Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menelusuri Warisan Asian Games 1962

14 September 2018   23:08 Diperbarui: 17 September 2018   01:35 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Asian Games 1962, alat unjuk gigi sebuah bangsa. (sumber foto: https://sportourism.id)

Tanggal 18 Agustus 2018 menandai dimulainya Asian Games ke-18. Situasinya tentu jauh berbeda dengan Asian Games ke-4 pada 1962 silam. Saat itu Indonesia baru 17 tahun merdeka. Apa saja jejak Asian Games 1962 yang masih ada sampai sekarang?

Pada 5 Agustus 2018 lalu Komunitas Ngojak mengadakan event 'Napak Tilas Asian Games 1962'. Sekitar 55 peserta menyusuri lima infrastruktur yang dibangun Presiden Soekarno guna menyambut Asian Games (AG) 1962, yakni Monumen Selamat Datang, Hotel Indonesia (HI), Jembatan Semanggi, Gelora Bung Karno (GBK), dan TVRI. Indonesia pertama kalinya menjadi tuan rumah AG 56 tahun yang lalu. AG diselenggarakan pada 24 Agustus-4 September 1962 di Jakarta. Olah raga di mata Soekarno merupakan salah satu alat unjuk gigi sebuah bangsa.

Simbol pertama, Monumen Selamat Datang yang berlokasi di tengah Bundaran HI. Monumen tersebut dibangun Soekarno dengan tujuan menjadikan Indonesia lebih dipandang oleh negara-negara lain. Pasalnya pada 1960-an Indonesia masih terbilang muda dibandingkan Amerika Serikat atau Uni Soviet. Soekarno memandang, untuk membesarkan nama Indonesia harus ada pembangunan fisik dan pembangunan karakter bangsa dalam bentuk olah raga, pendidikan, dan kebudayaan. Pada 1950-an sebelum diselenggarakan AG, Soekarno telah menggembar-gemborkan bahwa olah raga itu penting. Mens sana in corpore sano, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.

Monumen Selamat Datang menggambarkan gelora dan semangat yang mewakili pemuda Indonesia dalam menyambut kedatangan tamu dan atlet Asian Games. (sumber foto: https://infonawacita.com)
Monumen Selamat Datang menggambarkan gelora dan semangat yang mewakili pemuda Indonesia dalam menyambut kedatangan tamu dan atlet Asian Games. (sumber foto: https://infonawacita.com)
Monumen Selamat Datang, berupa patung sepasang manusia yang menggenggam bunga dan melambaikan tangan, disketsa oleh Henk Ngantung. Pada periode 1960-1964 beliau menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta. Selanjutnya pada 1964-1965 Henk menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Sebelumnya beliau adalah pelukis. Henk dipilih Soekarno untuk membuat sarana yang bersifat simbolik. Pasalnya Soekarno sangat menyukai simbol.

Pelaksana pembuatan patung adalah pematung istana Edhi Soenarso. Monumen Selamat Datang menggambarkan gelora dan semangat yang mewakili pemuda Indonesia dalam menyambut kedatangan tamu dan atlet AG. Patung tersebut menghadap ke Bandara Kemayoran yang merupakan akses 1.460 atlet dari 17 negara. Kala itu belum ada Bandara Halim Perdanakusuma dan Bandara Soekarno-Hatta. Monumen Selamat Datang diresmikan Soekarno pada 1962.

Salah satu dampak pembangunan infrastruktur AG 1962 adalah perubahan sejumlah kampung, seperti Kampung Besar, Kebon Melati, Kebon Kacang, Kebon Sayur, Kebon Jati, dan Kebon Kosong menjadi jalan besar. Jalan tersebut menjadi penghubung dari Bandara Kemayoran. Fakta tersebut mengartikan semua bangunan di tengah kota Jakarta pada masa itu adalah perkampungan yang menghasilkan sayur dan buah sebagai konsumsi untuk masyarakat Jakarta .

Guna mendukung persiapan perhelatan AG 1962, Soekarno membentuk Dewan Asian Games Indonesia (DAGI). Tugas dewan tersebut adalah menjamin hasil yang dapat mengharumkan nama Indonesia dalam AG dan memusatkan segala kegiatan olah raga di seluruh Indonesia melalui pembentukan tim yang sekuat-kuatnya. Saat Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah AG, dalam waktu empat tahun Indonesia harus mengebut pembangunan infrastruktur. Pada AG 2018 DAGI tak ubahnya Indonesia Asian Games 2018 Organizing Committee (INASGOC).

Kepribadian Bangsa

Simbol kedua, HI yang sekarang menjadi Hotel Indonesia Kempinski. Arsitektur HI hampir mirip dengan Masjid Istiqlal. Sebelumnya Wakil Presiden Mohammad Hatta ingin Masjid Istiqlal dibangun di lokasi berdirinya HI. Namun ide tersebut ditolak Soekarno. Beliau menginginkan Masjid Istiqlal dibangun di lokasi saat ini yang merupakan simbol kolonialisme.

Berseberangan dengan HI tampak Wisma Nusantara. Pembangunan gedung tersebut atas ide  Soekarno menggunakan biaya pampasan perang Jepang. Berdasarkan Perjanjian San Fransisco tahun 1951 yang digagas Amerika Serikat (AS) sebagai pemenang, Jepang wajib memberikan kompensasi kepada negara-negara yang pernah dijajahnya, termasuk Indonesia.

Selain Wisma Nusantara, pampasan perang Jepang digunakan untuk membangun beberapa proyek seperti Sarinah, Samudra Beach Hotel, Hotel Bali Beach, dan Jembatan Ampera. Soekarno menempatkan HI berdekatan dengan Sarinah sebagai pusat perbelanjaan modern pertama di Jakarta dan Wisma Nusantara yang berfungsi sebagai kantor. Bisa dibayangkan masyarakat Indonesia yang saat itu masih miskin dihadapkan dengan ambisi besar Soekarno.

Jalan Thamrin-Sudirman sendiri dibangun sebelum AG, tahun 1949. Fungsinya adalah  menghubungkan Kebayoran Baru yang akan menjadi kota satelit baru mengingat Kota telah dibangun di barat Jakarta dan Jatinegara di timur Jakarta. Kota Satelit Kebayoran Baru dibangun oleh pengembang Central Stichting Wederopbouw yang merupakan perusahaan Belanda.

Hotel Indonesia dibangun sebagai sarana penunjang para atlet dari negara lain. (sumber foto: https://travel.kompas.com)
Hotel Indonesia dibangun sebagai sarana penunjang para atlet dari negara lain. (sumber foto: https://travel.kompas.com)
HI adalah hotel bintang lima pertama di Indonesia dengan luas 25 hektar. Hotel tersebut dibangun sebagai sarana penunjang para atlet dari negara lain, seperti halnya Wisma Atlet di Kemayoran pada AG 2018. HI diresmikan pada 5 Agustus 1962 oleh Presiden Soekarno. Hotel tersebut dirancang oleh arsitek Abel Sorensen  dan istrinya, Wendy yang berasal dari AS. Soekarno mengenal mereka saat mengunjungi markas besar PBB di New York. Beliau terkesima dengan bangunan tersebut. Selanjutnya Soekarno mengajak suami istri tersebut bekerja sama untuk membangun HI. Dalam proses pembangunannya sering terjadi perdebatan di antara mereka. Menariknya, biaya pembangunan HI juga berasal dari pampasan perang Jepang.

HI dibangun dengan huruf T. Soekarno ingin tamu yang menginap bisa bebas melihat suasana di luar dan memperoleh sinar matahari yang cukup. Dahulu HI memiliki 500 kamar, kini hanya 289 kamar. Pasalnya beberapa kamar diperluas. Dari 500 kamar tersebut, tidak semuanya menggunakan AC. Soekarno ingin tamu merasakan iklim tropis. Oleh karena itu ventilasi diperbesar. Allen Atwelt, warga AS yang bekerja di Yayasan Rockefeller menjadi tamu pertama yang menginap di HI. Sementara itu William Land merupakan general manager pertama HI. Soekarno mengakui Indonesia belum memiliki sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengelola hotel sebesar itu.

Dalam pidato peresmiannya, Soekarno mengatakan, 'tunjukkan kepribadian bangsa dalam kebudayaan'. Salah satu ruangan di HI, Bali Room, menjadi pusat kebudayaan Jakarta, dalam hal ini Indonesia. Tokoh besar seperti Teguh Karya, Rima Melati, sampai Titik Puspa pernah mengisi acara di sana. HI sejak dulu terkenal mahal. Tarif menginap per malamnya sebesar Rp 2.400, padahal gaji standar pada saat itu adalah Rp 800 per bulan. Menariknya, nasi goreng adalah makanan termurah dengan harga Rp 1.000, 60 kali lipat dari harga di pasaran.

HI memiliki slogan 'A Dramatic Symbol of Free Nations Working Together'. Hotel tersebut dibangun dengan sangat canggih yang dibuktikan dengan adanya lift. Dahulu HI dimiliki pemerintah, saat ini dikelola oleh grup Kempinski. Setelah mengalami renovasi selama lima tahun, pada 20 Mei 2009 Hotel Indonesia Kempinski dibuka kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Heroik

Tak jauh dari HI terlihat Patung Jenderal Sudirman yang digambarkan heroik. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan keadaan sehari-hari di Jalan Sudirman. Kawasan tersebut memiliki arus kendaraan yang sangat padat. Jalan Sudirman merupakan jalan protokol seperti halnya Jalan Thamrin. Patung Jenderal Sudirman yang memiliki tinggi keseluruhan 12 meter dikerjakan oleh seniman sekaligus dosen Seni Rupa ITB Sunario. Patung tersebut diresmikan pada 16 Agustus 2003.

Jenderal Sudirman adalah panglima besar, pemimpin pasukan gerilya pada masa perang kemerdekaan (1945-1949). Beliau hijrah sejauh 1.200 km dari Yogyakarta, Jawa Timur dan kembali lagi ke Yogyakarta. Jarak tersebut ditempuh selama kurang lebih satu tahun. Satu hal yang patut dikenang dari sosok Sudirman, dalam kondisi sakit beliau tetap memimpin perang gerilya. Hal tersebut menjadi pembeda dengan tokoh-tokoh besar lainnya.

Nama jalan Thamrin diambil dari tokoh Betawi Mohammad Husni Thamrin yang pertama kali menjadi anggota Volksraad mewakili pribumi. Thamrin menjadi simbol perjuangan rakyat kecil. Namanya juga diabadikan dalam proyek perbaikan kampung di Jakarta atau program MHT. Proyek tersebut mengubah tata kelola kampung menjadi lebih layak. Tidak banyak diketahui orang bahwa ada Museum MH Thamrin di Jalan Kenari. Museum itu tidak memiliki akses kendaraan dan berada di dekat tumpukan sampah.  

*Simbol ketiga, keempat dan kelima bisa dibaca di artikel berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun