Bukankah untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas kita seharusnya memperhatikan dan mempelajari jejak rekam calon, sehingga kita tidak kecewa di kemudian hari. Masyarakat pemilih senantiasa diharapkan cerdas dan teliti untuk memilih pemimpin.Â
Tapi bagaimana kita menyikapi jika pilihan calon yang diajukan jauh dari ekspektasi ?
Saya, akan memilih Walikota-Wakil Walikota Makassar pada Pilkada serentak, 27 Juni  2018, benar-benar dibuat kecewa karena hanya terdapat dua pasangan calon untuk dipilih menjadi pemimpin kota Makassar periode 2019-2024.
Calon kesatu adalah Ramdhan Pomanto, atau akrab dengan saapan Dani, merupakan walikota petahana yang kembali maju untuk periode kedua. Berpasangan dengan Indira Mulyasari, politisi perempuan partai Nasdem anggota DPRD Kota. Pasangan akronim DIAmi ini mendaftar lewat jalur perseorangan karena tidak berhasil mendapat cukup dukungan dari gabungan partai politik. Hanya Partai Demokrat yang mendukung tapi tidak memenuhi syarat untuk mengusung. Ini fenomena tak lazim, karena biasanya petahana memiliki posisi tawar kuat dengan partai politik.
Calon kedua bisa disebut sang penantang, Munafri Arifuddin- Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu). Justru pasangan ini memborong 10 rekomendasi partai  yang ada parlemen. Dunia yang terbalik, menurut saya. Bagaimana kita memahami dan menerima logika yang sehat, seorang calon yang tidak memiliki rekam jejak kuat, diusung 10 partai politik.
Harapan saya terlanjur tinggi. Sebenarnya saya tidak terlalu kecewa jika kedua calon pemimpin tersebut adalah dua putra terbaik di kota Anging Mamiri ini. Tapi faktanya, dengan segala maaf saya ingin katakan dua calon pemimpin tidak memiliki figur kuat.
Coba kita cek jejak rekam. Kinerja Dani menjabat Walikota selama  3,5 tahun tidak bagus-bagus amat jika tidak bisa juga dikatakan buruk. Paling banter dinilai lumayan. Kita kemudian berharap Pilkada ini, Makassar akan mendapatkan pemimpin sekaliber Risma Tri Hasmarini (Surabaya), Ridwan Kamil (Bandung), atau Jokowi dan Ahok ketika memimpin ibukota Jakarta.
Sayang calon itu hanya satu, yakni Appi, itupun kepemimpinannya dan jejak rekamnya sangat diragukan. Berlatar belakang pengusaha. Appi juga dikenal sebagai Manajer PSM Makassar. Banyak yang meyakini Appi tidak bisa nyalon jika dia bukan menantu Aksa Mahmud, pemilik Grup Bosowa,-dimana Aksa adalah adik ipar Jusuf Kalla, Wakil Presiden. Persepsi beking politik sulit dihindari dari majunya Appi. Cicu sang pendamping juga sulit dilepaskan dari status keponakan Ilham Arief Siradjuddin, walikota Makssar dua periode sebelum Dani, yang diklaim masih memiliki pengaruh dan jaringan cukup kuat.
Oligarki Politik
Makassar kota besar, gerbang dan pusat segala aktivitas di Indonesia Timur. Di Makassar terdapat ratusan perguruan tinggi, LSM yang mandiri, Pers yang kritis, dan jaringan masyarakat sipil yang relatif kuat. Relawan politik mulai berperan aktif demi menghasilkan pemimpin yang jujur, adil, membawa perubahan nyata pada kota tercinta ini.
Dengan segala sumber daya yang dimiliki, tentu banyak figur hebat yang memiliki kompetensi untuk menjadi pemimpin kota yang melayani masyarakat. Sayangnya, demokrasi atau sistem politik lebih tepatnya, ternyata belum menjamin putra-putri terbaik bangsa masuk politik elektoral.