Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Terlibat Menulis buku panduan pencegahan Intoleransi, Radikalisme, ekstremisme dan Terorisme, Buku Bacaan HKSR Bagi Kader, Menyuarakan Kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tahun Baru: Bukan sekadar Pergantian Tahun

1 Januari 2022   13:14 Diperbarui: 4 Maret 2022   11:46 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar:https://www.freepik.com/

Memasuki pergantian tahun baru 2022, hampir setiap orang memiliki harapan agar semakin lebih baik. Ada yang "menitipkan" harapannya melalui unggahan di fesbuk, instagram, story' WhatsAap, twitter dan sosial media lainnya.

Bagi saya, kegembiraan merayakan pergantian tahun baru tidak selalu terletak pada harapan-harapan tersebut. Akan tetapi tahun yang sudah saya jalani telah diwarnai seperti apa dan bagaimana akan mengisi atau memaknai tahun-tahun yang akan datang.

Ketika menyambut tahun baru, kita dapat memaknainya sebagai wahana/media untuk merenung (tadzakur) dan berpikir (tafakur). Merenung dalam konteks ini adalah instrospeksi diri, yaitu  mengingat-ingat dan berani mengevaluasi diri apakah di tahun sebelumnya pernah melakukan "kesalahan", seperti menyakiti orang lain, menghakimi/menjustifikasi orang lain, menghina, melecehkan atau bahkan memfitnah orang lain. Terkadang, sebagai makhluk fana kita pernah melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Meminjam istilah M. Amin Abdullah, manusia memang makhluk yang rentan berbuat salah (sense of guilty).

Menurut hemat saya, tampaknya kita membutuhkan waktu untuk merenung. Karena, pikiran juga memerlukan ruang untuk jeda dari berbagai aktivitas kehidupan yang dapat "mengganggu". Merenung juga bisa menjadi metode membebaskan pikiran dari ancaman kecemasan, tekanan, dan kesedihan.

Sedangkan yang saya maksud dengan tadzakur, adalah mempersiapkan (isti'dad) saya  kedatangan pergantian tahun agar mampu menghiasinya dengan dengan amalan-amalan terpuji. Disinilah harapan-harapan menyambut kedatangan tahun baru dinarasikan sedemikian rupa agar tampil indah, dan mampu "menyentuh" perasaan terdalam yang diungkapkan dalam berbagai bentuk, seperti meme, kata bijak/kutipan, flyer, video pendek dan pesan suara.

Terlepas dari upaya pemerintah yang telah mencanangkan 2022 sebagai tahun toleransi, keragaman yang ada di NKRI tampaknya masih menjadi tantangan di masa mendatang. Munculnya perbedaan pandangan di tahun 2021 yang kerap memancing reaksi negatif dan tidak jarang menimbulkan ujaran kebencian (terutama) di media sosial yang bersifat rasis dan merendahkan orang lain sebisa mungkin kita cegah agar tidak terulang lagi.

Merujuk Kementerian Komunikasi dan Informatika bahkan telah menangani konten mengenai ujaran Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) sebanyak 3.640. Hal ini mestinya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa perbedaan SARA perlu dikelola dengan bijaksana melalui berbagai cara. Setiap individu perlu dengan ikhlas menerima perbedaan sebagai ketentuan "mutlak" dari Yang Maha Kuasa, dan tidak ada satupun yang dapat mengubahnya. Jika kita sepakat bahwa perbedaan adalah rahmat, maka peran kita selanjutnya semaksimal mungkin menjaganya. Walhasil, dengan begitu dapat meminimalisir klaim-klaim kebenaran sepihak yang kerap kali kita saksikan.  

Negara, dalam hal ini pemerintah wajib mengelola rahmat tersebut dengan bijaksana agar tidak menimbulkan kegaduhan dan masalah baru. Perlakuan yang proporsional dan tidak pilih kasih terhadap semua golongan mestinya menjadi nilai yang konsisten diselenggarakan oleh negara demi terwujudnya sila ke lima Pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Bahkan hal tersebut juga tercantum dalam UUD 1945 bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu". Atas dasar undang-undang dasar inilah semua warga negara wajib dilindungi. Meminjam istilah K.H Husein Muhammad dalam prolog "Argumentasi Pluralisme Agama" karya Abd. Moqsith al-Ghazali menyebutkan jika keragaman bukan hanya sebagai kenyataan sosial, melainkan sebagai gagasan, paham-paham dan pikiran.

Sebagai catatan penutup, harapan-harapan akan kebaikan di masa mendatang yang telah kita narasikan sedemikian rupa semoga dapat terwujud sekaligus sebagai pengingat bahwa setiap zaman memiliki tantangan. Dan, peran kita selanjutnya adalah mampu menyikapinya dengan tepat, terukur, dan logis. Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun