Mohon tunggu...
Clarisa Dona Yuniar
Clarisa Dona Yuniar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Antropologi Universitas Airlangga

Topik konten favorit adalah masalah sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Imbas Fast Fashion, Budaya Konsumerisme Remaja dan Kerusakan Lingkungan Akibat Limbah Fashion

30 November 2022   10:53 Diperbarui: 30 November 2022   12:10 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Masa remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, psikologis, serta intelektual. Dikenal sebagai masa peralihan atau masa pencarian jati diri yang sebenarnya. 

Pada masa peralihan ini, para remaja mudah tergiur oleh promosi iklan suatu produk yang disebarkan melalui media sosial ataupun secara langsung (banner, spanduk, brosur, dll). 

Para remaja menjadi target pemasaran dari berbagai produk karena karakteristik yang dimiliki belum terbentuk seutuhnya atau masih labil. Rentang usia remaja yang sering dijadikan target pemasaran berada di usia 13 -- 18 tahun atau yang masih menduduki bangku SMP dan SMA. 

Dengan karakteristik yang belum terbentuk seutuhnya, mendorong para remaja dengan mudah dipengaruhi dan menimbulkan gejala awal perilaku konsumtif dalam pembelian barang atau produk yang tidak diperlukan. 

Konsumtif adalah sebuah gaya hidup yang dimana seseorang yang secara berlebihan membeli suatu barang dengan mengutamakan keinginan daripada kebutuhannya. 

Dengan adanya standardisasi atau penyesuaian diri terhadap suatu kelompok tertentu agar diterima dan diakui dalam kelompok menjadi awal permulaan perilaku menyimpang para remaja, seperti: bersikap konsumtif dengan mengikuti gaya orang disekitarnya atau FOMO (Fear Of Missing Out). Hal itu dilakukan hanya untuk sekedar mengikuti trend mode, gengsi, dan keinginan untuk mendapatkan pengakuan sosial atau sebagai pembentuk identitas sosial. Di tengah masa pandemi COVID-19, konsumerisme meningkat karena kemudahan dalam membeli suatu barang melalui platform belanja online. Perkembangan teknologi dan kemajuan industri pasar juga menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan terhadap perilaku konsumsi masyarakat dalam bidang fashion.

            Seiring perkembangan waktu, perubahan terus bermunculan dengan mengganti nilai -- nilai lama yang dianggap masyarakat mulai pudar. Perubahan waktu tersebut membawa masyarakat di dunia ini dengan lifestyle yang lebih praktis dan efisien. Perubahan lifestyle masyarakat ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah Fast Fashion. Dilansir melalui Zero Waste Lifestyle, fast fashion merupakan model pakaian yang terus berganti dalam waktu yang sangat singkat dengan mengikuti tren terbaru. Contohnya: pada saat pergantian musim, industri fast fashion akan terus memproduksi pakaian sesuai musim yang akan datang. Demi menggapai profit yang tinggi perusahan fast fashion rela mengorbankan kualitas daripada kuantitas. Fast fashion mengusung konsep ready to wear -- dengan harga yang relatif murah dan mudah untuk didapatkan karena barang tsb diproduksi dalam jumlah yang banyak. Hal itu menjadi penyebab banyaknya barang yang diproduksi dan dijual dengan cepat terhadap masyarakat yang mengikuti trend mode.

Sebagian masyarakat di Indonesia beranggapan bahwa fast fashion menjadi kabar yang kurang baik, disebabkan oleh peningkatan sikap konsumtif atau budaya konsumerisme remaja di Indonesia dan fashion termasuk industri kedua yang merusak lingkungan. Harga yang menggiurkan atau relatif murah menjadi salah satu pendorong berkembangnya fast fashion di Indonesia. Munculnya gaya hidup kebarat -- baratan di kalangan remaja dibuktikan dengan timbulnya perilaku konsumtif yang cenderung menghamburkan uang untuk kepuasan diri sesaat atau FOMO (ikut -- ikutan). Keinginan para remaja dalam membeli suatu barang menjadi sebuah usaha untuk memperoleh kebahagiaan dalam jangka waktu yang singkat dan memenuhi rasa gengsi yang dimiliki. Kebudayaan konsumerisme yang ada di Indonesia turut mengubah perilaku dan kebudayaan Indonesia. Hal itu terjadi karena ketidakmampuan masyarakat dalam beradaptasi dan memilah kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia. Perilaku westernisasi (kebarat -- baratan) yang muncul di Indonesia antara lain gaya hidup yang cukup mewah dengan penghasilan yang tidak sebanding, remaja bersikap hedonism, dan meniru gaya pakaian orang barat dengan membeli pakaian di gerai fast fashion.

            Perilaku konsumtif remaja di Indonesia terbilang masih cukup tinggi, imbas atau efek negatif dari perilaku konsumtif ialah pemborosan, tidak dapat memenuhi kebutuhan yang akan datang, bersikap hedon & berusaha mendapatkan uang dengan cara apapun, dan menjadi awal munculnya kecemburuan sosial. Perilaku konsumtif mendorong juga menjadi alasan terus berjalannya fast fashion, karena keinginan dari individu untuk membeli atau mengikuti tren mode pakaian sehingga roda perubahan mode pakaian terjadi sangat cepat. Pergerakan roda mode pakaian yang terus berputar cepat juga mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti pencemaran air karena penggunaan bahan kimia yang digunakan saat memproduksi pakaian dan limbah pakaian yang sulit terurai. Konsumerisme dapat dihindari dengan cara membeli barang sesuai kebutuhan dengan penentuan skala prioritas, namun kerusakan lingkungan tidak dapat langsung dihindari karena butuh perencanaan solusi serta waktu yang cukup lama. Jika dilihat dari dampak positif dari fast fashion, para remaja dapat menghasilkan suatu mode atau style gaya pakaian pribadi yang dijadikan suatu identitas sosial, meningkatkan kreatifitas dalam hal mix and match mode pakaian, model yang tidak ketinggalan jaman, dan memiliki kemampuan dalam penempatan diri sendiri agar dapat bertindak atau peka terhadap lingkungan sekitar.

            Remaja sebagai generasi muda bangsa diharapkan menggencarkan semangat perubahan perilaku konsumtif dan menjadi awal mula pergeralan kampanye sustainable fashion, agar tidak terjadi penyelewengan budaya serta siaga untuk memberhentikan pelestarian budaya konsumerisme dan mencegah penumpukan sampah tekstil di perairan atau sungai. Antisipasi masuknya gaya hidup kebarat -- baratan dengan memilah serta menyaring kebudayaan yang masuk, jangan sampai kebudayaan asing berkembang dan menghancurkan kebudayaan lokal Indonesia.

            Ditinjau dari sudut pandang Antropologi, pengaruh fast fashion terhadap budaya konsumerisme dan kerusakan lingkungan termasuk dalam implementasi teori adaptasi. Proses diatas melibatkan beberapa modifikasi kebiasaan orang asing, kebiasaan, serta perubahan gaya hidup. Adanya perbedaan nilai dan pola perilaku kultural mengakibatkan timbulnya kesalahpahaman antarbudaya. Pada teori adaptasi tidak menjadikan satu kebudayan lain, namun menjadi sarana untuk menyelaraskan identitas budaya lain tanpa kehilangan identitas budaya itu sendiri. Adaptive behavior ditunjukkan pada cara masyarakat mengkonsumsi suatu barang dengan penentuan skala prioritas atau perencanaan dan mengkampanyekan sustainable fashion atau fesyen berkelanjutan dengan tujuan sebagai gencatan awal mengurangi perilaku konsumtif dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar. Adaptive Strategies atau strategi adaptasi merupakan respon masyarakat terhadap permasalahan yang dihadapi guna evaluasi terhadap alternatif yang mungkin seperti kampanye aksi sustainable fashion dengan cara thrifting (membeli baju bekas), tukar baju, donasi pakaian, dll. Pengimplementasi akan sustainable fashion diharapkan menjadi hal yang terus digalakkan agar mampu menekan budaya konsumerisme dan kerusakan lingkungan akibat limbah fashion. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun