Mohon tunggu...
Juru Ketik Saja
Juru Ketik Saja Mohon Tunggu... wiraswasta -

Cemberut dalam sangkar butut, berkabut lembut. ~Selamat pagi, selamat unjuk gigi~

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Playboy Karet ~ Seorang Lelaki Harus Berani Bermimpi ~

9 Agustus 2013   13:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:29 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Seorang Lelaki Harus Berani Bermimpi

Aden duduk sendirian di sebuah kursi panjang. Lorong gedung yang sepi di lantai tiga membuatnya sangat kesepian dan merana. Hanya beberapa dosen yang terkadang lewat memecah lamunannya. Sambil menunggu dosen, waktunya banyak dihabiskan untuk melamun dan berkhayal. Sosok wajah cantik Fidhi kembali hadir di tengah lamunannya.
Fidhi Nirindra Ayuningtyas. Satu-satunya wanita yang bisa membuatnya hilang kepercayaan diri. Ketika di hadapannya semua modal yang Aden miliki sebagai playboy hilang entah ke mana. Kalimat-kalimat romantis yang telah menaklukan banyak hati wanita itu seolah menguap tak bersisa. Perjumpaannya kemarin sungguh membuat Aden semakin hilang kepercayaan diri di depan perempuan itu.
“Dia masih pacaran sama Neon.” bisik Aden, pesimis.
Suara derap sepatu berjalan mendekat, menyadarkannya.
“Selamat siang, pak.” sapa Aden kepada Dosen yang telah dua jam dia tunggu.
“Selamat siang, mau bimbingan ya?”
“Betul pak.”
“Seperempat jam lagi ya mas. Saya mau makan siang dulu.”
“Baik pak.” Aden pasrah.
---
“Saudara baru kelihatan? Linggar Radendya kan?” tanya Dosen pembimbing skripsinya.
“Betul pak.” jawab Aden lirih.
“Sudah dua semester tidak bimbingan, kenapa?”
DEG
“... eehhh.” Aden bingung, tidak menyangka akan ditanya seperti itu.
“Aduh ... dia masih ingat aku.” dalam batinnya.
“Anda itu satu-satunya mahasiswa semester empat belas yang belum lulus di Fakultas Ekonomi. Nama anda sudah sering disebut-sebut dalam rapat dosen. Anda ingin drop out?"
“Tidak pak.”
“Tidak apa? Tidak mau lulus?”
“Bukan pak. Saya tidak mau drop out.” Jawab Aden. Mukanya memelas.
“Masih ada waktu lima bulan. Anda harus rajin dan tekun. Setiap hari harus datang bimbingan pada saya. Sanggup?”
“Saa.. saaanggup pak.” Aden ragu.
Sang dosen mengangguk-angguk. Diambilnya sebatang rokok. Tangannya masuk ke dalam saku. Seperti sedang mencari sesuatu.
“Kamu bawa korek?"
“Eh ... bawa pak.” Aden mengambil korek dalam sakunya dan menyerahkannya pada dosen pembimbingnya.
“Maaf kalau saya sambil ngerokok. Saya paling ndak bisa kalau habis makan trus ndak ngerokok.” Kata dosen tersebut sambil menghisap rokoknya.
“Sama pak.” Aden keceplosan.
“Hah ... kenapa mas?” tanya sang dosen.
“Oh, eng .. eeenggak pak.” Aden gelagapan.
“Bapak setiap hari ke kampus?” Aden bertanya. Mengalihkan pembicaraan.
“Yang penting setiap hari senin sampai jumat anda ke kampus saja. Ada saya atau tidak ada saya itu urusan nanti. Yang penting anda harus rajin ke kampus. Tunggu saya. Kalau saya tidak datang anda kan bisa ke perpustakaan.”
DEG!
“Olala ... masa aku harus olah raga naik turun tangga setiap hari. Dan menunggu tanpa kepastian.” dalam hati Aden.
“Baik pak.” itu yang bisa Aden jawab. Pasrah.
“Bagus kalau begitu. Mana berkas proposal skripsinya?”
Aden membuka tasnya dan tidak mendapati berkas proposalnya di situ.
DEG!
“Ke mana berkasnya? Tadi di sini. Jin kampus doyan makan berkas, ya?” batin Aden, tetap berusaha bersikap tenang. Sambil mengingat-ingat. Dia celingak-celinguk seperti orang hilang ingatan. Mukanya mulai terlihat grogi.
“Ma ... ma ... maafff pak. Ketinggalan.” ucap Aden terbata.
Dosen pembimbing skripsi geleng-geleng kepala sambil mengelus dada. “Ya sudah besok saja bimbingannya. Masih muda kok pikun.”
“Baik pak. Terima kasih. Saya permisi.” Aden berdiri dan keluar dari ruang dosen.
Aden berjalan menuruni tangga, keluar gedung dan menuju tempat parkir.
“Den ... mas Aden.” Seseorang teriak memanggilnya dari dalam kantin. Kantin di kampus letaknya dekat dengan tempat parkir.
Orang itu keluar kantin dan berlari mendekat. Tangannya memegang sebuah tumpukan kertas. “Ini berkas proposal mas tadi tertinggal di meja kantin.”
Oalaaaa.
“Makasih ya mba.” Kata Aden pada si penjaga kantin.

“Si Aden ke mana ya, kok nggak pernah ngumpul lagi?” tanya Dona.
“Nggak tau tuh, ngilang gitu aja. Dia juga nggak ngasih kabar tentang hasil pertemuannya dengan pak Bowo.” Timpal Angga.
“Ada negatif ada positif. Dag dig dug der nunggu tes kehamilan. Dah gue hubungi nomornya nggak aktif. Padahal dia janji hari ini dateng jam sembilan” Vivid menambahkan. Seperti biasa tidak ketinggalan pantun khasnya.
“Coba kamu kontak dia lagi Vid.” Perintah Dona.
Aku terjatuh ... aku terjatuh lagi di pelukanmu. Sebuah nada tunggu ST 12 keluar dari speaker handphone Vivid.
“Aktif nih nomernya.” Vivid memberi tahu kepada Angga dan Dona.
Sudah kubilang, hapus air mata. Suara Charlie ST 12 masih berbunyi di sana. Cinta ku hilang ... TUTT . “Ya halo.” Suara Charlie berganti dengan suara Aden.
“Woi, Den, pergi ke pasar beli kue bolu. Pulang ke rumahnya naik becak. Lagi di mana lu? Ini ditunggu sama anak-anak.” Vivid bertanya.
“Aku di kampus.” jawab Aden, singkat.
“Ngapain lu di kampus? Ada target baru ya? Atau jangan-jangan lu lagi ngecengin mba penjaga kantin biar dapat jatah jajan gratis?”
“Sialan. Nggak lah. Aku lagi sibuk bimbingan skripsi. Eh, sori, udah dulu ya. Nanti sore aku ke studio. Salam buat anak-anak.”
“Eh sebentar Den, ... ada artis Indra Birowo. Bikin kita ketawa ngakak. Gimana hasil pertemuan dengan pak Bowo? Dapat kontrak apa kagak?”tanya Vivid cepat.
"Nanti aku ceritain deh, tapi nggak sekarang, panjang lebar ceritanya."
"Terus kapan mau ngum ... "
TUT ... TUT ...
"Sial belum selesai ngomong udah ditutup telponnya." Vivid kesal.
"Hahahaha rasain ... habisnya situ kalau ngomong kelamaan. Orang lagi ngobrol di telpon pake acara berpantun segala. Kenapa nggak sekalian situ baca puisi atau cerpen juga." ledek Dona.
Vivid hanya manyun menanggapi ledekan Dona.
---
Sudah seminggu ini Aden rajin ke kampus. Tekadnya sudah bulat. Semangatnya tidak kalah dengan pasangan pengantin baru di malam pertama. Kalau perlu dan diperbolehkan oleh satpam kampus, dia akan mendirikan tenda di depan gedung kampus demi menyelesaikan skripsinya. Jarak kampus dan kos Aden memang cukup jauh. Tiga puluh menit perjalanan harus ditempuhnya. Bahkan kalau jam kerja bisa sampai satu jam lebih karena macetnya jalanan kota Jogja.
“Mas, kampusnya di sebelah mana?” tanya ibunya saat dulu menjenguknya di tempat kos.
“Jauh bu, ini sudah gelap, kalau ke sana bisa-bisa kita ditangkap petugas keamanan kampus gara-gara dikira mau maling.” Jawab Aden sekenanya.
“Lho kok ambil kos di tempat ini? Mbok ya pindah saja ke yang deket kampus.” saran ibunya.
“Enak di sini bu. Nyaman, tenang buat belajar.” Aden memberi alasan.
“Di sini dekat studio tempat anak-anak ngumpul bu.” lanjutnya dalam batin.
Musik bagi Aden sama pentingnya dengan udara dan air. Musik adalah segalanya. Impiannya adalah menjadi musisi sejati atau pemain band terkenal.
“Apa impian lu?” tanya Ferry pada Andri pada awal-awal mereka tinggal satu kos-kosan.
“Aku ingin menjadi astronot suatu saat nanti. Mendarat di Bulan dan membawa pulang ke bumi sekarung pasir Bulan untuk aku jadiin mas kawin saat nikah nanti sama Wulan.” Jawab Andri berimajinasi.
“Ngarang lu ah. Kalau lu Den punya impian apa?" tanya Ferry beralih pada Aden.
“Eh, siapa yang ngarang! Gantungkan impianmu setinggi langit, bung Karno bilang begitu. Lagipula Bulan itu tingginya masih kalah tinggi dibandingkan langit. Jadi masih ada kemungkinan aku menggapainya” Andri tak terima.
“Elu gimana, Den?” tanya Ferry lagi pada Aden, tak mengubris pendapat Andri.
“Aku punya impian, nanti kalau aku mati, aku ingin seluruh dunia menangisi kepergianku. Jutaan orang mengantarkanku ke peristirahatan terakhir. Ribuan karangan bunga berjajar mengucapkan belasungkawa. Dan aku akan menulis surat wasiat, begini.”
SURAT WASIAT :
TOLONG JUAL KEMBALI RIBUAN KARANGAN BUNGA ITU DAN HASIL PENJUALANNYA SUMBANGKAN KE PANTI ASUHAN ATAU PANTI JOMPO.
TTD,

Aden (Sang Musisi Legendaris yang manis dan romantis)
Wakakakakakakakakak ... tawa meledak seketika.
“Iya benar, sekalian saja pemakaman lu itu dibuat tertutup alias ticketing. Terus hasil penjualan tiketnya bisa disumbangkan ke berbagai yayasan.” Ferry berkomentar, meremehkan.
“Yee ... emangnya kamu punya impian apa, Fer?” tantang Aden.
“Gue ingin menjadi pembalap. Melintas sekencang-kencangnya di sirkuit Monaco bersama Hassan.” Jawab Ferry sambil mempraktekan gaya menyetirnya.
“Emang Hassan itu siapa? Pembalap nomor satu dunia ya?” tanya Andri yang tidak mengerti dengan dunia balapan.
"Kalau dilihat dari namanya sih iya, Ndri. Pembalap juara dunia dari negara arab kayaknya." Aden menimpali, sok tahu.
Ferry tersenyum-senyum.
“Bukan. Hassan itu nama mobil gue.” jelas Ferry tentang mobil Nissan Stanza keluaran tahun 1985, sudah ada sebelum mereka lahir.
Wakakakakakakakakakakk ... tawa mereka kembali meriuhkan suasana kos.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun