Mohon tunggu...
Corry LauraJunita
Corry LauraJunita Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Tsundoku-Cat Slave

-

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kim Eun-Sil: Sisi Lain dari Film "Kim Ji-Young, Born 1982"

3 Desember 2019   11:53 Diperbarui: 3 Desember 2019   11:56 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kim Ji-Young, Born 1982 adalah film asal Korea Selatan yang menarik perhatian banyak kalangan karena mengangkat isu kesehatan mental yang memang cukup menjadi sorotan belakangan ini. Film ini diadaptasi dari novel yang berjudul sama yang diciptakan oleh Cho Nam-Jo. Novel ini telah dialih bahasakan berbagai bahasa termasuk ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia. Di Korea Selatan sendiri novel ini termasuk kontroversial karena dianggap menyerang kaum laki-laki, sehingga hampir dibuat novel tandingannya yang akhirnya tidak terealisasi.

Film ini menjadi perhatian karena dirasa mengangkat kisah para wanita di Korea Selatan yang masih sangat terbatas geraknya karena tembok patriarki. Ketidakmampuannya bersuara, tekanan dari orang di sekitar, tuntutan tampil sebagai istri, ibu, dan menantu yang baik membuat Kim Ji-young mengalami gangguan mental. Satu-persatu kisah Kim Ji-Young mulai dari dia lahir, sekolah, masa bekerja berkelebat diatas layar. Semuanya mengundang simpati, kalau tidak bisa dibilang menyedihkan. Bagi saya sendiri, banyak potongan kisah hidup Kim Ji-Young yang pernah juga terjadi pada saya, dan mungkin para penonton lainnya. Pada saat saya menonton film ini, penontonnya didominasi oleh perempuan yang banyak diantaranya tidak bisa menahan tangis. Mungkin inilah yang dimaksud dalam blurb di belakang novelnya "Kim Ji-Young adalah bagian dari semua perempuan di dunia. 

Tetapi saya tertarik dengan kisah lain dalam film ini. 

Apa menurutmu aku keliatan bahagia?

Menurutku kau terlihat sangat hebat.

Percakapan diatas adalah percakapan Kim Ji-Young dengan atasannya Kim Eun-sil. Kim Eun-sil adalah satu-satunya wanita yang memiliki posisi paling tinggi di kantor mereka. Diantara semua adegan dalam film ini, entah kenapa adegan ini dan scene rapatlah yang paling membekas dan paling relateable dengan kehidupan yang saya rasakan saat ini. Bukan saya tidak merasa kisah Kim Ji Young sendiri tidak menyedihkan. Sangat sedih malah. Tetapi saya belum pernah bertemu dengan seseorang yang benar-benar depresi hingga switch kepribadian seperti itu.

Bekerja dengan rekan-rekan mayoritas para ibu dengan kesibukan yang benar-benar tidak terhindarkan sampai membuat mereka terpaksa meninggalkan anak di bawah pengasuhan para nenek atau pengasuh, adalah kenyataan yang menjadi pemandangan sehari-hari saya. Wanita-wanita yang merasa bersalah karena harus pergi dinas luar dalam waktu beberapa hari atau harus lembur sehingga terlambat untuk menyuapi anak di rumah.

Banyak yang tidak menyadari luka apa yang dihadapi para Ibu ini. Termasuk Kim Ji-young yang menganggap atasannya sangat hebat, sangat berpengaruh, dan sangat menikmati menjadi dirinya sendiri. Mungkin hal ini adalah salah satu yang diinginkan Kim Ji-young dalam hidupnya. Diakui, memiliki karir, dan jabatan yang bagus. Tetapi, Kim Eun-sil tidak merasa demikian. 

Saat rapat, Ny. Kim direndahkan sedemikian oleh pimpinan laki-laki, terutama saat kemampuan dalam mengasuh anak dipertanyakan karena anaknya justru diasuh oleh ibunya. Anak yang tidak diasuh oleh ibunya tidak akan tumbuh sebaik anak yang diasuh oleh ibunya. Berapa banyak ibu yang hatinya ambyar jika mendengar kata-kata itu diucapkan padanya. Tetapi dengan semua pengorbanan dan perjuangan Ny. Kim, justru karirnya tidak mengalami peningkatan sama sekali. Yang dipuji justru suaminyalah yang hebat karena bersedia hidup dengan mertuanya. Jujur, ingin sebenarnya saya mengetahui kenapa dan apa yang membuat Ny. Kim mampu bertahan melawan arus budaya patriarki yang begitu kuatnya. Tetapi Kim Eun-sil memiliki kisahnya sendiri. Sosoknya yang dikagumi oleh Kim Ji-young ternyata menyimpan lukanya sendiri.

saya sudah menyerah berusaha menjadi ibu, istri, dan anak perempuan yang baik

Saat dialog ini, entah kenapa langsung saya teringat pada potongan wawancara Najwa Shihab dalam channel youtube Denny Cagur.

"Jurnalis atau Ibu"

Kenapa sih seorang wanita itu harus di suruh memilih. Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya? Pertanyaan itu sejak awal sudah menempatkan seolah-olah membuat perempuan tak berdaya (Najwa Shihab).

Beberapa saat yang lalu potongan wawancara ini banyak dibagikan di Twitter dan dianggap jawaban sangat cerdas dan mewakili banyak suara hati para wanita di negara ini.

Karena setiap perempuan itu multi peran, saya bisa menjadi ibu, menjadi istri, menjadi tetangga, mejadi jurnalis (Najwa Shihab)

Menohok sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun