Mohon tunggu...
Andi Kurniawan
Andi Kurniawan Mohon Tunggu... Pejalan sunyi -

penjelajah hari, penjelajah hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Tan Hana Srengene Kembar", Efek Multikollinearitas dalam Politik

8 Desember 2014   06:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:49 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi mereka yang pernah atau terbiasa memanfaatkan statistika dan ekonometrika sebagai alat bantu dalam pelaksanaan tugas, tentu tak asing dengan istilah multikollinearitas. Istilah itu adalah kondisi ketika dua atau lebih variabel bebas (independen) yang digunakan untuk menerangkan variabel tergantung (dependen), mempunyai karakteristik yang mirip  dalam sebuah proses analisis regresi. Konsekuensi dari multikollinearitas cukup fatal karena akan mereduksi tingkat signifikansi salah satu atau semua variabel untuk berperan dalam model  yang disusun. Yang lebih parah lagi, kondisi ini dapat menyebabkan tanda yang berlawanan, misalnya variabel yang seharusnya berkontribusi positif menjadi negatif, begitu juga sebaliknya. Solusi dari kondisi ini adalah, salah satu variabel harus dihilangkan, sehingga variabel yang tersisa akan dapat berperan secara ‘benar’ karena tidak terganggu perilaku variabel lain yang bermultikollinearitas dengannya.

Dengan meminta maaf kepada guru-guru yang sebelumnya mengajarkan statistika dan ekonometrika, saya memberanikan diri menyampaikan hipotesis keterkaitan pendekatan statistika tersebut dengan gejala di dunia politik, terutama di negara kita. Memang statistika selalu berhubungan dengan aspek-aspek kuantitatif, atau aspek kualitatif yang dikuantitatifkan, sementara dunia politik seringkali mirip dengan dunia gaib, dengan pelaku-pelaku yang seperti mahluk gaib juga. Tapi jangan salah, banyak hal yang ternyata dapat diotak-atik (gathuk) dan cukup menarik untuk disimak.

Banyak fakta bahwa dalam sebuah partai politik, harus ada HANYA satu tokoh besar yang berperan, bila tidak, partai akan terkutub-kutub menjadi beberapa faksi, yang mencerminkan peran dominan tokoh-tokoh yang memiliki kekuatan setara. Pada masa Orde Baru dahulu, lepas dengan sistem politik yang melingkupinya, PDI dan PPP sebagai hasil fusi berbagai partai politik tidak pernah solid dan menjadi partai yang mampu mendulang suara secara signifikan. Padahal apabila dijumlahkan suara partai-partai hasil fusi dibandingkan hasil Pemilu 1955, seharusnya kedua partai tersebut memiliki suara yang cukup besar. Salah satu hal yang menjadi penyebab menurut saya adalah kedua partai tidak memiliki (atau memang sengaja dibuat tidak memiliki) tokoh sentral yang mampu menjadi solidarity maker, namun malah terpecah dalam faksi-faksi bayangan yang didasarkan pada partai bentukan sebelumnya. Alhasil, energi besar tokoh-tokoh partai tersebut menjadi terreduksi dan tidak signifikan dalam mendukung kebesaran partai. Hal ini berbeda dengan Golkar, anak kemarin sore dalam politik, yang memiliki Soeharto sebagai patronnya, sehingga mesin politik Golkar pun bergerak solid di segala lini, baik A(bri), B(irokrasi) dan kelompok G(olongan Karya) melalui Kino-kinonya, yang sebenarnya juga merupakan faksi-faksi yang seringkali muncul dalam konflik internal terutama sepeninggal Soeharto (misal faksi Kosgoro, MKGR dan sebagainya).

Dalam masa reformasi, gejala multikollinearitas dalam partai-partai yang memicu perpecahan (reduksi variabel) dapat dilihat lebih jelas, apalagi didukung sistem multipartai yang berlaku. PDIP yang menjadi pemenang pada Pemilu 1999 pecah menjadi beberapa partai pada periode selanjutnya, seperti PDP, PNBK dan sebagainya. Kemudian PPP pecah menjadi PBR, dan sekarang sepertinya akan pecah lagi. Belum lagi PKB yang juga pecah, dan mungkin banyak lagi yang dapat disebut. Dalam statitika, hasil running variabel yang bermultikollienaritas seringkali berkebalikan tanda dengan seharusnya. yang dapat diartikan, tokoh-tokoh yang memiliki atau merasa memiliki kekuatan setara dengan tokoh partai lainnya, justru dapat berkontribusi negatif terhadap partai, misalnya melakukan gerak penggembosan. Maka, satu-satunya jalan untuk mengembalikan kekuatan partai adalah dengan memecat, atau justru orang tersebut mengundurkan diri dan membentuk partai baru.

Oleh karena itu, dalam sebuah partai, seorang patron akan memiliki peran penting. Istilah Jawa: Tan Hana Srengenge Kembar atau tidak ada matahari kembar mungkin istilah yang cukup tepat untuk menggambarkan kondisi tersebut. Partai Demokrat, untuk mencontohkan salah satu partai baru, adalah contoh yang bagus untuk menerangkan fenomena ini. Keberadaan SBY sebagai tokoh sentral  relatif mampu menyatukan partai, walaupun partai tersebut diterpa topan badai korupsi kader-kadernya. Tapi ketiadaan tokoh lain yang mampu menandingi menyebabkan partai itu tetap solid, walaupun suaranya terjun bebas pada periode pemilu lalu. Gerindra dengan tokoh sentral Prabowo juga mencerminkan karakteristik ini, walau waktu yang akan menguji apakah partai ini akan terus solid ke depan.

Dalam Pemerintahan Idol atau pemilu maupun pilkada, kejelian memilih pasangan adalah hal penting yang harus dicermati, sehingga terhindar dari gejala multikollinearitas. Pasangan kepala daerah atau kepala pemerintahan seharusnya memiliki karakteristik yang saling mengisi, bukannya malahan serupa yang dapat berpotensi tumpang tindihnya tindakan, yang disebabkan oleh kapasitas bawaan masing-masing tokoh yang serupa. Menurut saya, contoh paling bagus pasangan non multikollienaritas pasca reformasi adalah SBY – JK: pak SBY berperan sebagai konseptor yang memiliki pandangan visioner, dan diimplementasikan oleh pak JK yang memiliki kemampuan taktis operasional. Hasilnya, menurut saya cukup optimal, misalnya dalam perdamaian di Aceh, Poso, pemberantasan korupsi dan sebagainya. Periode selanjutnya, peran pak JK tidak sepenuhnya dapat dijalankan oleh Pak Boed yang relatif juga bergerak dalam tataran makro, sehingga hasilnya menurut saya juga tidak se-riil pada masa pemerintahan sebelumnya.

Nah, periode pemerintahan Jkw-JK ini menurut saya adalah antitesis periode SBY - Boediono, yang justru mencerminkan orang lapangan - orang lapangan. Maka tak heran, mottonya adalah kerja, kerja, kerja, bukan berpikir, berpikir, berpikir. Saya belum tahu apa hasil yang akan diperoleh dari periode ini, namun semoga saja hasilnya bagus seperti harapan dan mimpi sebagian besar rakyat yang telah memilihnya. Ya, semoga saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun