Mohon tunggu...
Coallina
Coallina Mohon Tunggu... -

Always

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Paradoks Jargon "Enak Zamanku To"?

16 Mei 2018   05:53 Diperbarui: 16 Mei 2018   06:23 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar: Istimewa. Sumber: Blok Berita)

Saya beberapa kali pernah melihat tulisan di belakang truk yang cukup menggelitik bagi saya, tulisan Piye Kabare, Penak Jamanku To? Dengan gambar Bapak Soeharto melambaikan tangan dan wajahnya yang tersenyum. Barangkali bukan hanya saya yang sering melihat gambar itu. Tidak hanya di dibelakang truk, kaca belakang angkutan umum, di sablon kaos, di poster, mana saja. Saya yakin semua orang tidak lagi asing dengan gambar tersebut.

Namun apakah saya juga telah ikut merasakan ke-enak-an di periode kepemimpinan Bapak Soeharto? Sehingga dengan sok-sokannya menulis terkait masa  Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Bapak Soeharto hingga 32 tahun. Saya dengan tegas menjawab TIDAK, karena disaat itu saya belum dilahirkan di dunia.

Terkait dengan Piye Kabare, Penak Jamanku To? Disini saya secara pribadi ingin menyoroti khusus tentang kebebasan berpendapat dan pers di zaman Bapak Soeharto. Karena bila membahas yang lain lain juga misalnya tentang harga bahan pokok yang sangat murah, korupsi di masa orde baru, program Transmigrasi, KB, dll rasanya akan menghasilkan berlembar lembar kertas, beribu-ribu kata.

Di masa Orde Baru, media massa seperti koran, televisi, radio, memberitakan terkait pemerintah yang adem ayem (tenang-tenang saja) tanpa masalah bahkan yang diberitakan media massa sesuatu-sesuatu yang baik dan membanggakan. Entah apa yang sebenarnya terjadi, pemerintahan Orba  yang memang berlangsung baik dan penjabat masa kini yang tidak baik (taulah kalian apa yang terjadi pada dewan rakyat itu) atau tayangan di masa orde baru yang telah diedit, di crop juga barangkali (yang terus terang hal ini mengingatkan saya pada media massa di negara Korea Utara) ? saya tidak tahu jawabannya.

Terus terang saja, ketika melihat video yang menayangkan rapat di zaman orde baru di Youtube, saya merasa terkesima. Betapa bagusnya saat sedang melakukan rapat agenda di zaman Orba. Tidak seperti sekarang yang saat rapat ada pejabat yang tidur, atau malah lempar kursi saat berbeda pendapat atau tersinggung. Ya saya terkesima, sekaligus heran, sesempurna inikah masa Orde Baru? Lagi-lagi saya tidak tahu jawabannya.

Rasanya saya mendapat jawaban setelah di masa Orde Baru terdapat di UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers.
Pasal 1 ayat 1 ; Pers adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat tehnik lainnya.
Pasal 1 ayat 3 ; kewartawanan ialah pekerjaan/ kegiatan/usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan pers, radioa, televisi, dan film.

Lantas, setelah banyak media massa menayangkan hal-hal yang baik, UU yang dikeluarkan juga jelas demikian, terdapat kebebasan dalam pers, dan kebebasan individu untuk mengeluarkan pendapat. Namun dibalik semua itu, apakah benar Pemerintahan telah berjalan dengan baik baik saja? Saya sendiri berpendapat TIDAK. Mari kita kembali ke sejarah kelam pers di Indonesia, dimana media massa seperti koran DeTIK, Tempo, Editor dicabut SIUPP-nya (Surat Izin untuk Penerbitan Pers) di tanggal 21 Juni 1994 karena telah menerbitkan berita tentang penyelewengan yang dilakukan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara. Selain itu, Tempo juga pernah berani memberitakan pemilu yang ricuh.

Banyak akhirnya dari dewan pers lainnya yang menyetujui langkah pemerintah untuk menutupi kebobrokan masa Orde Baru. Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Menolak sama artinya dengan melawan pemerintah. Dapat disimpulkan pers di zaman Orde Baru hanya sebagai formalitas saja. Dan kebebasan pers juga wartawan hanya omong kosong.

Lalu bagaimana dengan kebebasan berpendapat di masa Orde Baru? Sepertinya disini kita sudah mendapat garis besar, jika kebebasan pers saja ditekan sedemikian rupa, pastinya hal itu berlaku juga pada kebebasan berpendapat di muka umum.

Apakah anda pernah mendengar tentang Petrus? Petrus adalah singakatan dari Penembak Misterius. Mereka adalah operasi rahasia yang ada di pemerintahan Bapak Soeharto. Seseorang yang dianggap kriminal atau sedang melakukan aksi kriminal akan ditembak oleh orang yang tidak dikenal. Mayat kriminal tersebut akan dibiarkan tergeletak. 

Nasib baik jika akhirnya mayat tersebut di perlakukan sebagaimana mestinya oleh orang disekitar sana (dimandikan, dikafani, di sholati), kalau tidak, ya dibiarkan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun