Mohon tunggu...
Cucuk Espe
Cucuk Espe Mohon Tunggu... Penulis - pecinta seni yang menulis

esais, sutradara https://id.wikipedia.org/wiki/Cucuk_Espe

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Caleg Cantik On Sale

7 Februari 2014   18:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:03 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin tidak hanya di kota saya, di kota Anda juga demikian. Wajah calon legislatif yang cantik, muda, dan lebih mirip model iklan menghisasi sudut-sudut jalanan. Sebuah fenomena baru, seiring trend kuota perempuan di kursi legislasi. Dalam konteks komunikasi sebagai bagian budaya politik, realitas tersebut sangat menarik. Di tengah apatisme publik terhadap kinerja wakil rakyat, mampukah para politisi ‘dadakan’ yang cantik memikat para konstituen?

Pesta demokrasi pemilu legislatif, 9 April 2014 nanti, boleh jadi merupakan babak baru dalam catatan perpolitikan nasional. Maraknya wajah-wajah baru yang mancalonkan diri menjadi wakil rakyat menjadi kenyataan positif. Era baru, wajah baru, dan tentu napas kebijakan baru. Ada fenomena menarik apabila kita berkeliling menyaksikan wajah-wajah baru para calon anggota legislatif (caleg). Mereka bukanlah kader unggulan partai politik yang aktif berpolitik dan publik mengetahui geliat gagasannya. Mereka adalah caleg perempuan, yang muda, cantik, dan lebih berani ‘bergaya’ pada baliho-baliho yang terpajang di sudut jalan.

Caleg cantik merupakan ikon dalam pemilu legislatif 2014 ini. Siapapun yang merasa memiliki kompetensi untuk duduk sebagai wakil rakyat memang berhak mencalonkan diri. Tetapi sebuah ketiba-tibaan memberikan kesan dan persepsi publik yang berbeda. Tiba-tiba saja, di depan kita tertampang wajah-wajah cantik yang enak dilihat diusung partai tertentu. Rasa terkejut kita masih ditambah jika menilik latar belakang mereka. Ada yang baru lulus perguruan tinggi, ibu-ibu muda, hingga anak atau kerabat wakil rakyat terdahulu.

Apapun latar belakangnya apabila memiliki kecakapan dan kesanggupan untuk menjadi wakil rakyat sangat diperbolehkan. Namun nuansa ketiba-tibaan seolah memberi sinyal jika kuota perempuan memang sengaja ‘dimainkan’ hampir seluruh partai politik. Menghadirkan wajah cantik dengan gaya narsis merupakan metode komunikasi politik di tengah apatisme publik. Bias dari metode komunikasi ini adalah peminggiran kompetensi politik. Asalkan memiliki wajah ‘fotogenic’ dan dapat memberikan kontribusi dalam jumlah tertentu kepada partai pengusung, dipastikan nangkring sebagai caleg. Ini bukan rahasia lagi.

Saya khawatir, jika publik kritis, pola komunikasi menghadirkan figur cantik dapat menjadi jebakan. Kita memang tidak sedang membeli kucing dalam karung. Bahkan terang-terangan kita disuguhi ‘kucing’ yang cantik dengan senyum memikat. Tetapi apakah kenyataan visual tersebut berbanding sejajar dengan kenyataan intelektualnya. Bukankah terlalu banyak caleg cantik dadakan sekedar menarik simpati publik?

Cantik On Sale

Dalam konteks kultural, metode komunikasi politik yang berbasis visual merupakan cara primitif untuk mempertahankan eksistensi. Ketika publik semakin acuh dengan realitas politik dan beban kehidupan terus menghimpit, maka suasana pleasure perlu dihadirkan. Publik perlu diajak ‘rekreasi’ sekedar melupakan kepenatan hidup. Publik pun telah bosan dengan wajah-wajah politisi serius yang janji-janjinya ibaray jauh api dari panggang. Kekesalan ini menjadi komoditi politik dengan menghadirkan wajah baru nan cantik. Sejenak publik terhibur.

Di sinilah geliat gagasan primitif itu muncul!

Tidak ada proses pendidikan politik di sana. Sekaligus menumpulkan daya kritis publik terhadap perlunya wakil rakyat yang visioner. Publik hanya didekati melalui unsur ego kemanusiaannya; siapapun pasti menoleh jika melihat yang cantik. Bukankah ini metode sangat primitif?

Bukan berarti orang-orang cantik tidak boleh menjadi wakil rakyat. Tetapi kenyataan yang saya cermati saat ini, kecantikanlah yang menjadi komoditi bukan visi yang reliable. Saya menemukan kesamaan model ketika melakukan perjalanan ke sejumlah kota besar di Jawa Timur. Yakni perempuan muda, cantik, berdandan layaknya model iklan, dan visi yang –sepertinya—copy paste saja. Tidak ada kebaruan apalagi ketika menyimak latar belakang para perempuan cantik tersebut yang ‘awam’ proses pendidikan politik. Pada titik ini, saya semakin yakin bahwa partai politik hanya menjual wajah cantik sekedar meraih hasrat primitif publik.

Regulasi kuota perempuan memiliki visi mendewasakan pengetahuan politik para perempuan di negeri ini. Karena perempuan-perempuan tersebut bersentuhan langsung dengan anak-anak atau calon generasi pemimpin masa depan. Melalui tangan perempuan yang matang pemahaman politik diharapkan lahir generasi yang jujur dan siap memimpin bangsa. Ironisnya, justru kuota perempuan ‘dimainkan’ sekedar menangguk keuntungan sesaat. Malah beredar kabar; bukan partai politik yang afdhol apabila tidak memiliki caleg cantik pada pemilu legislatif 9 April 2014 nanti. Dan selayaknya parpol menyingkirkan pola komunikasi politik yang primitif.

Caleg cantik boleh tetapi harus visioner!***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun