Mohon tunggu...
Christine Setyadi
Christine Setyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - a mother of two yang lagi bucin dengan kisah-kisah sejarah

to write is to heal and empower.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak-anak dan Sejarah

21 Mei 2022   22:39 Diperbarui: 21 Mei 2022   22:45 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Merah Putih https://servergambar01.blogspot.com/2020/12/30

Kurang lebih satu bulan belakangan ini saya rutin membacakan anak-anak buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams. Kadang pagi hari, kadang siang, lebih seringnya malam menjelang tidur. Saya membacakannya agar kedua anak saya bersentuhan dengan salah-satu sejarah terpenting dalam hidup mereka: sejarah kemerdekaan tanah air mereka sendiri.

Perjalanannya boleh dibilang selow. Banget. Kadang hanya dua tiga halaman saya bacakan sekali duduk. Kadang 1-2 hari kami istirahat tidak membacanya. Tetapi buku bersampul merah itu selalu ada terlihat mata, karena komitmen saya untuk menyelesaikannya bersama anak-anak.

Yang menarik dari buku ini bukan saja soal fakta-fakta sejarah, narasi, atau lembaran kertas coklat ringannya yang saya suka, tetapi juga betapa indahnya menyaksikan si 10 tahun dan si 12 tahun berinteraksi dan berelasi dengan kisah-kisah sejarah. Kadang mereka mengernyitkan dahi, kadang tertawa, kadang berempati, kadang bertanya, kadang terhenyak.

Suatu kali si bungsu, terkaget-kaget mendengar asal-usul nama Soekarno. Ketika lahir, Soekarno lahir dengan nama Kusno. Agar ia tidak sering sakit-sakitan, Ayahnya memutuskan untuk mengganti namanya menjadi "Karna," nama salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita klasik Hindu Mahabharata. Kala itu Soekarno kecil kebingungan, bukankah "karna" berarti telinga, tanyanya pada Ayah. Sang Ayah membenarkan, "karna" memang berarti telinga, sebab dalam kisahnya tokoh Karna ini lahir melalui telinga seorang putri bernama Kunti.

Di situlah anak saya terheran-heran, antara kaget sekaligus merasa lucu, "Bayinya keluar lewat telinga?" sambil menunjuk telinganya. Butuh sekitar beberapa menit untuk dia memprosesnya: tertawa sekaligus berdiam seolah membayangkan seorang bayi yang begitu besar lahir lewat lubang telinga yang kecil.

Pada momen lain, keduanya kaget mendengar nilai rupiah di masa Soekarno kecil. Ada satu bagian Soekarno menceritakan besaran biaya-biaya yang dikeluarkan keluarganya, "Gaji Bapak 25 rupiah sebulan. Dikurangi sewa rumah kami di jalan Pahlawan 88, neraca menjadi 15 rupiah."

Kedua anak saya terbelalak, "Tunggu tunggu tunggu. Berapa? Maksudnya 25 RIBU rupiah?" Gegar soal perbedaan nilai rupiah ini cukup membuat heboh mereka. Apalagi soal uang ini ada beberapa kali diceritakan Soekarno, saat ia membayar uang kos, uang sekolah, membeli kopi, dan lainnya, yang semuanya kalau tidak bernilai satuan, mentok-mentok puluhan (doang). Sementara anak-anak (juga saya) tahunya membeli cokelat saja di Indomaret sudah 8.000 rupiah. "Hah?"celetuk anak sulung ya, "CUMA 25 rupiah?"

Untuk soal ini, saya belum bisa membawa anak-anak kepada penjelasan bagaimana rupiah berubah hingga menjadi nilai di hari ini. Saya sendiri juga perlu belajar kembali terlebih dulu. Bukan masalah. Saya pikir, perjumpaan dengan "25 rupiah"di masa Soekarno akan membawa kami ke pembahasan tersendiri soal sejarah rupiah suatu hari nanti.

Membaca narasi hidup seorang Soekarno yang lahir di tahun 1901, pastinya tidak jauh dari kolonialisme. Pada kisah-kisah inilah kedua anak saya berempati. Ada cerita dimana Soekarno sebagai seorang inlander (pribumi) berhadap-hadapan langsung dengan diskriminasi di bangku sekolah sampai-sampai ia berkesimpulan, "Angka sepuluh tidak pernah diperoleh seorang murid pribumi."

Soekarno menyebut masa-masa itu sebagai pengalaman pahit. Di klub sepakbola, ia bercerita soal anak-anak Belanda mengejeknya sejak di pintu masuk, "He, kamu -- Brownie! Anak kulit coklat yang tolol dan malang, pribumi, inlander, anak kampung ..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun