Mohon tunggu...
Coach Pramudianto
Coach Pramudianto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Human Idea Practitioner

Mentransformasi cara berpikir untuk menemukan kebahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Merdeka Belajar

17 April 2021   22:37 Diperbarui: 17 April 2021   23:29 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
olah pribadi. sumber asli: tirto.id

Ini adalah kisah tentang saya, tetapi akhirnya tentang Anda

Saya adalah anak bungsu dari 6 bersaudara, ketika lulus SMP tahun 1983, ayah saya memberi pilihan untuk melanjutkan SMA di Klaten, Solo atau Jogya. Maka saya memilih kota Solo lebih familiar karena keluarga besar ibu dan salah satu kakak saya ada di Solo. Lantas Ayah saya melanjutkan bertanya, kamu mau sekolah di SMAN 2 seperti ketiga kakakmu atau di mana? Maka saya jawab, SMA Santo Yoseph (Pangudi Luhur). Apa alasanmu memilih sekolah itu? Jawaban saya, 1. SMA Santo Yoseph terkenal siswanya nakal-nakal tetapi pintar. Saya ingin mengetahui relasi antara nakal dan pintar. 2. Dalam 6 hari sekolah hanya satu hari seragam, 5 hari pakaian bebas dan bahkan hari tertentu memakai kaos olah raga.

Beberapa hari ini pemberitaan media massa fokus pada pergantian kabinet, khususnya penggabungan Kemendikbud dan Kemenristek, dan tidak terhindar banyak orang termasuk para ahli pendidikan menyoroti kinerja Mas Nadiem Makarim. Sangat memprihatinkan jika seorang mantan pejabat dan para ahli pendidikan lebih menekankan penilaian terhadap apa yang dipakai Mas Nadiem Makarim saat menghadiri pelantikan Rektor UI, mengenakan kemeja batik yang lengannya digulung, dipadu celana jins dan sepatu loafers berbahan suede. 

Mas Nadiem harus diganti karena pakaiannya, ini sangat tidak mendidik (tidak substansial). Meski hal ini saya alami ketika menjadi fasilitator para pendidik senior, saya mendapatkan nilai evaluasi 3 dari skala 5 untuk pakaian (karena saat sesi malam saya menggunakan sweater dan sepatu sneakers). Penilaian yang tidak substansial ini menandakan transformasi beliau belum terimplementasi dengan baik.

Banyak orang tidak menilai roadmap perubahan dunia pendidikan yang dilakukan mas Nadiem sangat transformatif, misalnya program merdeka belajar, guru penggerak, menghapus ujian nasional dan yang lain. Program-program tersebut dapat terinternalisasi membutuhkan waktu 15 tahun dengan syarat: 1. Cara menerjemahkan pemikiran mas Nadiem tepat dan benar. 2. Dilakukan terlebih dahulu di lingkungan Kemendikbud (perubahan mindset). 3. Dilakukan secara konsisten dan perlu keteladanan. 4. Melibatkan dan memberdayakan banyak pihak (bukan menyingkirkan dan mengambil untuk copy paste).

Beberapa kali sebagai narasumber di pendidikan, saya katakan “sekolah hari ini tutup, karena 15 tahun yang lalu pengurusnya tidak berbuat apa2 (salah urus)”. Jadi ruwetnya pendidikan di Indonesia karena apa yang dilakukan para pengambil kebijakan pendidikan dan para konsultan 15 tahun yang lalu. Mentransformasi pendidikan tidak semena-mena semuanya diserahkan pada milenial, terlalu berisiko mempertaruhkan masa depan ini kepada mereka, karena tidak semua milenial memiliki bibit yang baik dan bisa fatal jika memiliki mentor yang mindsetnya sempit dan tidak punya sikap rendah hati.

Jika saat ini dunia pendidikan Indonesia ingin menggaungkan ulang apa yang telah diajarkan Ki Hajar Dewantara yaitu a. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin, sehingga manusia dapat hidup merdeka (dapat berdiri sendiri). b. Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Maka yang dibutuhkan paling utama perubahan mindset, keterbukaan di lingkungan Kemendikbud, dan menyerahkan pada orang-orang yang memiliki kompetensi, memiliki kerendahan hati dan orang yang mampu menjadi “translator” apa yang digagas Mas Nadiem untuk diterjemahkan dalam implementasi yang benar, simpel dan berpihak pada siswa (pemikiran KHD harus diselaraskan dengan perkembangan global)

Ajaran Ki Hajar Dewantara adalah agar seorang guru mampu menuntun segenap kekuatan kodrat yang dimiliki anak, baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Jika seorang Guru belum merasa bahagia dan merdeka dalam cara berpikirnya, maka dia tidak bisa memerdekakan cara berpikir siswa, apalagi sampai pada kebahagiaan. Cara memerdekakan pikiran guru  hanya dengan teknik self coaching. Coaching: Transform Your Mind!

Berharap mas Nadiem Makarim bisa melanjutkan transformasi pendidikan di Indonesia dan menilik roadmapnya apa sudah terimplementasi dengan “benar”.

Dr. Pramudianto

Founder Dotty Mind & Professional Coach

Trainer  dan penulis buku 'Teacher as a Coach"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun