Mohon tunggu...
Jefri Suprapto Panjaitan
Jefri Suprapto Panjaitan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

pecandu kenangan, penikmat masalalu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Pasir Putih

20 Februari 2023   15:06 Diperbarui: 3 Maret 2023   21:45 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar kabarmu saja aku sudah tidak pernah, apalagi melihatmu. Terakhir kali kita bertemu kau dekap aku dalam hangat pelukmu, saat mencoba menyembunyikan kisah yang kau rajut dengan laki-laki lain dibelakangku. 

Hingga pada akhirnya kuputuskan untuk melepas pelukan yang selalu ku rindukan hingga sampai sekarang.

Aku mengakui kamu wanita hebat, luka sudah kau tabur namun senyummu selalu berbuah rindu. Bagaimana tidak? Bayanganmu saja selalu menghujani pikiranku, dan aku tidak bisa berteduh dari itu semua. 

Kecewa sudah kau berikan, tapi entah kenapa aku selalu mengkhawatirkan kebahagiaan mu. Oleh karena itu, setiap malam atas nama rindu kuucapkan segala doa baik yang sebagian besar untukmu dan sisanya untuk kekuatanku.

Untuk kesekian kalinya rindu dan kecewa bertengkar dalam pikiranku. Aku tidak tahu caranya melerai mereka dan aku juga tidak pernah mencoba melakukan itu, karena aku sadar mereka sedang melakukan tugasnya masing-masing.

Sore itu saat senja di pelupuk barat yang sudah memancarkan cahaya berwarna kekuning-kuningan, aku memutuskan untuk pergi ke pantai berpasir putih yang berjarak tidak terlalu jauh dari rumahku, sekitar 10 menit perjalanan menggunakan sepeda motor. 

Entah kenapa akhir-akhir ini aku menyukai tempat itu, disana aku seakan kembali kemasa lalu. Di pantai itulah aku pernah mengukir sebuah kenangan indah bersama seorang perempuan, tapi aku tidak ingin memberitahu siapa perempuan itu.

Aku duduk di bibir pantai berpasir putih tepat dimana kita pernah duduk bersama tanpa alas, saat itu kau menanyakan sebesar apa rasa sayangku kepadamu. 

Aku masih ingat betul jawabanku saat itu, "aku tidak tahu alat ukur apa yang bisa mengukur rasa sayangku kepadamu, tapi yang pasti aku hanya ingin kau tahu, senyum yang aku mau, ya kamu, canda dan tawa yang aku mau, ya kamu, bahkan tangis yang aku mau juga kamu." Kau hanya tersenyum sembari menatapku cukup lama.

Tiba-tiba saat menikmati wisata masalalu yang mengalahkan indahnya pantai dibalut senja, aku ditampar oleh kenyataan. Kecewa datang mengusir rindu dalam pikiranku, mereka berdebat seperti biasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun