Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mencari Jejak Pancasila

6 Januari 2019   08:22 Diperbarui: 7 Januari 2019   14:10 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


"Ibu, lebih baik turun dulu, jalan ke bawah," seorang mama-mama yang sedang lewat membawa cucian menyarankan saya untuk turun dari boncengan motor dan berjalan saja. Jalanan di depan kami sedang dalam proses diratakan dan dikeraskan. 

Dengan medan jalan yang menanjak, menurun, dan berkelok-kelok, kami harus ekstra hati-hati. "Terima kasih, Mama," saya menyapanya dan berjalan ke bawah. Engki, yang membonceng saya dari atas, mengendarai motornya perlahan di sela-sela bebatuan dan parit yang cukup dalam.

Beberapa ratus meter di bawah, beberapa oto tertahan. Oto adalah truk yang dimodifikasi dengan atap dan tempat duduk menyilang dan digunakan sebagai sarana transportasi dari kota kabupaten ke desa-desa di beragam penjuru Ende yang sulit dijangkau kecuali dengan kendaraan semacam truk atau mobil 4-wheel drive. 

Dalam oto-oto itu para penduduk desa di atas dengan sabar menunggu. Kebanyakan dari mereka pergi ke kota untuk membeli barang-barang yang mereka perlukan.

Saat kami melewati mereka, dengan ramah mereka menyapa dan mengajak berbincang singkat, saling bertanya bagaimana jalur perjalanan yang kami lewati. Seorang mama bertanya penasaran, "Ibu yang menggantikan Ibu Mawar, kah?"

Saya mengangguk. Kedatangan saya memang untuk melanjutkan sebuah misi. "Selamat datang, Ibu," para penduduk desa tersenyum lebar. Pada orang asing yang bahkan tak sempat mengenalkan diri dengan pantas.

Kehangatan mereka membuat saya mulai paham, mengapa Soekarno menganggap masa-masa pengasingannya di Ende sebagai masa yang istimewa.

Karena penduduknya istimewa.

Keistimewaan Ende bagi Soekarno

Kota Ende barangkali lebih terkenal sebagai kota lahirnya Pancasila. Itupun tak semua orang mengetahuinya. Pada tahun 1934 hingga tahun 1938, Soekarno diasingkan di kota ini, bersama dengan istrinya, Inggit, ibu mertuanya, Amsi, dan anak angkatnya, Ratna Djuami. Begitulah risiko menjadi seorang 'pembangkang' di masa itu, dikirim ke daerah yang jauh dari kemajuan ibukota pemerintahan, diputus aksesnya pada banyak hal dan dengan banyak orang.

Rumah pengasingan Soekarno di Ende
Rumah pengasingan Soekarno di Ende
Tak mudah bagi kita yang hidup di zaman serba mudah untuk membayangkan pengasingan. Secara sederhana, barangkali analoginya adalah diminta tinggal di tempat asing tanpa sinyal seluler, tanpa WiFi, tanpa telepon. Bayangkan tinggal di tempat seperti itu selama 4 tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun