Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tenggelamnya Jakarta

8 Januari 2018   12:07 Diperbarui: 9 Januari 2018   13:14 2530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir merendam Jalan Jatinegara Barat, Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur. Kamis (20/11/2014).(Kompas.com/Robertus Belarminus)

Tokyo Water versi botol (Dokpri)
Tokyo Water versi botol (Dokpri)
Sungai dan waduk. Pemerintah kota Tokyo berani menginvestasikan uangnya untuk membangun instalasi pengolahan air, untuk menghasilkan kualitas air yang setara dan lebih baik dari air tanah. Tokyo sangat bangga dengan kualitas tap water-nya (kalau di sini, air PDAM), dan air keran mereka bisa diminum. Orang Tokyo, sebagaimana layaknya orang Asia, masih sering skeptis dengan air keran untuk diminum. Karenanya pemerintah kota membuat versi botolan Tokyo Water.

Jakarta dan mimpi kota yang berkelanjutan

Jakarta ini nasibnya sama dengan Tokyo. Tanpa aturan dan "pemaksaan" penerapannya di lapangan, Jakarta akan semakin rentan kekurangan sumber air dan semakin berisiko terkena dampak perubahan iklim.

Pemerintah DKI Jakarta itu punya perda khusus terkait perubahan iklim. Lebih spesifiknya Perda No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030. Di dalamnya diatur penataan pemukiman, transportasi, drainase, persampahan, sampai efisiensi energi. Isinya 243 halaman, boleh dibaca dulu. Pendek kata, konsep sustainable cities ala Jakarta itu udah jadi visi dan dituangkan dalam peraturan tersebut. Pertanyaannya, sejauh mana visi dan kebijakan ini diterjemahkan dalam aksi di lapangan?

Untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, ada dua kategori langkah yang dilakukan: adaptasi dan mitigasi (pencegahan). Dengan kondisi yang sudah pesimistis seperti kata Mas Kimmelman, model adaptasi yang diterapkan Jakarta memang baiknya juga ekstrem. Area bantaran sungai baiknya disterilisasi, selokan-selokan konsisten dibersihkan, pompa-pompa air harus siaga dan dipelihara. Ini nggak boleh jadi pekerjaan musiman. Prediksi yang dikeluarkan beragam lembaga cuaca juga makin akurat, sehingga setidaknya kita bisa mempersiapkan diri lebih awal.

Model pendekatan praktis dan teknis seperti ini cukup efektif untuk beradaptasi setidaknya dalam jangka pendek. Tumbuhnya pemukiman dan kawasan produktif harus direm, terutama bila tak disertai dengan rencana rehabilitasi lingkungan dan manajemen tata kelola sumber daya. Apakah Jakarta harus mengeluarkan larangan bikin sumur? Mungkin. Tapi pertanyaannya, airnya dari mana? Ambil dari Ciliwung? Ambil dari Citarum? Melihatnya saja mungkin sudah bikin eneg. Tahukah Anda bahwa sumber air bersih di Jakarta itu hanya 4% yang benar-benar dari Jakarta? Sisanya dari Waduk Jatiluhur dan Tangerang.

Ini persoalan kompleks, namun harus dilakukan dengan segera. Kita tahu bahwa normalisasi kawasan bantaran sungai dan daerah resapan air adalah persoalan yang gampang dipantik menjadi isu dan konflik. But if we don't actually face the problems head-to-head, we sacrifice our future. Peraturan ada banyak, bagaimana penerapannya di lapangan?

(ngomong emang gampang ya sis)

Mitigasi (pencegahan) jangka panjang mencakup perencanaan tata ruang yang memperhatikan aspek berkelanjutan. Bagaimana zoning untuk permukiman, pemetaan dan penghematan energi, penataan transportasi publik, hingga inovasi-inovasi untuk green lifestyle.

Di level personal, kita juga harus sadar bahwa keterlibatan itu penting. Jaga kebersihan lingkungan sekitar, jaga kebersihan sungai, selektif memilih tempat tinggal, hemat air, you name it. It can be anything. One person sure cannot save our world, but one person can make a difference. Kimmelman nggak menakut-nakuti, risiko Jakarta tenggelam itu memang ada.

Pertanyaannya: haruskah kita takut dulu untuk bisa bertindak?

XOXO,

Marlistya Citraningrum, pengelola program energi berkelanjutan di sebuah lembaga pemikir di Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun