Mohon tunggu...
Cornelia Putri
Cornelia Putri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Uang untuk Hidup Manusia atau Manusia Hidup untuk Uang?

13 September 2017   06:05 Diperbarui: 13 September 2017   18:13 2745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemikiran saya kali ini berawal dari memori saya tentang kejadian beberapa waktu yang lalu. Saat itu saya pergi ke rumah seorang kerabat. Kebetulan pada waktu itu seluruh keluarga besar kerabat saya itu berkumpul di rumah nenek mereka. Saat itu saya diundang untuk sekedar ikut isi perut saja.

Ada seorang anak di keluarga tersebut, dia bernama Bagas. Saya mengenal Bagas sebagai anak yang manja, suka seenaknya sendiri, ceplas-ceplos, namun dia juga sangat ramah sehingga tidak sulit untuk bisa akrab dengan anak ini.

Pada waktu itu saya benar-benar terkejut dengan tingkah Bagas yang menurut saya sangat tidak sopan. Entah karena masalah apa, namun tiba-tiba Bagas mengumpat dengan keras kepada Pakde Seno, yang merupakan kakak dari ayahnya.

Spontan saya langsung bilang, "Eh, Bagas kok ngomong gitu sama Pakde? Gak boleh, Gas".

Teguran halus saya itu langsung disambut tawa dari orang-orang yang ada di ruangan tersebut dan sepertinya hanya saya yang terkejut dengan tindakan Bagas.

Telisik punya telisik, ternyata Bagas memang suka bertindak seenaknya pada anggota keluarga yang lain dan anggota keluarga yang lain juga tidak ada yang menegurnya, karena mulai dari Pakde sampai Om semua mendapat bantuan secara finansial dari Ayah Bagas.

Melihat dari kasus Bagas saya jadi berpikir lebih jauh dan ada sebuah pertanyaan sinis terlintas dalam benak saya, "Oh, jadi karena ayahnya kasih uang ke anggota keluarga yang lain, jadi anaknya bisa bertindak semena-mena, gitu?"

Sebenarnya kalau mau dipikir-pikir lagi, bentuk pemikiran seperti ini mungkin tidak hanya terjadi di keluarga kerabat saya itu. Hampir di berbagai elemen masyarakat memiliki pola pikir yang sama, 'Karena sudah bayar jadi bebas mau ngapain aja'.

Apakah sekarang ukuran batas kesopanan, etika, tata krama, nilai dan norma sosial hanya sebatas materi berupa uang belaka? Jadi kalau sudah bayar kita bisa memerlakukan orang lain seenak jidat begitu?

Kalau memang begitu tidak mengherankan jika di Indonesia begitu marak investasi bodong, penipuan uang, perdagangan barang palsu, dan berbagai tindak penipuan yang terkait dengan uang, kan semuanya ditakar sebatas uang. Tidak ada lagi nalar sehat yang bisa diajak berpikir mengenai kepantasan, logika mengenai seberapa banyak yang bisa didapat berdasar usaha yang dilakukan, dan tidak ada lagi hati nurani yang bisa diajak untuk menimbang keputusan.

APAPUN akan dilakukan demi mendapat uang dalam jumlah yang banyak, karena jika didasarkan pada pikiran sinis saya di atas maka setiap orang berpikir bahwa mereka bisa melakukan apapun yang ia mau asal punya banyak uang. Apakah seperti itu? Apakah harga diri kita sebagai manusia hanya ditakar sebatas uang? Kemudian ketika anda sadar bahwa anda menjadi korban penipuan, anda menyalahkan berbagai pihak, padahal semua masalah berawal dari anda sendiri yang ingin keuntungan instan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun