Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Sampah: Apa yang Bisa Dicontoh Jakarta dari Taipei?

8 Maret 2013   04:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:08 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang petugas sampah di Taipei memisahkan tulang dari tumpukan sampah makanan (photo via Allianz)

Sampah adalah persoalan mendasar yang dialami setiap kota. Jumlah penduduk bertambah, jumlah kegiatan bertambah, infrastruktur tidak, lalu sampah menumpuk. Populasi Jakarta (kota, bukan metro) adalah sekitar 10 juta, dengan jumlah sampah yang dihasilkan sekitar 6.000 ton per hari. Sampah sejumlah ini kebanyakan diarahkan ke landfill, karena (sepanjang pengetahuan saya) Jakarta belum memiliki fasilitas pembakaran sampah dengan kapasitas besar untuk menangani masalah sampah.

Apa yang bisa dipelajari Jakarta dari Taipei? *Pak Jokowi, ini saya kasih laporannya, studi banding via Skype juga boleh :D*

Taipei berusaha mengurangi penggunaan landfill untuk mengolah sampah. Landfill membutuhkan area yang besar, sistem pengolahan yang efisien untuk membuat sampah terurai, dan tidak menghasilkan energi. Incineration, atau proses pembakaran, adalah metode yang dipilih pemerintah kota Taipei untuk mengatasi sampah. Dengan incineration, sampah dalam volume besar bisa dikurangi volumenya karena dibakar, dan hasil pembakarannya bisa digunakan sebagai sumber energi, untuk dipakai sendiri atau dijual ke perusahaan listrik.

Incineration memang bukan tanpa efek negatif. Selain membutuhkan biaya pendirian dan operasional yang besar, incineration plant juga harus menjamin bahwa gas yang dihasilkan dari proses pembakaran tidak mengandung senyawa berbahaya. Di era 1980an, pemerintah kota Taipei mempunyai masalah yang sama dengan Jakarta: jumlah sampah yang menumpuk dan tempat pembuangan yang tidak lagi memadai. Untuk mengatasi hal ini, incineration adalah program yang dipilih. Bukan tanpa alasan, meski memiliki efek negatif, pemerintah kota perlu segera menyelesaikan persoalan sampah ini, apalagi dengan kenaikan jumlah penduduk dan kegiatan industri. Pembangunan incineration plant ini membantu Taipei mengolah sampah. Saat ini Taipei memiliki 3 incineration plant dengan kapasitas 900, 1.500, dan 1.800 ton/hari. Incineration plant yang dimiliki Taipei merupakan waste-to-energy incineration plant, yang didesain untuk 'menangkap' panas yang dihasilkan dari pembakaran dan menggunakan panas tersebut sebagai sumber energi. Incineration plant ini dibuka untuk umum, lengkap dengan tur yang didesain untuk membuat masyarakat awam mengerti mengenai pengolahan sampah dan bagaimana menguranginya. Cerobong asap di salah satu incineration plant bahkan dibuat menjadi restoran berputar, untuk menarik minat masyarakat. Di incineration plant lainnya, cerobong asapnya dicat dengan gambar jerapah besar yang membuat anak-anak tertarik untuk tahu.

Meski incineration ini efektif untuk mengolah sampah, penduduk Taipei (dan Taiwan pada umumnya) mendesak pemerintah untuk menerapkan sistem pengurangan dan daur ulang (reducing and recycling). Nah lho, malah penduduknya sendiri yang punya inisiatif. Karena desakan penduduk inilah, Taiwan kemudian menerapkan zero waste policy di tahun 2003. Zero waste policy ini meliputi beberapa 'anjuran' (aturan sih sebenarnya): membatasi berat karton pembungkus (untuk komputer, televisi, dan lain-lain), membatasi penggunaan tempat makan minum sekali pakai di sekolah-sekolah dan kantor pemerintahan, mengajurkan supermarket untuk mengurangi kemasan plastik untuk yang tidak perlu (misal sayuran), menghimbau pemilik restoran untuk tidak menawarkan sumpit sekali pakai pada pengunjung, 'memaksa' pemilik restoran, kafe, convenience store untuk memberikan diskon pada pembeli yang membeli minuman dengan tempat minum mereka sendiri dan bukan gelas kertas. Beli kopi di Starbucks dengan tumbler sendiri mendapat diskon NTD 10 (IDR 3.500).

Di Taipei sendiri, pemerintah kota sudah mulai menerapkan 'yang buang sampah yang bayar' (pay as you throw) dengan membuat kebijakan waste-charging. Penduduk Taipei harus membeli kantong sampah dari pemerintah, yang tidak menggunakan kantong sampah khusus ini sampahnya tidak akan diangkut petugas kebersihan. Dan TIDAK ADA tempat pembuangan sampah komunal di Taipei, ada truk sampah yang berkeliling beberapa kali sehari pada jam-jam tertentu dan saat itulah penduduk membuang sampahnya. Harga kantong sampahnya bervariasi, semakin besar semakin mahal, dengan tujuan untuk membuat penduduk Taipei sadar untuk mengurangi sampah. Kantong plastik terkecil (3 liter) harganya NTD 27 (sekitar IDR 9.000). Ih, kantong (iya kantong plastik daur ulang) yang dipakai untuk sampah aja bayar coba. Paksaan yang bagus bukan? Makin nyampah, makin mahal bayarnya. Selain itu pemisahan sampah juga dilakukan di rumah. Tidak memisahkan sampah? Ya siap-siap didenda.

Perkembangan ekonomi biasanya juga disertai dengan meningkatnya jumlah sampah. Namun Taiwan punya contoh yang berbeda. Sepanjang tahun 2000-2010, jumlah sampah yang dihasilkan Taiwan turun dari 8.7 juta ton menjadi 7.95 juta ton, meski dalam jangka waktu yang sama GDP mereka naik 47%. Hmmm, bisa dicontoh tidak? :)

Taipei memang miskin tempat sampah, tadi itu tidak menjadikannya kota yang kotor.

Bagaimana dengan sampah cair (selokan/rumah tangga)? Laporan berikutnya ya :)

XOXO,

-Citra

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun