Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Terindah, Qonny...

27 Oktober 2012   06:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:20 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gb. prirafaeli.blogspot.com

Satu satu, kenangan itu menggeliat bangun dalam pikiranku. Kau, dengan segala keindahan yang melekat dalam dirimu. Kau sungguh memukau. Mata dan alismu membentuk satu kesatuan yang menarik dipandang mata. Aku suka saat mata itu mendelik jengkel, atau bibirmu yang bergerak- gerak saat dihadapkan pada pilihan. Ingin aku memiliki semua itu.

Senyum

Awal kita berjumpa. Di halte bus, kau menunggu dalam diam, tidak mendengar musik , atau sibuk dengan ponsel di tangan. Kau hanya diam, memandang hujan yang sangat deras, hingga beberapa butiran es, terjatuh di kakimu. Kau mengambil sebutir, meletakkan di telapak tanganmu, dan membiarkan butir es itu mencair oleh hangat tubuhmu. Kau tersenyum sangat manis. Mataku tak lepas memandangmu, hingga kau menoleh padaku, menyadari tatapanku yang sedari tadi mengawasimu. Dan lagi, kau tersenyum sangat manis.

Sayur

“Tidak makan sayur?” tanyamu begitu, di kantin pada jam istirahat. Kantor kita ada pada gedung yang sama. Gedung yang pongah menjulang tinggi di pusat Jakarta. Kau dengan rok krem tigaperempat, dipadu blus merah darah, tepat berdiri di belakangku, menunggu giliran. Hingga kudapati kita makan pada meja yang sama. Kau di depanku, aku bebas menikmati indah wajahmu, caramu mengunyah makanan dan menggigit daging, kurekam dalam ingatanku. Dan baru aku sadari, rambutmu  panjang sepunggung, bergelombang membentuk simpul ombak. Kau makhluk yang sangat indah.

Qonny

Ya, itu namamu. Nama yang sulit diucapkan untuk lidah kampung sepertiku. Qon-ny. Kau dengan santai menjawab saat kutanyakan arti dari namamu, “tidak tahu, dan sepertinya belum ada”. Sungguh jawaban yang mengejutkan, karena aku pikir, memulai pembicaran dengan orang yang baru dikenal  salah satunya tentang arti nama. Aku mulai bertanya- tanya, kenapa tidak perduli dengan arti nama, apakah tidak pernah menanyakan kepada orangtua, atau memang tidak ada makna dibalik penyematan nama itu pada makhluk seindah dirimu. Lagi, kau tersenyum. Memandangku cukup lama, “ Aku tidak tahu, dan memang tak akan menanyakan hal itu kepada orangtua. Aku akan mengetahui arti dari namaku saat kakiku tak lagi berpijak pada bumi”. Aku bingung, kau melanjutkan lagi, “ Baik buruk nama kita, aku pikir itu tergantung dari cara kita bersikap terhadap semua aspek-aspek kehidupan, dan juga pencapaian kita,tapi  yang utama adalah sikap”.  Aku memutuskan untuk menyelesaikan makan siangku, begitu juga denganmu, kau menenggak habis air putih, dan duduk diam mengamatiku, menungguku menghabiskan makan siangku.

Bawang merah dan bawang putih.

Kita dekat, sangat dekat. Aku tak tahu bagaimana  bisa sedekat ini denganmu, temanku bilang inilah proses alami dari cinta. Aku bilang ini aneh. Entah angin apa, kau memintaku datang ke rumahmu malam itu. Aku mendapati dua piring pasta dan dua botol minuman kaleng, di meja kecil di kamarmu. Kita makan dalam diam, seperti sebelumnya. Kau cantik malam itu, dengan terusan batik warna ungu bercorak bunga, dengan panjang hingga lutut. Entah kali keberapa aku terpesona dengan keindahanmu. “Hari ini ulangtahunku, ke-23” katamu pelan dan tersenyum manis. Dan aku seperti orang bodoh, melongo. Kau tertawa renyah, “bulan tua, kantong kering” katamu memecah kebodohanku. Aku masih melongo, hingga kau tertawa terbahak- bahak melihat wajahku dan menutup wajahku dengan kedua tanganmu. Bau bawang, tanganmu bau bawang putih dan bawang merah. Dan aku menyadarinya, kita begitu istimewa. Kita punya cinta.

Mr. Moon & Queen of the night sky

Ada satu yang menarik dari kamarmu. Sebuah poster hitam putih dengan gambar langit malam, bulan penuh,bintang- bintang dan awan halus seperti kapas. “Mau tahu rahasia gambar itu?” tanyamu pelan, aku tersenyum mengiyakan. Klik!. Kau mematikan lampu kamarmu, dan poster itu bercahaya, kuning untuk bulan dan bintang, abu abu untuk langit malamnya. Indah. “Aku ingin menjadi langit malammu” kataku. “Kau tak bisa menjadi semuanya, kau hanya satu, maka pilihlah salah satu dari keindahan itu” katamu berbisik. “Aku ingin menjadi yang paling kau suka” kataku sambil melihat wajah indahmu. “Jadilah bulan” katamu. Malam  itu untuk kali pertama aku mencium lembut bibirmu. Setelah itu aku mendapati cubitan mesra di perutku. “Mr. Moon” katamu , lama aku diam untuk membalas sebutan itu. Hingga aku menemukan sebutan yang manis untukmu, “Queen of the night sky”. Kita tertawa, menyadari sikap kita yang tiba- tiba kekanak-kanakan. Aku mencintaimu, Qonny... .

Just Walk

Malam minggu itu kau pergi membawa setengah dari jiwa dan cintaku. Kau memintaku untuk tak menemuimu lagi, lebih tepatnya memintaku melupakanmu untuk waktu yang tidak ditentukan. “Aku akan kembali” katamu pelan sekali. Aku ingin marah dan berteriak membentakmu, mengguncang badanmu supaya kau sadar apa yang kau katakan kala itu. Tapi kau terlalau lembut untuk diperlakukan sekasar itu. Seringkali aku seperti orang bodoh dihadapanmu. Dan situasi ini sudah diluar batasku. Tak mampu untuk berkata- kata. Kau memegang wajahku dengan kedua telapak tanganmu, dingin, tanganmu dingin. Sekali lagi kau menegaskan “Aku akan kembali, pasti kembali. Tunggu aku ya...” katamu sambil memberikan senyum yang sangat manis. Senyum yang sama saat pertama kali bertemu. Tak ada penjelasan. Kau berjalan, jauh, dan semakin jauh dariku, setelah kau mengecup lembut pipi kananku. Tak ada airmata. Kosong. Kau menghilang dari pandanganku. Aku gila. Entah bagaimana aku tanpamu.

Setelah satu tahun tanpamu aku mendapati satu pesan pada ponselku “Aku pulang”, hanya dua kata. Lima belas menit selan pesan itu masuk, kini kau ada dihadapanku. Masih sama seperti yang dulu, senyummu, tatapan matamu, rambutmu yang seperti simpul ombak, Queen of the night sky. Kau pulang. Aku meraih tanganmu, membelai lembut pipimu, menyelipkan rambut pada telingamu. Sungguh kau masih sama. “Aku pulang Qya... “ katamu pelan sambil tersenyum. Perlahan tanganmu meraih ujung bajuku, aku tahu kau rindu pelukanku. Benar, kau memelukku sangat erat, sampai aku merasakan kita jadi satu. Kau masih memelukku saat kau mengatakan “aku rindu, sangat rindu, setengah mati merindumu”, selanjutnya isak tangis terdengar ditelingaku. Aku tak membalas ucapanmu itu, pelukanmu aku lepas perlahan. Kau heran, memandang tepat pada kedua mataku. “Apakah aku telat?” tanyamu, sungguh aku tak mampu menjawabnya. Hingga suara Mia, memecah kekosongan kita. Seperti biasa kontrol dirimu sangat hebat, kau hanya berdiri diam, memandang kami berdua, tersenyum manis, tak ada air mata, sungguh luar biasa, “baiklah, aku pulang Qya”, begitu katamu. Kau berjalan menjauh dariku kedua kalinya, dan kali ini tak akan kembali lagi.

Kau tak meminta penjelasanku, kau tak menjelaskan alasanmu meninggalkanku. Hubungan itu perlu kejelasan, aku tak bisa selamanya menebak- nebak apa yang terjadi padamu, apa yang kau inginkan, mengapa kau bersikap begitu, kau lebih banyak diam. Satu tahun itu waktu yang lama, aku bisa melupakanmu dan menemukan penggantimu. Aku sudah mencoba untuk menunggu, aku tak bisa Qonny.... Aku kesepian, aku gila. Hingga aku menyadari ada cinta disekelilingku, aku memutuskan untuk memilih satu diantara cinta itu, menemaniku dan mengisi kekosonganku

Kita punya kisah yang indah, manis untuk dikenang.

Qya

Jakarta, 26 oktober 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun