Sekarang kalau mau bertemu dengan mama, saya harus naik pesawat, disambung bus atau kereta. Setelah itu, saya harus rela menyusuri sungai, sawah, jalan yang terkadang tanahnya licin karena terkena air hujan.
Itu pun yang saya temui hanya jasad mama yang sudah terkubur di dalam tanah. Bukan mama yang biasa tersenyum saat saya berbagi cerita lucu, atau marah saat saya menolak sarapan.
Sengaja saya menuliskan ini sebagai pengingat diri, agar saya tidak lupa untuk lebih menghargai orang terkasih yang masih ada. Kita tidak tahu kapan mereka dipanggil, atau (malah) kita yang dipanggil duluan. Salam Kompasiana! (*)
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!