Mohon tunggu...
Muhammad Zulfadli
Muhammad Zulfadli Mohon Tunggu... Lainnya - Catatan Ringan

Pemula

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Drama Adu Penalti Piala Dunia

8 Desember 2022   21:39 Diperbarui: 8 Desember 2022   22:15 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua tim yang tampil bagus di fase penyisihan Grup E yang disebut "grup neraka", Jepang dan Spanyol tersingkir di babak 16 besar, dengan cara yang sama: adu penalti. Jepang menyerah dari Kroasia 1-3, sedangkan Spanyol takluk dari Maroko 0-3.

Jepang mengulang kekalahan yang sama saat dikalahkan Paraguay di babak 16 besar Piala Dunia 2010. Spanyol lebih menderita. Kekalahan pahit ini merupakan yang ketiga melalui adu tos-tos dalam tiga turnamen akbar beruntun. Pada Piala Dunia 2018 La Roja disingkirkan tuan rumah Russia di babak 16 besar. Kemudian Spanyol juga takluk dari Italia di semifinal Piala Eropa 2020 tahun lalu.

Kekalahan melalui adu penalti sangat menyakitkan. Kita sudah sering menyaksikan pemain bercucuran air mata akibat kalah adu penalti yang dianggap terlalu kejam untuk menentukan kegagalan dalam turnamen seperti Piala Dunia. Adu penalti jelas tidak menggambarkan potensi sebuah tim sesungguhnya.

Sejak pertama kali dilaksanakan pada Piala Dunia 1982 pertandingan Jerman melawan Perancis di semifinal, adu penalti menjadi sesuatu yang rumit, sulit dianalisis, dan banyak drama. Sempat ada wacana untuk menghapus adu penalti, namun sampai kini tak ada solusi yang lebih baik.

****

Ketika awal-awal suka sepak bola, saya senang jika pertandingan sepak bola harus diselesaikan melalui adu penalti. Seru, menegangkan, jantung rasanya mau copot.

Barangkali semifinal Piala Eropa 1992, antara Belanda vs Denmark, merupakan pertama kali, saya merasakan tegangnya adu penalti. Waktu itu Belanda sangat difavoritkan, ternyata ditahan imbang 2-2 oleh tim "dinamit" Denmark, sehingga harus ditentukan adu penalti. Penyerang Belanda, sekaligus pesepakbola terbaik dunia, Marco van Basten, gagal sebagai algojo. Tendangan 'angsa putih" diblok kiper Denmark, Peter Schmeichel. 

Denmark ke final dan menjadi juara Piala Eropa setelah mengalahkan Jerman. Momen itu yang meyakinkan saya, bahwa Peter Schmeichel merupakan kiper terbaik dunia. Apalagi setelah melihat peran besar Schemeichel dari dominasi Manchester United di Liga Inggris setelah musim 1993. 

Biarpun kiper-kiper sebelum dan sesudah era Schmeichel juga dianggap terhebat, seperti Dino Zoff, Lev Yashin, Gordon Strachan, Gianluigi Buffon, Iker Cassilas, Manuel Neuer, dan sebagainya. Bagi saya, tak ada setangguh Schmeichel di bawah mistar gawang.

Sejak saat itu saya dapat mengingat hampir setiap turnamen akbar seperti Piala Dunia dan Piala Eropa, pasti ada pertandingan fase gugur, pemenangnya harus ditentukan melalui adu penalti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun