Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Saya Dukung Layanan Kesehatan Universal

16 Mei 2020   15:26 Diperbarui: 17 Mei 2020   09:06 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Petugas BPJS Kesehatan Kabupaten Bogor sedang melayani seorang warga yang sedang mengurus kartu BPJS Kesehatan, di kantor BPJS Kesehatan Kabupaten Bogor, Cibinong, Bogor, Jawa Barat| Sumber: KOMPAS.com/Ramdhan Triyadi Bempah

Jenis peserta BPJS Kesehatan itu kan macam-macam juga, mereka yang mandiri bayar sendiri ada yang rajin dan rutin bayar seperti saya(ehem), ada juga yang karena ini dan itu baru membayar ketika akan menggunakan. 

Yang macet bayar karena alasan finansial (BUKAN YANG MALES DAN MAU UNTUNGNYA AJA YHA), skema BPJS Kesehatan itu prinsipnya kan "kemampuan membayar", jadi memang bisa pilih mana yang sesuai dengan penghasilan, bisa banget menurunkan kelas kepesertaan (ingat juga bahwa mereka yang beneran nggak mampu jelas dibayari pemerintah). 

Salah satu penyebab defisitnya BPJS Kesehatan dan tata kelola yang belum rapi itu macetnya pembayaran, apalagi kelompok peserta yang "bayar ketika mau pakai" itu juga lumayan banyak jumlahnya. 

Rumah sakit rujukan BPJS Kesehatan itu kan perlu biaya operasional, kalo pembayaran macet tentu dampaknya bergulir panjang. Selain itu, jumlah fasilitas kesehatan kita perlu ditambah juga, juga nakesnya, untuk melayani 260 juta lebih warga negara Indonesia ini.

Jika banyak orang yang mengeluh fasilitas kesehatan jadi ruwet dan rame, sebenarnya di satu sisi saya merasa cukup senang, karena artinya banyak masyarakat yang mungkin dulunya takut atau merasa nggak mampu ke faskes lalu jadi bisa berobat. 

Saya melihatnya bukan "makin banyak orang sakit", tapi "makin banyak yang punya akses ke layanan kesehatan". Di sinilah PR pemerintah yang besar: perbaikan layanan kesehatannya, supaya merata, supaya tata kelolanya lebih baik, juga soal data sasaran pesertanya.

Kalo iurannya naik, masih oke nggak? Ini susah dijawab ya, di AS, misalnya, data menunjukkan bahwa biaya kesehatan > 8% pendapatan itu udah nggak wajar. Jika ditarik ke Indonesia, tentunya tidak bisa disamaratakan, karenanya skema kelas dan adanya peserta yang ditanggung pemerintah itu cukup ideal. 

Peserta juga bisa memilih sesuai kemampuan, meski ya idealnya semua disamakan fasilitasnya namun beban anggarannya sepertinya berat, plus jumlah fasilitas kesehatan masih belum mencukupi.

Di masa pandemi dengan ekonomi yang melemah ini, persoalannya juga lebih kompleks karena banyak kelompok masyarakat yang terdampak. Yang tadinya punya penghasilan tetap lumayan, lalu berkurang. Ada juga yang di-PHK. 

Di sini yang diperlukan memang stimulus dan insentif ekonomi yang sesuai dengan kondisi. Aspek legal dengan putusan MA dan penerbitan perpres yang baru untuk kenaikan iuran per 1 Juli 2020 juga perlu dibahas dan diinformasikan dengan jelas, berhubung bukan ahli hukum saya lempar aja bahasan ini ke yang lain ya.

Balik lagi ke judul tulisan ini, saya senang Indonesia mulai belajar memberikan layanan kesehatan universal untuk warganya. Perlu perbaikan di sana sini, perlu memberikan informasi yang jelas, perlu sensitif dengan kondisi masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun