecemasan, sehingga prinsip realitas kurang bisa untuk dijalankan. Tetapi, ego berperan dalam cara masyarakat mempertimbangkan bagaimana cara untuk mendapatkan keinginannya tersebut, meskipun dengan melakukan panic buying.

DAFTAR PUSTAKA

Ina Melati. 2020. Penggunaan Teori Motivasi Perlindungan untuk Menjelaskan Fenomena Panic Buying di Periode Awal Terjadinya Pandemi COVID-19, Jurnal Binus University

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun