Mohon tunggu...
Corry LauraJunita
Corry LauraJunita Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Tsundoku-Cat Slave

-

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Mari Ngopi, Mari Bicara

24 Oktober 2019   11:25 Diperbarui: 24 Oktober 2019   11:47 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cangkir di Kedai Kopi Kekinian | Dokumentasi Pribadi

Kopi bukanlah benda asing bagi penduduk Indonesia. Minum kopi sudah menjadi  tradisi dan bagian hidup sehari-hari yang tidak bisa ditinggalkan. Menjamurnya kedai kopi susu kekinian dengan berbagai komposisi ramuan sepertinya semakin mengukuhkan posisi kopi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, bahkan menjadi tren yang tidak bisa ditinggalkan kalau tidak ingin dianggap sebagai seorang yang ketinggalan zaman. Banyak yang bangga menyatakan dirinya sebagai penggemar kopi dan menyukai kopi dari berbagai daerah dan metode penyeduhan yang berbagai macam

Kedai kopi kekinian memang menjamur dimana-mana, tetapi budaya mengopi tidak bisa ditinggalkan dari kedai-kedai kopi tradisional di pinggir jalan yang menjadi pusat sosialisasi, terutama para kaum pria.

Lihatlah bagaimana Andrea Hirata dalam setiap bukunya menggambarkan bagaimana komunitas melayu itu berpusat di sekitar warung kopi. Atau pesona budaya aceh yang menarik dengan kopi gayonya dan cara menyeduhnya yang sangat khas. Atau kedai-kedai kopi yang dikunjungi Bapak-bapak di Tapanuli  sana hingga berjam-jam yang terkadang membuat para istri naik darah.

Apa kesamaan dari semua tempat dan kopi yang mereka suguhkah?

Sosialisasi

Kaum Bapak di novel Andrea Hirata dan  di kedai-kedai  kopi Tapanuli, mengunjungi warung kopi tentu bukan hanya karena kopi di warung lebih enak daripada di rumah. Di warung kopi, dia bisa berbicara. Berbicara di sini bukan hanya merangkai satu dua kalimat tentunya. Itu di rumah juga bisa. Tetapi di sana mereka bisa memberikan pendapat tentang apa saja. Mulai soal politik, sepak bola, isu agama, pemerintahan, jangan tanya. Semua  bisa dengan lancar dibahas dari berbagai sudut pandang.  Terkadang mereka terdengar lebih ahli dari pada para elit yang kita lihat di TV-TV.

Masa saya kuliah, sebelum kedai kopi kekinian sebegitu menjamurnya, yang kami kenal adalah cafe nobar. Mahsiswa hapal cafe-cafe yang menjadi basecamp tim-tim tertentu.  Hampir setiap cafe menyediakan fasilitas untuk nobar terutama di malam minggu. Meskipun menunya tidak sevariatif kedai kopi kekinian, tetapi kopi pasti hadir di sana. Cafe-cafe akan ramai pada masa kompetisi sepak bola, berbagai macam manusia berkumpul di sana untuk menyaksikan tim kesayangannya menyarangkan gol di gawang lawan. Ada interaksi yang terbentuk di sana, orang-orang yang tidak saling mengenal dengan jiwa kolektif disatukan oleh satu tim bersama-sama mengomentari pemain, pelatih, bahkan komentatornya. Yang tidak mengenal akhirnya saling berbicara, lagi-lagi ada sosialisasi di sana.

Masa awal bekerja, kedai kopi bagi saya juga merupakan tempat berkumpul di penghujung hari, atau sekedar menghabiskan waktu di akhir minggu bersama teman. Jumlahnya di kota kecil Banjarnegara saat itu hanya beberapa, dan menawarkan suasana tenang untuk berbincang. Di sana kami saling berbagi cerita mengenai perkembangan terbaru dari masing-masing karena meskipun satu kantor, terkadang kami tidak punya waktu untuk saling bertemu, bahkan untuk saya bisa pergi dalam hitungan minggu atau bulan lamanya. Kopi dan kedai kopi adalah penyambung rindu saya dengan mereka.

Kembali ke masa sekarang di Jogja, dimana kopi kekinian bisa ditemukan dimana-mana, dengan fasilitas wifi berkecepatan tinggi, kursi-kursi nyaman, tidak lupa spot-spot yang menarik untuk latar foto untuk diposting di sosial media. Di tempat-tempat ini justru saya sering duduk sendirian, mungkin dengan beberapa pengunjung yang sibuk dengan laptop dan hp masing-masing. Masing-masing saling enggan untuk bertatap muka dan menyapa. Dan yang datang bersama teman berbicara dengan suara ditahan-tahan karena tidak ingin dianggap barbar dan mengganggu kesyahduan renungan para pengunjung lain. Sementara di kasir, bapak dan ibu ojek online antri untuk mengambil pesanan pelanggan dari aplikasi. Orang-orang yang saya kenal, lebih banyak yang memilih menikmati kopi yang mereka pesan sendiri dari aplikasi, berbekal kemudahan tidak perlu langsung ke tempatnya langsung juga memanfaatkan fasilitas promo yang banyak bertebaran.

Saat duduk di tempat-tempat seperti itu timbul kerinduan pada keriuhan warung kopi yang biasa dikunjungi Alm. Bapak di Tapanuli sana, aroma kopi yang hanya di seduh air panas tanpa kerumitan proses seduh menyeduh seperti sekarang. Tanpa kerumitan proses foto-foto kopi dulu sebelum di minum, dan tanpa proses menunggu upload foto dan sesi cari caption yang sesuai.. Rindu dengan cafe nobar tempat bisa bertemu manusia-manusia unik yang bisa berbaur dengan siapa aja, rindu dengan teman-teman yang tidak memusingkan proses pembuatan kopi yang tersedia di meja mereka.

Mungkin bukan kopinya yang sudah tidak menyambungkan lidah lagi, mungkin saya yang belum bertemu orang dan tempat yang tepat lagi untuk sekedar berbicara dan menikmati kopi bersama.

Kopi Kekinian | Dokumentasi Pribadi
Kopi Kekinian | Dokumentasi Pribadi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun