Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuliah di Luar Negeri = Berani Menghadapi Perbedaan

19 Februari 2012   17:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:27 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya masih ingat dengan jelas kata-kata ayah saya bertahun-tahun lalu, sebelum saya memutuskan untuk belajar ke luar negeri. Ayah tidak melarang, tidak juga mengatakan iya, tapi hanya mengatakan ini: kalau kamu belum siap menghadapi perbedaan, perbedaan dalam hal APA PUN: pendapat, budaya, suasana belajar, dan sebagainya; jangan pernah berpikir untuk belajar di luar negeri.

Belajar di luar negeri bukan semata-mata urusan pintar atau tidak, bisa melihat kesempatan atau tidak, punya biaya atau tidak. Ayah saya mengajarkan saya esensi yang bagi saya jauh lebih dalam: siap atau tidak kita membuka diri pada perbedaan.

Menyikapi perbedaan bukan hal yang mudah. Contoh kecil saja, di tempat tujuan belajar nanti, apakah makanan yang kita konsumsi sama? Orang Jawa Tengah seperti saya yang kuliah di Surabaya saja pertama kali tidak cocok dengan rasa makanannya (yang meski sama tapi bumbunya berbeda), apalagi jika ke luar negeri. Belum tentu sama-sama makan nasi.

Tidak banyak yang memikirkan hal seperti ini ketika memutuskan belajar ke luar negeri. Motivasinya memang macam-macam, ingin mendapatkan pengetahuan, ingin mendapatkan gelar, ingin jalan-jalan, ingin mendapatkan pengakuan (alias untuk gengsi saja). Tidak ada yang salah dengan semua motivasi itu, yang saya pentingkan justru komitmen dan kesadaran. Motivasi sudah ada, lalu sudah adakah kesadaran bahwa kita akan masuk ke zona berbeda dan kuatnya komitmen kita untuk menyikapinya dengan bijak?

Ambillah contoh Amerika Serikat. Boleh dibilang Amerika Serikat adalah negara yang terbuka dengan semua orang, tapi apa ada yang menjamin ras Asia kita tidak akan mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan? Tanyakan pada Jeremy Lin. Tanyakan pada adviser saya. Karena kita berbeda, dan kita juga sekaligus memasuki ruang yang asing.

Ambillah contoh di Taiwan. Tidak sedikit yang mengatakan “duh mbak, professor-professornya kok high-demanding ya”, atau “makanannya hambar semua, mbak”, atau “kok kebanyakan orang disini tidak beragama ya mbak”. Saya pernah berdiskusi lama dengan seorang teman soal perbedaan  budaya yang kami miliki, karena herannya dia dengan berbagai hal. Budaya berjalan di sebelah kanan, budaya mengantri, budaya tepat waktu, “adviser is the king”, senioritas yang lekat mesti tidak kaku, tidak adanya kewajiban menganut suatu agama; adalah beberapa perbedaan yang saya temui di Taiwan. Pertama kali masuk kelas dan mengetahui cara mengajar dosen dan cara belajar mahasiswa lokal membuat saya kaget. Imbasnya, saya gagal sekali dalam ujian kualifikasi dan harus mengulang di semester berikutnya. Kaget dengan etos kerja yang tinggi dan jam kerja yang rasanya dulu mustahil bisa saya penuhi.

Hal-hal seperti inilah yang ayah inginkan untuk saya sadari benar sebelum saya belajar ke luar negeri. Siap atau tidak saya menghadapi perbedaan itu, siap atau tidak saya menghadapi culture shock karena melihat ciuman di tempat umum itu adalah hal biasa, siap atau tidak saya bertemu dengan orang-orang baru yang sepenuhnya berbeda latar belakang. Apakah saya menyikapi semua itu secara hitam putih atau dengan berbagai warna; apakah saya bisa memegang prinsip sekaligus berusaha mengerti pola pikir orang lain, apakah saya bisa terus maju dengan segala tantangan yang ada; itulah yang diharapkan ayah kepada saya, pada kesiapan dan keberanian saya. “Kamu bisa belajar dengan rajin untuk mendapatkan nilai bagus, tapi kamu perlu berinteraksi dan mengerti orang lain untuk bisa belajar bertoleransi”, begitu pesan ayah.

Pesan itu yang selalu saya ingat. Belajar di luar negeri bukan semata soal kepandaian, melainkan juga soal keberanian menghadapi perbedaan.

-Citra, a proud daughter of a very wise father :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun