Mohon tunggu...
Corry LauraJunita
Corry LauraJunita Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Tsundoku-Cat Slave

-

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Bumi Manusia di Atas Layar

23 Agustus 2019   20:55 Diperbarui: 24 Agustus 2019   19:26 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artis peran Iqbaal Ramadhan (kiri) berperan sebagai Minke dan Mawar de Jongh sebagai Anelis menjalain shooting film Bumi Manusia di bawah arahan sutradara Hanung Bramantyo. (DOK. FALCON PICTURES)

Setelah beberapa hari berpikir dan mempertimbangkan, saya memutuskan untuk menonton "Bumi Manusia" tanpa sebelumnya membaca resensi dari penonton sebelumnya. Niat saya adalah, jika kesan yang saya harapkan tidak muncul, maka saya akan WO. 

Tidak lama setelah saya duduk dan mulai menyamankan diri, ada himbauan berdiri dan kumandang lagu "Indonesia Raya" pun terdengar. 

Saya dan penonton yang lain langsung berdiri dan tidak sedikit yang seperti saya yang keheranan. Jujur, ini pertama kalinya bagi saya. 

Namun, saya sadari, bahwa momen ini dibangun dengan pas sekali oleh Hanung Bramantyo untuk membangun nasionalisme penonton terutama karena film ini berusaha menggambarkan masa di mana kita masih dijajah.

Masa Indonesia belum memiliki kesadaran sebagai suatu bangsa, masa di mana seorang bernama Minke berusaha membebaskan dirinya dari tatanan yang terjadi akibat perbedaan ras yang membuat pribumi seolah-olah menjadi suatu hal yang memalukan.

Poster Film
Poster Film
Lalu, bagaimana kesan saya dengan film ini? Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya telah bersikap tidak adil karena telah menilai bahwa film ini tidak akan mampu menyuguhkan gagasan yang ingin disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer. 

Hanung Bramantyo menurut saya cukup berhasil menuangkan isi novel ini ke atas layar. Ide mengenai perbedaan status yang seharusnya dilawan oleh anak bangsa, hukum yang hanya memenangkan pihak yang membuat hukum, dan melawan ide dengan ide seperti Minke dengan tulisan-tulisannya disampaikan dengan baik sekali. 

Saya tidak tahu apa sebutannya dalam perfilman, tetapi tiap potongan adegan sepertinya berusaha agar hubungan Minke-Annelies, keeksentrikan Sang Nyai, dan potret ketidakadilan masa itu bisa tersampaikan tanpa bertele-tele.

Pasti banyak perdebatan mengenai kekurangannya. Misalnya, ekspresi mata Iqbal Ramadhan yang kadang menurut saya kurang pas dalam beberapa adegan, tetapi saat menggoda Annelies ternyata cocok sekali (ahoy for Iqbal). Atau tone kos-kosan milik tuan Telinga yang rasanya terlalu cerah dan baru, kesan yang sama saya rasakan saat melihat rumah dan plang masuk ke rumah keluarga Mellema, membuat seolah-olah bangunan-bangunannya benar-benar baru berdiri, bukan sebuah hunian yang telah digunakan bertahun-tahun. 

Kesannya seperti buru-buru dibangun. Mengenai efek CGI, ya gimana ya. Ini toh, bukan film superhero atau kolosal yang mengedepankan detail nyaris tidak kentara itu, jadi menurut saya sih masih tidak mengganggu.

Beberapa tokoh dalam buku juga tidak diberikan porsi sebagaimana mestinya dalam film ini. Yang paling saya cermati adalah interaksi antara Jean Marais dan Minke yang nyaris tidak cukup membangun kesan bahwa mereka adalah teman baik dan salah satu sumber inspirasi bagi Minke. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun