Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kerumunan Pengantar Anak Sekolah dan Perubahan Pola Berkegiatan Kita

22 Mei 2015   15:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:43 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apabila diamati, ada perubahan yang cukup signifikan apabila melihat situasi sekolah, khususnya sekolah dasar yang saya alami saat ini sebagai orang tua dengan masa sekolah dulu. Saat ini, setiap berangkat dan pulang sekolah merupakan saat-saat puncak kegiatan orang tua dan anak untuk melakukan kegiatan antar jemput di sekolah. Pagi hari, orang tua biasa mengantar anaknya sekalian berangkat kerja, demikian juga sore hari, banyak orang tua yang menyempatkan diri ke luar kantor untuk menjemput anak, baik kemudian ikut ke kantor, mengikuti berbagai kursus, maupun langsung pulang ke rumah. Hal ini menyebabkan sekolah saat ini bukan hanya merupakan pusat kegiatan anak didik, namun juga orang tua siswa. Banyak orang tua yang kemudian masuk dan menunggu di arena sekolah bercampur dengan anak didik. Bahkan, seringkali banyak juga ditemui para orang tua, terutama ibu-ibu tidak bekerja, yang justru menggunakan itu sebagai arena pergaulan baru bersama dengan ibu-ibu lainnya. Tak heran, sering terdengar ada kegiatan arisan, maupun bisnis yang dijalankan dari arena pergaulan tersebut.

Dahulu, situasi seperti itu jarang saya temui ketika bersekolah. Saat-saat berangkat maupun pulang selalu dilakukan sendiri, sehingga tak banyak orang tua yang berada dalam lingkungan sekolah. Kalaupun ada, hal itu karena ada undangan untuk mengikuti rapat BP3, yang waktunya biasanya juga di luar jam sekolah, dan tidak rutin setiap bulan diadakan.

Perbedaan situasi di sekolah tersebut menurut saya dikarenakan berbedanya pola bertempat tinggal dan berkegiatan yang terjadi, dahulu dan saat ini. Dahulu, lokasi tempat tinggal relatif dekat dengan sekolah, yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama lebih kurang 10 menit. Lokasinya juga cukup aman dan nyaman, sehingga para orang tidak segan untuk melepas anak-anaknya ke sekolah secara mandiri. Bahkan saya ingat, sejak TK sudah dibiarkan untuk pulang sekolah sendiri, meskipun harus menempuh perjalanan cukup panjang sekitar 1 km. SD justru lebih dekat, sekitar 500 meter, sementara SMP sekitar 2 km yang ditempuh dengan sepeda. Baru ketika SMA saya menjalaninya di Kota Yogyakarta, dengan jarak tempuh sekitar 15 km, dengan menggunakan angkutan umum atau sepeda motor.

Pola-pola berkegiatan tersebut saat ini sepertinya tidak dapat lagi dilakukan, ketika para keluarga muda banyak terlempar ke luar kota (sub urban), yang relatif masih terjangkau harganya untuk bertempat tinggal. Celakanya, pemilijhan tempat tinggal tersebut tidak secara otomatis menggeser lokasi kerja yang biasanya berada di tengah kota. Akibatnya, orang tua mengalami dilema dalam menentukan lokasi pendidikan anak-anaknya, dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti kemudahan mobilitas (antar jemput), kualitas sekolah, kebutuhan kursus dan pendidikan luar sekolah, serta lingkungan yang layak bagi anak-anaknya. Keputusan untuk menentukan lokasi sekolah akhirnya merupakan kompromi akan berbagai hal tersebut, yang sangat boleh jadi tidak akan menghasilkan lokasi terdekat dengan tempat tinggal sebagai pilihan bersekolah. Konsekuensinya, kebutuhan antar jemput menjadi tidak terhindarkan. Memang, saat ini sudah ada berbagai fasilitas, seperti antar jemput yang disediakan sekolah dengan tambahan pembayaran, yang sedikit dapat mengurangi kebutuhan antar jemput tersebut.

Situasi tersebut sebenarnya memiliki dampak negatif, baik bagi kualitas pendidikan anak, maupun masyarakat sekitar. Bagi anak didik, situasi dalam sekolah menjadi relatif hiruk pikuk dan tidak nyaman karena kehadiran orang tua siswa yang menunggu maupun mengantar jemput. Kemudian juga jiwa kemandirian yang tidak terpupuk sejak kecil. Selain itu, dapat memunculkan adanya kelompok-kelompok ekslusif orangtua siswa yang berasal dari golongan yang relatif serupa, misalnya yang didasari oleh tingkat kekayaan, yang dapat menimbulkan rasa arogan maupun rendah diri bagi yang lain. Bagi masyarakat sekitar, keberadaan kendaraan pengantar jemput, terutama pada lokasi sekolah favorit yang banyak menggunakan mobil, berdampak pada timbulnya kemacetan, kebisingan, maupun polusi udara. Hal ini akan sangat mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar untuk beraktifitas.

Demikianlah, sebenarnya terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Jangan sampai tujuan mulia untuk mendidik anak malahan menimbulkan dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun