Mohon tunggu...
conie sema
conie sema Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja seni di Teater Potlot

CONIE SEMA, lahir di Palembang. Mulai menulis sastra, esai, dan naskah panggung, saat bergabung dengan komunitas Teater Potlot. Karya cerpen, puisi, esai, dan dramanya dipublikasikan media antara lain, Lampung Post, Koran Tempo, Media Indonesia, Majalah Sastra Horison, Sriwijaya Post, Mongabay Indonesia, Berita Pagi, Sumatera Ekspres, Haluan Padang, Majalah Kebudayaan Dinamika, dan Lorong Arkeologi. Puisinya terhimpun dalam antologi bersama: Antologi Rainy Day: A Skyful of Rain (2018), Sebutir Garam diSecangkir Air (2018), Selasa di Pekuburan Ma’la (2019), When The Days Were Raining - Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival (2019). Salah satu naskah dramanya, Rawa Gambut mendapat Anugerah Rawayan Award 2017 oleh Dewan Kesenian Jakarta. Perahu, adalah novel pertama (2009, cetak ulang 2018). Conie Sema bisa dihubungi: Alamat : Jalan Randu No. 13-B, Kemiling, Bandar Lampung. Telp : 0857 6972 3219 WA : 0857 6972 3219 Email : semaconie@gmail.com KTP : 1871132404650002

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi: Surat-surat dari Pesisir Timur

24 Desember 2020   03:38 Diperbarui: 24 Desember 2020   16:21 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Nelayan (DINI KURNIASARI / KOMPAS TV)

Puisi Conie Sema

sebelum pergi laut menitip mata kekasihnya ke pucuk meranti tua. ia baru saja memangkas hikayat Hang Tua dalam percakapan Malaka. ketika tubuh Melayu terperam ketam. laut sekepak elang di lembah sungai. mendaki tebing napal menuju pantai.

aku Melayu yang pergi ke laut
berlabuh kapal ke tanjung pulau
aku suku laut anak gelombang
membaca daratan sebagai lautan

laut lalu berkabar kapal-kapal kehilangan dermaga. perahu-perahu mencari tambat. selat dan sungai tak lagi berkunjung ke rawa. buaya muara menyapa gambut menyuling payau. anak suku laut tak lagi pandai berperang. mereka memburu kota. rumah-rumah tanpa kaki menghadap darat. memunggungi pesisir. hutan bakau dan sungai-sungai.

dari jembatan penghubung dua pulau mata laut menerawang ke udara. angin timur dan musim pancaroba membawa badai. membenturkan kapal-kapal ke perahu nelayan di Tanjung Api Api. ia menyeberang dari Selapan ke selatan selat Bangka. ada lelaki berjas hitam masuk dalam kopernya - ia membawa peta penyeberangan Bangka Sumatera. Jembatan baru pelabuhan baru. Bahtera Sriwijaya. singgahlah.

kekasihku aku berlari ke Malaka membawa Palembang
aku Parameswara terkunci dalam lemari lautmu menyimpan
hikayat rempa di jalur perdagangan timur dan barat 
aku mengundangmu datang ke dermaga di mana kita
dapat bercurat dari ketakutan karang pada ombak atau
keresahan puisi yang gagal menyapa pantai - setiap petang 

surat-surat laut itu seperti meneruskan Sriwijaya ke selat Bangka. berulang dibaca kekasihnya. disimpan dalam laci meja yang nyaris ambruk dirubung rayap. meja bergambar naga. berceruk lubang tambang. meja yang ditumbuhi pohon-pohon dan pabrik. di mana kampung-kampung tua direbahkan.

sebelum petang terbenam, mata laut berubah mata drone di atas lanskap pesisir timur. berharap matahari pagi menjemput kekasihnya bersama bala seribu gajah. menemui patung prajurit terakota. membuat persepakatan. seperti pelaut barat timur yang lalulalang di bandar Semenanjung Melayu. ia teringat laksamana Yin Ching mengunjungi Parameswara. teringat pernikahan Putri Hang Li Po dengan seorang sultan Malaka. teringat juga surat terakhir buat kekasihnya, ia berharap berjumpa makamnya di laut.

Jan 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun