Mohon tunggu...
Andi
Andi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengajar Pemula

Cara membuat hidup tidak ribet adalah dengan mengelola dan mengontrol pikiran kita dengan baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bapak, Mengapa Ini Terjadi? (Sebuah Cerpen)

22 Maret 2021   08:47 Diperbarui: 22 Maret 2021   08:59 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Sebuah cerita dari can)

"Ter, aku pergi ya," Suara bapak memanggil ibu yang sedang memasak tempe goreng di dapur. Aku yang masih diam dalam tidur, merasa berat hati ketika bapak akan pergi bekerja. Aku khawatir dengan keadaan bapak, khawatir jika Bapak tidak sengaja terjangkit virus corona yang sedang merambat luas di kehidupan manusia.

Sebelumnya, aku tak pernah merasa setakut ini. Aku selalu senang ketika melihat bapak akan bekerja, karena seragam jingga yang menempel pada tubuhnya akan terlihat mencolok di mataku. Aku sering menggoda bapak, mengatakan kalau ia tampan dengan setelan demikian. bapak menganggapnya gurauan walaupun aku serius.

Pada kondisi seperti ini, aku tidak dapat melakukan apa-apa. Semua rutinitasku juga tak serapi dulu lagi. Jika dulu aku menjadwalkan jam tidur dan jam bangunku, namun belakangan ini tidak lagi. Aku tidur terlalu malam dan bangun terlalu siang.

Aku selalu merasa kesepian. Orang tuaku selalu bekerja di luar. Bapak seorang penyapu jalan. Setiap hari, sebelum ayam berkokok, bapak sudah bangun. Mempersiapkan alat-alatnya, memakai setelan jingganya, lalu membantu ibu memasak sarapan sambil menyantap kopi hitam buatan mamak. Terkadang aku kasihan pada bapak, di kala jam sebelum magrib, bapak akan masuk rumah dengan muka yang lelah. Perjuangannya membersihkan setiap sampah di kota ini terlihat tak punya ujung. Dengan seragam gagahnya yang terkadang sudah kotor hasil keringat dan sampah plastik basah selokan di dekat jalan besar, bapak memintaku memijat punggungnya.

Sejujurnya, aku tak bisa berbuat apa-apa. Lahir tanpa kaki, membuatku tidak mampu bergerak sebebas manusia beruntung lain. Ketika aku hendak berencana membantu bapak dan mamak mencari uang, aku berpikir lagi dengan kakiku. Jangankan membantu mereka mencari sesuap nasi, ke toilet saja aku tak bisa sendiri. Harapanku hanya satu, jika aku tak dapat membantu mereka dengan tenagaku, setidaknya aku tidak menyusahkan mereka dengan tingkahku.

"Ter, .." bapak memanggil ibu. Jarum jam telah menunjuk angka tujuh, bapak baru pulang. Aku ingin menemuinya, walaupun hanya sekadar memberi senyum dan menenangkan pikirannya, namun aku tak bisa.

"Vid, mana mamak?" Bapak bertanya padaku melihat mamak tak membalas sahutannya.

"Kayaknya ke warung, pak," aku mengingat kalau mamak tadi minta izin ingin ke warung.

"Kamu sudah mandi belum?" Bapak datang ke kamar, melihat situasiku. Lalu tersenyum dengan wajah tampannya. Aku tahu dia tak mau mengumbar kelelahan nya di depan kecacatanku.

"Sudah pak, bapak mandilah" aku membalas senyum bapak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun