Mohon tunggu...
citra  widya
citra widya Mohon Tunggu... Ahli Gizi - mahasiswa

citra widya ningsih

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pola Pengasuhan Anak yang Lahir di Jawa

13 Oktober 2019   20:40 Diperbarui: 13 Oktober 2019   20:52 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pola asuh adalah upaya pemeliharaan kepada anak, yakni bagaimana orangtua memperlakukan, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak yang meliputi cara orangtua memberikan peraturan, hukuman, reward, kontrol dan komunikasi agar anak mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang diharapkan masyarakat pada umumnya, sehingga pola pengasuhan anak menjadi suatu hal yang paling penting untuk menyiapkan anak menjadi masyarakat yang baik. 

Pola pengasuhan anak tidak sama penerapannya pada setiap keluarga karena adanya pengaruh faktor-faktor kebudayaan (ras, etnis, status sosial maupun agama) yang berbeda, bahkan yang memiliki kebudayaan yang sama pun cara atau pola asuhnya terkadang juga berbeda.

Pola pengasuhan anak sangat berkaitan dengan aspek pendidikan dan ekonomi yang dimiliki orangtua. Dalam hal ini pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam tumbuh kembang anak. Orangtua dengan usia muda yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam mengasuh anaknya. 

Selain itu kemapanan finasial atau ekonomi juga sangat mempengaruhi pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua dengan usia yang masih dibilang muda terhadap anaknya, hal ini disebabkan karena pada umumnya pasangan yang menikah saat usia muda masih bergantung kepada orangtuanya.

Pola asuh orang tua pada keluarga Jawa adalah proses interaksi orang tua dengan anak yang berkelanjutan dengan tujuan membentuk "seorang Jawa" yang ideal, biasanya disebut dengan istilah dadi wong. Pola asuh dalam keluarga Jawa memegang teguh dua prinsip penting yakni tata krama atau sikap hormat dan kerukunan. 

Sikap hormat tersebut terbagi lagi dalam
konsep khas Jawa yakni "wedi, isin lan sungkan" yang artinya takut, malu dan sungkan. Adapun model pengasuhan yang diterapkan keluarga Jawa yaitu pertama, model pengasuhan yang mengabaikan pendapat atau keinginan anak (permisif). 

Kedua, model pengasuhan dengan memberi perintah terperinci dan tidak emosional serta tanpa ancaman hukuman (diskriminatif). Ketiga, model pengasuhan dengan cara menakut-nakuti anak melalui ancaman tentang nasibnya yang mengerikan di tangan orang lain atau makhluk halus (otoriter).

Pola pengasuhan anak sangat ditentukan oleh peran keluarga sebagai agen sosialisasi pertama bagi perkembangan kepribadian anak. Keluarga yang ideal adalah keluarga yang terdiri dari orangtua yang telah dewasa lahir dan batin, yang telah memiliki kematangan secara fisik dan nonfisik, emosi dan pemikiran seimbang, memiliki kemandirian dalam bidang ekonomi, sosial dan mental serta berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagai orang tua dalam mengelola, membina dan mengasuh anaknya.

Pola pengasuhan sendiri diberikan oleh orangtua sejak janin masih dalam kandungan hingga anak terlahir didunia, yaitu pertama masa kehamilan. Bagi orang Jawa masa kehamilan adalah masa yang sangat rawan. 

Seorang ibu hamil harus dibekali sebuah pon-pon yang terbuat dari kain dibentuk seperti kantong, didalamnya berisi rempah-rempah, gunting dan pisau lipat yang dipercaya dapat menjauhkan ibu hamil dari gangguan roh-roh halus. 

Selain itu, apabila melihat sesuatu yang buruk maka maka sang calon ibu harus secepatnya mengucapkan "amit-amit jabang bayi" sambil mengusap perutnya. Hal ini dimaksud untuk menjauhkan hal-hal buruk terjadi pada anak yang dikandungnya. 

Saat kehamilan ibu memasuki usia tujuh bulan, akan dilakukan ritual tujuh bulanan atau yang biasa akrab disebut "selametan" dengan maksud agar anak yang dikandung tetap sehat dan selamat sampai dilahirkan.

Masyarakat Jawa juga sangat percaya dengan berbagai pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh ibu hamil supaya tidak membahayakan janin yang dikandungnya. Akan tetapi sekarang ini sering kita jumpai perubahan kebudayaan yang terjadi dalam perilaku masyarakat Jawa yang tidak selalu mematuhi pantangan-pantangan bagi ibu hamil, padahal orang-orang tua etnis Jawa sangat mempercayainya guna menjauhkan ibu hamil dari berbagai bahaya.

Setelah bayi lahir maka seorang ibu dengan etnis Jawa dipercaya harus memberikan ASI kepada bayinya. Ini merupakan kearifan budaya yang sudah seharusnya dilestarikan tetapi sayangnya sekarang ini para ibu tidak mau lagi memberikan ASI kepada anaknya dengan berbagai alasan. 

Padahal ASI sangat bermanfaat bukan hanya bagi bayi bahkan ibu yang memberikan ASInya pun akan mendapatkan keuntungan salah satunya adalah kedekatan yang terjalin antar anak dan ibu akan sangat kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun