Mohon tunggu...
Jefri Suprapto Panjaitan
Jefri Suprapto Panjaitan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

pecandu kenangan, penikmat masalalu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tampak Jelas Tetapi Tidak Terlihat

18 Februari 2023   11:49 Diperbarui: 18 Februari 2023   11:52 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Teriakan senja di ujung barat, tempat setiap hari mentari dihantarkan oleh waktu untuk beristirahat. memanggil para pejuang rezeki yang masih bersemangat, mengayunkan cangkulnya dengan mata penuh harapan ke tanah tandus tempat ia berpijak. Tak satupun terlihat menghiraukan suara teriakan itu. Mereka bergegas angkat kaki, seakan tunduk kepada teriakan senja tanpa suara yang menyuruh untuk kembali pulang.

Terlihat dari kejauhan, para pejuang rezeki itu meninggalkan tempat dimana mereka menghabiskan waktu sebelum malam berjaga. Mereka menyusuri jalan setapak berlatar cahaya matahari yang melambaikan tangan, seakan mengucapkan sampai berjumpa besok kepada mereka yang telah berjuang. Langkah kaki yang meninggalkan jejak harapan terpancar dari raut wajah yang tidak sedikitpun terlihat merasa lelah, walaupun tubuh mereka telah dibasahi oleh keringat. Senyum di tengah-tengah percakapan barisan para pejuang itu masih mendominasi, mereka terlihat asyik mengobrol di sepanjang perjalanan sebelum sampai ke rumah masing-masing untuk sekedar memulihkan tenaga.

Gelap sudah mulai menyelimuti, suasana semakin sunyi, yang terdengar hanya suara jangkrik yang sesekali saling bersaut-sautan. Ditengah-tengah nyanyian nyaring jangkrik menyambut malam, tiba-tiba terdengar suara lonceng berbunyi lantang yang memecah kesunyian di malam itu. suara lonceng yang bersumber dari sebuah gereja tua yang masih memancarkan keanggunannya, memanggil mereka untuk kembali, mencari mereka yang telah hilang, dan mengingatkan mereka yang mungkin lupa. Tak berselang lama setelah bunyi lonceng itu selesai berbunyi, dari arah yang hampir sama, terdengar suara Adzan Magrib berkumandang yang bersumber dari Masjid tua tepat disebelah gereja. Memanggil mereka untuk kembali, mencari mereka yang telah hilang, dan mengingatkan mereka yang mungkin lupa.

Beberapa dari pejuang rezeki ditanah tandus tadi bersama istri dan anak-anaknya, terlihat berjalan menghampiri suara yang memanggil mereka. Langkah kaki mereka begitu ringan, keringat yang membasahi tubuhnya telah hilang, pakaian bersih dengan sarung yang terpasang rapi di pinggangnya, serta istri dan anak perempuan dengan mukenah putih bersih layaknya hati mereka, melengkapi kebahagiaan yang menghantarkan mereka ke tempat dimana rasa lelah akan berganti menjadi rasa syukur. Masjid tua itu memang selalu ramai oleh orang-orang desa disetiap harinya, untuk melakukan sholat berjamaah. Mereka tak pernah menghiraukan panggilannya, meskipun keadaan masjid sudah sangat tua.

Malam telah berjaga, gelap telah menjadi pemilik, cahaya semprong yang mengintip dari celah-celah dinding rumah yang terbuat dari bambu sudah mulai redup. Mereka telah tertidur lelap ditemani sinar rembulan yang memaksa masuk dari atap rumah yang sudah berlubang. Suasana tempat mereka tinggal terasa hangat, di tengah-tengah dinginnya angin malam. Rasa syukur mereka memberikan api unggun dan dongeng pengantar tidur, sebelum pagi memanggil.

Embun pagi sisa dari nafas malam datang menyapa, sebelum mentari tiba dan akan meleburnya dengan cahaya terang yang membuka gerbang rutinitas orang-orang di desa. Suara Adzan kembali berkumandang dengan tujuan yang sama. api kecil dari semprong hitam terlihat melemparkan cahayanya ke sudut-sudut rumah, cahaya itu dibiarkan menyentuh seluruh tubuh para penghuni rumah. bayangan yang dibentuk api kecil itu, memperlihatkan seisi rumah telah terbangun dari tidurnya. Beberapa laki-laki keluar dari arah rumah dan menuju ke arah suara yang telah memanggil mereka, tak terlihat sedikitpun kantuk di kedua mata mereka. Seakan suara itu, sudah menjadi panggilan yang mereka tunggu-tunggu di setiap bangunnya.

Tepat dibelakang rumah-rumah warga, kepulan asap menyelinap keluar dari sekat-sekat dinding bambu usang yang telah menghitam, seperti isyarat bahwa mereka telah siap menjalani hari ini. Embun pagi mulai beranjak pergi, cahaya dari timur menyambut pagi, matahari telah terbangun untuk menggantikan tempat tinggal bulan, diiringi bunyi lonceng lantang dengan tujuan yang sama seperti semalam. Burung-burung bernyanyi dan menari-nari mengelilingi sumber suara lonceng, memancarkan sukacita dan rasa syukur bagi mereka yang akan datang ketempat suara lonceng itu berasal.

Terang sudah sepenuhnya menguasai, tidak ada satupun sudut yang tak terjamahnya. Tak terkecuali rumah-rumah warga. lalu lalang para penghuni rumah sudah terlihat jelas, mempersiapkan diri menuju sumber suara lonceng. Sama seperti pemandangan para orang-orang desa yang memenuhi panggilan dari suara Adzan tadi malam dan tadi subuh. langkah kaki mereka yang menuju sumber suara lonceng terlihat sangat ringan. raut wajah yang ceria melantunkan selaksa ucapan syukur. Pakain rapi, para lelaki dengan kemejanya dan para perempuan dengan kebaya khas berwarna cerah. Tidak lupa buku yang cukup tebal bertuliskan Bibel dipegang dengan begitu erat di tangan sebelah kanan masing-masing dari mereka. Memang gereja tua itu selalu ramai disetiap minggunya oleh orang-orang desa untuk memuliakan hari sabat.

Matahari menancap tinggi di atas langit. tepat di bawah teriknya mentari, orang-orang berpakain bersih dengan sarung terpasang rapi bersama wanita-wanita bermukena putih bersih berjalan beriringan dengan laki-laki berkemeja dan wanita-wanita berkebaya khas berwarna cerah dengan buku tebal bertuliskan Bibel yang masih dipegang erat di tangan sebelah kanannya. Canda dan tawa saling menyapa di tengah-tengah perbedaan mereka, langkah kaki mereka terlihat leluasa menapaki jalan berumput jarang yang menuju ke rumah-rumah mereka. Obrolan mereka begitu hangat memeluk dan merangkul satu sama lain, rasa syukur yang terpancar dari raut wajah mereka, menghilangkan lelah yang diberikan tanah tandus tempat mereka berpijak.

Suasana desa menjadi ramai, para orang tua asyik mengobrol dan anak-anak asyik bermain di halaman kampung yang berdebu, tanpa ada satupun yang takut kotor. Mereka merasa bahagia dengan keadaan seperti itu, tak sedikitpun memelihara lara. Meskipun mereka terlihat seperti tanah kering yang merindukan setetes air yang singgah di dedaunan kering, berharap penuh pada daun untuk menumpahkannya. Sungguh indah pemandangan desa pada siang hari itu.

            Tak terasa sore telah tiba untuk menutup hari, mentari sudah hampir sampai di ujung barat. Pemandangan semakin indah, suasana hangat dari rangkul ucapan syukur dibalut senja ditepi barat,  memancarkan damai untuk setiap canda dan tawa yang dilemparkan setiap orang di desa itu. Tanah tandus tempat mereka mencari sesuap nasi untuk sekedar bertahan hidup pun ikut tersenyum ditengah-tengah kegersangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun