Mohon tunggu...
Cornelis Nuba Sakti
Cornelis Nuba Sakti Mohon Tunggu... Novelis - good

good atttitude

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mahasiswa Berintegritas Memberantas Radikalisme

8 Desember 2021   11:26 Diperbarui: 8 Desember 2021   11:43 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 Semboyan Merdeka Belajar yang didengungkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaa, Riset dan Teknologi disambut baik oleh pelajar di seluruh Indonesia. Merdeka Belajar yang dimaksud adalah pelajar diberi kebebasan dan keleluasaan untuk memperoleh pengetaun dan pengalaman belajar sebanyak mungkin sesuai dengan minat dan bakat masing-masing pelajar. Dengan adanya program Merdeka Belajar ini, pelajar diharapkan agar boleh memupuk dan memperkaya diri dengan segala sarana yang telah dan akan disediakan oleh pemerintah demi menjadi generasi yang baik dan berkualitas di masa depan.

Sejalan dengan hadirnya program Merdeka Belajar itu, muncul juga paham-paham baru yang ternyata di dalamnya mengandung penyesatan dan pengadudombaan satu terhadap yang lainnya.  Radikalisme menjadi salah satu paham yang berkembang pesat dalam kurun waktu lima terakhir ini.

Kehadiran paham ini secara perlahan menggerogoti tubuh negara kita tercinta, Republik Indonesia ini. Dan pada umumnya masyarakat yang menjadi sasaran empuk paham ini adalah mereka yang secara Pendidikan dan kerohanian (spiritualitas) kurang. Pemerintah dengan segala upaya dan kerja kerasnya telah memberi perhatian ekstra untuk membendung dan menutup segala aspek yang mendukung paham baru ini berkembang. Dan harus disadari bahwa pemerintah saja tidak cukup untuk menghentikan paham radikal ini. Dibutuhkan agen-agen yang mumpuni untuk membantu menghilangka radikalisme di muka bumi Indonesia.

 Mahasiswa adalah salah satu agen yang akan berperan dalam membantu negara memberantas radikalisme. Namun ada tantangan besar yang dihadapi di tengah derasnya arus globalisasai saat ini. Perguruan tinggi yang bertanggung jawab atas seluruh pertumbuhan dan perkembang mahasiswa tentu juga mendapatkan tantangan yang sama, mungkin dua kali lipat besarnya. Mahasiswa harus dibentuk menjadi sumber daya insani yang tidak hanya unggul secara teoretik-akademik namun Ia juga harus menjadi pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, "Menumbuhkan wawasan kebangsaan dengan tetap menjunjung tinggi 4 (empat) pilar kebangsaan yaitu nilai-nilai pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika, menjadi sangat penting untuk menangkal masuknya paham radikalisme yang bisa memecah belah bangsa".[1] 

 

Apa itu  Radikalisme ?

 Radikalisme berasal dari kata radix yang berarti akar. Dalam KBBI, radikalisme dijelaskan sebagai sebuah pemahaman atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan . Dari sini, radikalisrne dapat kita dipaharni sebagai sebuah paharn politik kenegaraan yang rnenghendaki adanya perubahan dan revolusi besar-besaran, sebagai jalan untuk rnencapai taraf kernajuan yang signifikan. 

Defenisi singkat ini cenderung menghasilkan makna yang positif. Karena paham ini mendorong seseorang atau kelompok untuk mengembalikan haluan negara yang mungkin sesat setelah dipimpin oleh seorang pemimpin yang kurang baik dan bertanggung jawab atas tugas dan janji kampanyenya. Dalam hal ini makna radikal atau radikalisme mengarah kepada prinsip-prinsip atau praktek-pratek yang dilakukan secara radikal. Collin J. Beck mengartikan radikal dalam sebagai kata sifat, yakni memberikan gambaran pada orang (pribadi atau kelompok), ide dan Tindakan , atau pendapat di luar politik kekinian, berorientasi pada perubahan substansial pada bidang social, budaya, ekonomi,  dan stuktur politik; dan dilakukan oleh siapa pun di luar sarana kelembagaan.  [2]   

 Pada dasarnya, perlu kita dibedakan antara kata radikal, radikalisme dan radikalisasi. Menurut KH. Hasyim Muzadi, Mantan Ketua PBNU dan pengasuh pesantren al-Hikam Malang), pada dasarnya seseorang yang berpikir radikal (berpikir mendalam, sampai ke akar-akarnya) boleh-boleh saja, dan memang berpikir sudah seharusnyalah seperti itu.[3] "Radikalisme", KH. Hasyim Muzadi mendefiniskannya "radikal dalam paham atau ismenya". Biasanya mereka akan menjadi radikal secara permanen. 

Radikal sebagai isme ini dapat tumbuh secara demokratis, force (kekuatan) masyarakat dan teror. Dengan kata lain, radikalisme adalah radikal yang sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. [4] Dalam pandangan peneliti erpotensi menjadi radikal dan penganut paham radikal (radikalisme), tergantung apakah lingkungan (habitus) mendukungnya atau tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan radikalisasi menurut Muzadi adalah seseorang yang tumbuh menjadi reaktif Ketika terjadi ketidakadilah di dalam kehidupan bermasyarakat.[5] Biasanya akan berkaitan dengan ketidakadilan ekonomi, politik, lemahnya penegakan hukum dan lain sebagainya.

 Selanjutnya menurut pendapat Irwan Masduqi dalam bukunya "BerIslam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama" bahwa Radikalisme adalah fanatik kepada sutu pendapat serta menegasikan pendapat orang lain, mengabaikan terhadap kesejahteraan Islam, tidak dialogis, suka mengkafirkan kelompok orang lain yang tak sepaham dan tekstual dalam memahami teks agama tanpa mempertimbangkan maqasihid al-syari'at (esensi syariat). [6] Radikalisme menjadi jalan yang memberikan kesan antipati pada perbedaan. Dan radikalisme berkembang dan hadir dalam konteks keagamaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun