Mohon tunggu...
Corry LauraJunita
Corry LauraJunita Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Tsundoku-Cat Slave

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Usulan Sertifikat Nikah, Kok Langsung Kontra?

16 November 2019   17:09 Diperbarui: 16 November 2019   17:20 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : http://www.cachurchmariner.com/the-marriage-preparation-course/

Baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Efendi mengusulkan bahwa setiap pasangan yang akan menikah harus memiliki sertifikat untuk dinyatakan layak menikah. Awalnya saya pikir sertifikat yang dimaksud sama dengan sertifikat layak kawin yang dikeluarkan oleh puskesmas.Ternyata sertifikat yang dimaksud ini didapatkan setelah pasangan yang akan menikah mengikuti bimbingan untuk menyiapkan mereka sebelum menghadapi kehidupan setelah pernikahan. Oh, bimbingan pra nikah to, yang dimaksud.

Bagi sebagian orang terutama yang telah menikah atau sedang proses mempersiapkan, bimbingan pra nikah bukanlah hal baru. Saya bertanya pada teman saya yang beragama Katolik dan beberapa denominasi Protestan, mereka harus mengikuti bimbingan secara rutin selama beberapa waktu, dan surat keterangan yang mereka peroleh hanya berlaku enam bulan saja bagi yang (bagi yang Katolik). Isi bimbingannya juga menurut saya termasuk komplit karena bukan hanya membahas masalah spritual tetapi juga membahas aspek kesehatan reproduksi, tanggung jawab pasangan dalam berumah tangga, sampai pengaturan finansial. Mereka juga diberi pembekalan mengenai mengelola konflik di rumah tangga. Bagi teman yang muslim, di KUA juga sudah ada bimbingan, tetapi waktunya tidak selama di Gereja Katolik.

Membaca lagi maksud dari rencana dari Menko PMK tersebut, beliau menginginkan materi yang diberikan terstandarisasi. Ada materi kesehatan, finansial, dan psikologi. Tujuannya adalah keluarga yang terbentuk itu benar-benar memiliki pengetahuan dan siap berumah tangga.

Pertanyaannya, kenapa langsung banyak yang kontra dengan usulan ini?

Program yang diusung oleh Menko PMK ini menurut saya pribadi sangat bagus jika benar-benar dijalankan secara terpadu antara berbagai kementerian terkait. Program ini jangan dilihat dulu sebagai upaya intervensi ke ranah privat, apalagi dianggap suatu hal yang melanggar hak karena jika tidak mengikuti atau tidak "lulus" maka akan banyak yang kesulitan untuk menikah. Meningkatkan zinah katanya. Lembaga pernikahan tentu bukan hanya bertujuan melegalkan hubungan sex saja bukan? Tujuan sederhananya adalah membentuk keluarga. Tetapi keluarga seperti apa yang ingin dibentuk? Yang penting asal ada keluarga saja?

Dalam sebuah kuliah yang membahas empat pilar kebangsaan, dosen saya menyebutkan bahwa keluarga adalah fondasi tumbuh kembangnya dari sebuah negara. Dosen saya berpesan bahwa saat mahasiswa membentuk keluarga, ingatlah bahwa keluarga yang mereka miliki sedikit banyak berperan memperkuat negara ini. Saat itu saya tidak memiliki bayangan apa-apa. Tetapi sekarang, saya bisa menarik benang merahnya, jika negara menginginkan dirinya kokoh, tentunya dia harus memperkuat fondasinya. Karena fondasinya itu dibentuk dari keluarga yang berawal dari pasangan-pasangan yang akan menikah tadi, maka negara berhak memastikan pasangan yang membentuk fondasi itu juga terseleksi dengan baik. Memiliki kualitas terbaik. Jika kita tidak ingin memiliki rumah dengan kualitas bahan asal-asalan, kenapa kita rela negara kita berdiri diatas fondasi yang tidak kuat?

Mungkin hasil yang dipetik juga tidak instan. Tidak usah membayangkan kasus perceraian, KDRT, stunting, atau marital rape yang langsung turun drastis. Tetapi mari kita membayangkan alangkah beruntungnya jika pasangan tersebut sudah pernah mendengar istilah baby blues, depresi post partum dan bagaimana itu bisa terjadi. Mungkin yang tadinya tidak tahu ada penyakit-penyakit yang bisa mempengaruhi janin (misalnya TORCH), bisa memeriksakan diri atau melakukan vaksinasi sebelum hamil, sehingga mengurangi resiko kecacatan janinnya.

Atau seorang wanita yang akhirnya mengetahui apa itu stunting, apa yang menyebabkan anak  stunting, kemana dia harus mencari pengetahuan untuk mencegah anak stunting sejak dari kandungan. Atau jika telah mendapatkan bimbingan mengenai finansial, mungkin yang tadinya tidak punya pengetahuan finasial memadai, belum tahu mengetahui produk-produk keuangan secara menyeluruh bisa mempertimbangkan akan mempersiapkan modek keuangan keluarga seperti apa yang akan mereka terapkan sejak awal mereka berumah tangga.

Dimana bimbingannya bisa diadakan? Karena menurut saya, orang di Indonesia masih lebih takut jika tidak boleh menikah secara agama dibandingkan tidak tercatat hukum, maka bisa dilakukan seperti sekarang. Bimbingannya dikoordinasikan bersama KUA atau gereja-gereja setempat. Jika katanya jumlah yang akan menikah ga sebanding dengan operasional yang dikeluarkan, bimbingannya mungkin bisa digabung antara beberapa KUA atau beberapa gereja dengan konsep ajaran yang sama

Intinya, semua kebijakan itu memang tidak bisa dibuat tergesa-gesa, tetapi jika telah ada dan berjalan, tentu ruang untuk perbaikan terus menerus akan ada. Dibandingkan langsung mengkritik dan menyatakan tidak efektif, bagaimana kalau pengkritik ikut mengawal proses pembuatan kebijakan dan mempersiapkan metode evaluasinya, sehingga jika memang ada kekurangan bisa langsung diketahui dan bisa dicari solusinya. Sekali lagi, jangan membayangkan perubahan drastis se-Indonesia Raya. Tetapi bayangkan betapa banyaknya kepala yang tercerahkan jika program ini bisa berlangsung dengan konsep yang sedang digadang-gadangnya sekarang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun