Mohon tunggu...
Cucu Caswati
Cucu Caswati Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Suka bgt membaca tp tdk terlalu pandai menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Miris!!! Masih Ada Diskriminasi di Lingkungan Kerja

7 Januari 2012   16:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:12 3950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_154487" align="aligncenter" width="600" caption="Merekalah yang sering mendapat perlakuan diskriminatif dari manajemen ( Sumber : Google )"][/caption]

Menurut laporan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) seperti yang diberitakan finance.detik.com pada 5 Mei 2011, hingga Februari 2011 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,12 juta orang atau turun 470 ribu orang dibandingkan dengan bulan Februari 2010 yang ketika itu berjumlah 8,59 juta orang. Namun demikian jumlah angkatan kerja bertambah sebanyak 3,4 juta orang menjadi 119.4 juta orang dan untuk jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia mencapai 111,3 juta orang, atau bertambah sekitar 3,9 juta orang.

Kondisi di atas menggambarkan adanya penambahan lapangan kerja untuk menampung pencari kerja dan sektor industri manufakturmenjadi penampung terbesar tenaga kerja pada Februari 2011.

Walau demikian,perubahan data yang cukup baik diatas tidak selalu menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan yang selama ini sering dipermasalahkan. Upah rendah dan kesejahteraan selalu menjadi persoalan utama. Berdasarkan masalah ini, tidak berlebihan apabila diasumsikan para pekerja yang “terserap” pada lapangan kerja, dapat mengindikasikan “tenaga kerja murah” dimana para pencari kerja terpaksa menerima pekerjaan walau mendapat upah rendah tanpa jaminan kesejahteraan yang layak.

Hal itu memang dapat dimaklumi, karena tuntutan hidup akan mendorong setiap orang berlomba-lomba didalam mencari pekerjaan. Apapun kesempatan yang ada di depan mata tidak akan pernah disia-siakan, diambil dulu (dari pada nganggur) sebagai batu loncatan untuk pekerjaan berikutnya yang mungkin lebih baik.

Bagaimana dengan mereka yang sudah bekerja melihat keadaan ini ? Persaingan pasti ada, dengan adanya tenaga kerja murah dapat mengancam posisi para pekerja yang ada. Apalagi bagi mereka yang dahulunya berstatus kontrak ataupun buruh lepas. Mudah sekali “ditendang” kapan saja.

Peraturan di setiap perusahaan khususnya perusahaan swasta pasti berbeda-beda, begitu juga yang dialami perusahaan dimana teman saya bekerja. Bagian HRD kadangmembuat peraturan yang dinilai berlebihan dan justru melanggar peraturan dan undang-undang tenaga kerja yang berlaku.Apa daya kekuatan para pekerja, walau merasa tidak diperlakukan adil, dengan sangat terpaksa harus menuruti aturan yang ada. Kalau tidak ancaman PHK “tanpa pesangon” sudah pasti ada di depan mata, karena untuk menghindari memberikan pesangon pihak perusahaan akan membuat karyawan yang bermasalah tersebut merasa tidak nyaman sehingga tanpa menunggu lama karyawan tersebut pasti akan mengundurkan diri, dan untuk kasus pengunduran diri perusahaan terbebas dari pemberian pesangon.

Menurut teman saya, peraturan yang dibuat bagian HRD itu diantaranya harus memakai pakaian atau seragam kerja yang sudah ditentukan, potongan rambut harus rapi (tidak boleh gondrong) mengingat mesin produksi yang digunakan sangat rentan terjadi kecelakaan, menggunakan sepatu kerja, tidak mangkir tanpa alasan yang jelas pada saat jam kerja, dilarang makan di saat jam kerja, dilarang sms an apalagi OL di saat jam kerja.

Teman saya pun bercerita bahwa beberapa waktu lalu ada seorang operator yang kena teguran dari security karena dia mencat merah rambutnya. Si operatorpun bertanya “Memang ada peraturan yang melarang mencat rambut?” Dia pun mengatakan kepada security itu “ Baca lagi deh Pak peraturannya, kalaupun ada peraturannya, tuh si ibu R (staff HRD) juga dicat merah kok rambutnya.” Bapa security tersebut tidak bisa menindaklanjuti kasus ini dan hanya melaporkan kepada manager HRD, dan besoknya si ibu R langsung mencat hitam kembali rambutnya.

Lain waktu ada juga operator yang sedang mengetik sms dan kebetulan ada staff HRD yang memantau ke area produksi. Kasus itu langsung dilaporkan kepada supervisor nya, si supervisor yang tahu kalau anak buahnya kirim sms atas perintahnya karena menyangkut pekerjaan yang mengaharuskan dia menghubungi departemen lain yang cukup jauh tentu saja langsung membela bawahannya, dan si operator tersebut bebas dari sanksi.

Di tempat teman saya bekerja memang ada peraturan dilarang makan pada saat jam kerja, tetapi ketika teman saya mendatangi kantor bagian HRD untuk keperluan meminta ijin cuti, disana para staff HRD sedang asyik aja memainkan gadget mewahnya sambil makan cemilan yang berjejer dalam toples cantik diatas meja kerja para staff itu. Bukankah ini sungguh menyakitkan bagi para operator produksi yang selama kurang lebih 8 jam atau mungkin 12 jam kerja (jika mereka lembur) berada di area produksi yang sungguh sangat panas dan sudah pasti akan memunculkan rasa haus dan lapar, berbeda dengan para ibu dan bapak terhormat itu yang dari pagi hingga sore berada dalam ruangan ber AC, sehingga ketika jam pulang kerjapun mereka tetap terlihat cantik dan ganteng.

Itu hanya beberapa kasus yang diceritakan kepada saya yang menyiratkan adanya diskriminasi. Mengapa saya bilang “diskriminasi”? Karena peraturan-peraturan itu hanya ditegakkan pada karyawan/karyawati level bawah, sedangkan level atas “aman” jika melanggar peraturan itu. Sayang sekali memang peraturan yang tertulis indah dan menentramkan jika dibaca itu hanya sebagai pelengkap papan pengumuman dan berlaku hanya untuk karyawan level operator produksi sebagai level terendah, padahal tenaga merekalah yang mengerjakan semua orderan yang diterima perusahaan. Tanpa mereka dijamin perusahaan tidak akan mendapat keuntungan yang berlipat, seharusnya perusahaan lebih memperhatikan mereka (kesejahteraan, kesehatan, keselamatan dan hari tua mereka).

Ternyata pembuat kebijakan pada perusahaan dengan sadar melanggar aturan yang ada. Diskriminasi di lingkungan kerja yang tidak boleh dilakukan, ternyata dilanggar begitu saja. Seolah-olah peraturan dibuat hanya untuk karyawan rendahan. Tidak berlaku untuk karyawan level atas yang dianggap memiliki posisi “nyaman”. Seharusnya peraturan yang ditetapkan sebuah perusahaan berlaku untuk semua karyawan tanpa melihat level, siapapun yang melanggar harus dikenakan sanksi walaupun dia seorang manager. Adakah perusahaan yang "adil" dalam penegakkan aturan?

Inilah kenyataannya wajah lingkungan kerja di Indonesia yang selalu ditutupi dengan angka-angka keberhasilan yang disebutkan diawal. Mungkin bagi kebanyakan orang dapat dijadikan indikator keberhasilan pemerintah. Namun sama sekali tidak ada artinya bagi para pekerja, khususnya tenaga kerja rendahan, karena pemerintah selaku pembuat kebijakan di negeri ini biasanya lebih berpihak kepada pemilik perusahaan atau investor (yang mayoritas pihak asing) daripada rakyatnya. Inilah bukti bahwa rakyat Indonesia masih terjajah di bumi yang katanya sudah merdeka selama lebih dari setengah abad ini.

Selamat Malam

1325686546777525759
1325686546777525759

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun