Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

[Cerpen] Menanti Fitri

23 Mei 2019   12:31 Diperbarui: 23 Mei 2019   12:52 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari pngtree.com

Udara dingin menggigit kulit. Berkali-kali enin* terlihat mendekap ujung cardigan cokelat yang berbahan cashmere. Meski demikian, beliau tetap betah duduk di teras depan rumah. Bersandar pada sofa kulit mengilap. Sebentar-sebentar beliau memandangi pintu pagar. Seolah ia sedang menunggu seseorang.

"Enin, sudah malam. Tidak usah ditunggu lagi. Masuklah. Nanti malah masuk angin," seru Fina, anak perempuan enin yang paling besar, dari dalam rumah, "Fitri mungkin tidak bisa datang lagi lebaran ini."

"Nin, sini Nin, main sama aku saja." Tiba-tiba Naura, buah hati Fina yang kedua, muncul. Ia kemudian duduk disamping enin sambil menyodorkan dua buah boneka barbie yang sudah diberi jilbab.

"Nau, ajak Nin, main di dalam saja, yuk," ajak Fina sambil menggandeng enin dan Naura masuk ke dalam rumah.

"Enin, mau menunggu sebentar lagi Fin. Masih jam delapan. Mungkin Fitri masih di perjalanan, terkena macet," tolak enin sambil matanya terus mengawasi pintu pagar yang tetap tertutup rapat.

"Fitri pasti tidak datang lagi, Nin. Mungkin belum sempat. Atau mungkin harus mudik ke keluarga suaminya," bujuk Fina.

"Masa tiga kali lebaran berturut-turut tidak datang, tidak memberi kabar."

"Mungkin tidak sempat, besok atau lusa pasti menelepon," Fina terus berupaya membujuk.

Enin masih bergeming. Matanya tetap awas melihat pintu pagar.

"Ayolah, Nin, masuk, nanti sakit. Kan, masih ada aku dan Fida. Masih ada menantu dan cucu-cucu Nin dari aku dan Fida."

"Nin, juga mau berlebaran dengan Fitri, juga anaknya," ujar perempuan tersebut lirih.

***

Wanita yang kian sepuh tersebut tak mengerti, sejak menikah mengapa Fitri --anak perempuannya yang paling bungsu, tidak pernah mau berlebaran di rumahnya. Padahal ia dan mendiang suami sengaja membangun rumah yang besar agar saat Idulfitri seperti ini dapat menampung seluruh anak dan cucu.

Ia mau saat hari raya tiba, rumah yang mampu menampung puluhan orang tersebut diisi oleh gelak tawa seluruh anak, menantu, dan cucu. Seluruh anggota keluarga hadir, merayakan hari kemenangan. Hari penuh suka cita bagi seluruh umat muslim di dunia.

Namun, Fitri tak pernah sekalipun datang pada saat Idulfitri. Jangankan menginap dua hari sebelum hari raya tiba, seperti keluarga Fina dan Fida. Berkunjung tepat pada saat Hari Raya Idulfitri saja tidak pernah.

Fitri, suami dan anaknya yang masih semata wayang, biasanya berkunjung di luar hari raya. Saat ia hanya tinggal berdua dengan Bi Narsih, yang setia menemaninya sejak sang suami mangkat 10 tahun silam. Itu pun bisa dihitung dengan jari.

Ia sempat menawarkan bantuan dana. Khawatir Fitri tidak dapat berkumpul bersama ia dan kedua kakaknya karena terkendala harga tiket pesawat yang biasanya melonjak berlipat-lipat menjelang hari raya. Namun Fitri selalu menolak. Padahal uang bukan masalah baginya. Uang pensiun yang ditinggalkan sang suami cukup untuk memenuhi kebutuhan ia sehari-hari. Belum lagi uang dari Fina dan Fida yang rutin dikirim setiap bulan.

Jumlah uang yang dikirim Fina dan Fida lumayan besar. Uang tersebut tak pernah ia sentuh. Masih mengendap di tabungan yang dibuatkan khusus. Berkali-kali ia meminta kedua putrinya tersebut berhenti megirimkan uang karena uang peninggalan dari ayah mereka juga sudah jauh dari cukup, tetapi tidak pernah digubris.

Mereka beralasan, suami mereka bisa menjadi pengusaha sukses seperti saat ini justru karena tetap peduli dengan orangtua dan mertua. Bila mereka berhenti mengirimkan uang, khawatir justru rezekinya tidak lagi melimpah karena dianggap lalai pada orangtua.

***

"Maafkan Fitri, Ma," perempuan tersebut terisak di pojok kamar sambil mendekap buah hatinya yang masih balita.

Ia bukan tak rindu bersua dengan sang bunda, juga kakak-kakaknya. Hanya saja keadaan ekonomi membuat ia minder. Fitri kerap merasa asing saat berkumpul dengan ibu, kakak dan sang kakak ipar. Obrolan kakak dan sang kakak ipar yang tak jauh-jauh dari investasi ini dan itu, membuat ia dan suami merasa menjadi orang yang begitu kecil.

Belum lagi saat membayangkan si buah hati harus berkumpul dengan para sepupu --anak dari kedua kakak perempuannya, yang kerap berlibur ke luar negeri, membawa aneka mainan yang membeli tiruannya saja Fitri tidak mampu.

Oleh karena itu, ia memutuskan untuk tidak datang setiap kali lebaran tiba. Tak juga menyempatkan menelepon. Biarlah ia hanya menengok sesekali sang bunda diluar waktu hari raya. Itupun setelah ia menyisihkan uang untuk membeli tiket pesawat dari uang hasil mengajar suaminya yang tidak seberapa.

Mungkin kelak, saat rumah tak lagi mengontrak, mesin cuci tua tak lagi menggeletak, ia akan datang ke rumah "mewah" itu. Membawa suami dan sang buah hati, bercengkrama dengan seluruh keluarga besar. Entah kapan. Namun, pasti akan ada saatnya. (*)

*Enin: Panggilan Nenek dalam Bahasa Sunda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun