Mohon tunggu...
Puslatbang KDOD LAN
Puslatbang KDOD LAN Mohon Tunggu... Administrasi - Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Semoga Bermanfaat, Salam Hangat dari kami yang sedang belajar berkarya dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menakar Plus Minus antara "Good Mining Practice" dan Moratorium dalam Pengelolaan Tambang

30 April 2018   07:23 Diperbarui: 30 April 2018   09:13 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Medio  Maret 2018 akan menjadi kala yang tak terlupakan bagi warga Kota Samarinda yang tinggal di kawasan samarinda seberang dan loa bakung, ketika air menggenangi dan mengepung wilayahnya hingga ketinggian 1,20 meter. Sementara, di kawasan Jalan HM Rifaddin, (masih di Samarinda seberang) air yang  menggenangi kawasan tersebut ketinggiannya hingga lebih dari 1 meter.

Kondisi banjir tersebut membuat 9.300 jiwa terjebak pada kelumpuhan aktivitas kesehariannya. Secara topografi, wilayah Samarinda Seberang memang merupakan daerah yang berpotensi banjir. Titik itu berada di Kawasan Palaran hingga Batuah untuk kawasan barat dan selatan Samarinda. Samarinda secara umum berada pada daerah dengan rata-rata ketinggian 0-25 m diatas permukaan air laut atau sekitar 62,88 % dari keseluruhan wilayah Samarinda berada di ketinggian 21-25 meter, disamping itu, Samarinda tergolong daerah aluvial dan bergelombang (Sunarto, 2018).

Tanah Aluvial adalah tanah endapan, banyak terdapat di dataran rendah, di sekitar muara sungai dan rawa-rawa, maupun di kanan kiri aliran sungai besar. Di Kota Samarinda dapat kita lihat dengan adanya fenomena rumah di panggung di pinggir sepanjang sungai. Sementara, kontur bergelombang dapat kita lihat dengan adanya struktur jalan dan wilayah tinggal dimana ada jalan dan wilayah tinggal yang berada di dataran tinggi dan di dataran rendah.

Walaupun secara topografi Kota Samarinda merupakan wilayah yang rawan banjir, namun tak dapat di pungkiri bahwa kerusakan alam akibat ulah manusia juga mempunyai kontribusi terhadap munculnya banjir yang semakin hari dirasa semakin parah, bahkan kontribusi tersebut dirasa jauh lebih besar dari penyebab banjir 'hanya' karena kondisi topografi.

Sehingga, diyakini oleh sebagian orang umum, komunitas, ahli lingkungan dan  dan ahli perencanaan tata kota bahwa bahwa banjir besar yang menyerbu selama ini  salah satunya diakibatkan oleh eksplorasi tambang baru bara yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya. Di rentang tahun 2009 saja terdapat 76 Kuasa Pertambangan (KP) (Data Distamben Kota samarinda).

Luas wilayah kota Samarinda sendiri secara keseluruhan mencapai 718 km2 atau sekitar 71.800 hektar, sementara total keseluruhan wilayah penambangan kurang lebih  sekitar 47.772,5 hektar atau sekitar 66,5 % dari luas wilayah samarinda. Sebagai ibukota provinsi, kebutuhan akan tanah/lahan idealnya  ditujukan untuk pemukiman penduduk dan pertanian, yang saat ini hanya memenuhi 33,5% dari luas wilayah samarinda.

Berbagai dampak buruk penambangan dengan pertumbuhan arealnya yang seperti tidak terkendali telah dirasakan oleh masyarakat, sehingga menimbulkan berbagai bentuk kritik, penolakan dan perlawanan. Salah satu bentuk kritik dan perlawanan tersebut adalah  dengan munculnya wacana untuk mendesak Presiden mengeluarkan kebijakan  moratorium/penghentian izin sementara pertambangan.

Wacana tersebut 'memanas' pada saat kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di bawah komando Sudirman Said, Sudirman waktu itu mengatakan bahwa  walaupun wacana moratorium tersebut ada, namun sejauh ini  belum ada arahan detail dari presiden mengenai aturan tentang moratorium lahan tambang. Lebih lanjut menurutnya, wacana kebijakan ini  ada dengan adanya kasus-kasus lingkungan yang tidak di-recover dengan baik,  karena itu presiden punya satu call, sebaiknya tidak memberikan izin baru.

Belum juga terlaksana kebijakan moratorium tambang, berbagai silang pendapat muncul terkait dengan rencana moratorium tersebut, penutupan tambang dianggap bukan solusi bijak, karena akan sangat berpengaruh terhadap perputaran ekonomi suatu daerah, belum lagi permasalahan ketenagakerjaan yang kompleks. Sehingga muncul alternatif kebijakan atas penolakan kebijakan moratorium tersebut melalui kebijakan pengelolaan pertambangan yang baik  (good mining practice).

Kebijakan Good Mining Practice menekankan pada seluruh rangkaian proses  yang harus dilalui dari awal hingga akhir dalam proses penambangan dengan mengikuti standar, norma, serta peraturan yang berlaku secara baik dan benar untuk memperoleh tujuan pertambangan dengan efisien (Kurniawan, 2016), tujuannya adalah agar kegiatan penambangan yang dilakukan tidak merugikan alam dan masyarakat. Yang selama ini terjadi,  banyaknya eksplorasi tambang batu bara mengabaikan prinsip tersebut, sehingga menyebabkan kerusakan alam yang parah.

Di kalimantan Timur sendiri,  praktek good mining practice ini sendiri sudah pernah disampaikan sejak tahun 2014, dimana Awang Faroek Ishak selaku gubernur mengharapkan agar setiap perusahaan tambang memperhatikan pelestarian lingkungan hidup yang diwujudkan secara konsisten berdasarkan kaidah-kaidah penambangan yang baik (good mining practice), karena kegiatan penambangan yang tidak baik akan menimbulkan kerusakan lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun