Mohon tunggu...
Citra Dwikasari
Citra Dwikasari Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Open-ended human.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Analisa Keterlibatan OAS sebagai Organisasi Regional Mengatasi Krisis Politik di Bolivia Tahun 2019

11 Mei 2020   17:18 Diperbarui: 11 Mei 2020   17:59 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengantar

Tahun 2019 merupakan tahun momentum bersejarah terkhususnya pada historis negara Bolivia. Pada tahun 2019, seharusnya menjadi timeline yakni pergantian masa pemerintahan Bolivia. Namun, menjadi catatan kelam ketika terjadi sebuah krisis pemerintahan atau krisis politik, yakni adanya pengunduran diri Presiden Bolivia dan politisi pemerintahan lainnya. Oleh karenanya, maka terjadi kekosongan kekuasaan pada pemerintahan Bolivia.

Krisis politik yang terjadi di Bolivia menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri Bolivia. Kekacauan ini disebabkan oleh kesalahan mekanisme pemilu yang diselenggarakan di Bolivia. Tuduhan adanya manipulasi terhadap hasil perolehan suara pemilu yang memenangkan Presiden Petahana Evo Morales dikarenakan sempat tidak mencapai margin 10% untuk dapat ditetapkan sebagai pemenang pemilu. Hal ini memicu ketegangan dan gejolak publik di Bolivia. Dampak yang terjadi akibat krisis politik ini sangatlah besar dan tentunya merugikan secara material yang juga mengakibatkan tewasnya warga negara Bolivia. Krisis Politik ini menarik perhatian dari dunia internasional untuk segera merespon konflik internal atau domestik yang sedang terjadi di Bolivia.

Sebagai tindak lanjut dari krisis ini, Organization of American States (OAS) sebagai institusi regional berkontribusi menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Bolivia.  Bolivia merupakan salah satu negara di Benua Amerika terkhususnya berada dalam kawasan Amerika Selatan. Oleh karena itu, krisis yang sedang terjadi di Bolivia menjadi tanggung jawab OAS dikarenakan Bolivia berada dalam cakupan regional OAS. Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini akan lebih lanjut membahas analisa terhadap keterlibatan OAS sebagai institusi regional dalam mengatasi krisis politik di Bolivia pada tahun 2019.

Kronologis Krisis Politik di Bolivia Tahun 2019

  • Krisis politik di Bolivia di tahun 2019 diawali dengan kekisruhan pada masa pemilu yang diselenggarakan untuk memilih presiden Bolivia di periode selanjutnya. Kekacauan terparah di Bolivia terjadi dari 21 Oktober hingga 18 November 2019 yang terjadi sebagai rentetan kekacauan pemilu diantara dua calon presiden Bolivia yakni Evo Morales (sayap kiri) dan Carlos Mesa (sayap kanan). Kedua calon ini pernah memerintah sebagai Presiden Bolivia. Namun, yang menjadi akar masalah dari terjadinya krisi politik Bolivia yakni terletak pada hasil pemilu yang memenangkan Evo Morales.
  • Berdasarkan publikasi real time didapatkan bahwa Evo Morales dengan keunggulan 9,33% dari pesaingnya Carlos Mesa. Angka tersebut tidak mencapai 10% sebagaimana syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menentukan pemenang pemilu, sehingga selanjutnya diperlukan pemilihan umum ronde kedua. Setelah penghentian penghitungan suara dihentikan, maka Otoritas Pemilu Bolivia berkewajiban mempublikasikan hasil perolehan suara pemilu namun badan resmi pemilu Bolivia tidak mempublikasikan hasil pemilu sesuai dengan waktunya. Kemudian, pada tanggal 21 Oktober 2019, Otoritas Bolivia yakni Organisasi Pemilu Plurinasional dalam konferensi persnya menyatakan hasil perhitungan cepat dari sistem Transmisi Hasil Pemilhan Umum Awal atau Transmission de Resultados Electorales Preliminaries (TREP) yakni 46,86% perolehan untuk Evo Morales dan 46,86% untuk Carlos Mesa dengan suara masuk sebesar 95,30%. Hasil rilisan ini menunjukkan telah tercapainya ambang minimal sebesar 10% sehingga tidak diperlukan adanya pemilu putaran kedua.
  • Adapun hasil pemilu ini dinilai oleh oposisi Evo Morales bahwa tidak mencerminkan hasil yang sebenarnya, sehingga dicurigai adanya manipulasi terhadap data. Akibat adanya indikasi kecurangan tersebut, maka terjadi demonstrasi massa  di Bolivia. Kekacauan dan ketegangan terjadi sebagai dampak dari krisis politik di Bolivia. Sementara itu, Pihak Carlos Mesa menuding pemerintah Bolivia telah memanipulasi hasil pemilu tersebut demi menghindari pemilihan umum putaran kedua (Indozone,id, 2019).
  • Demonstrasi atau unjuk rasa dilakukan oleh rakyat Bolivia terutama oleh masyarakat anti-pemerintah. Kekacauan terjadi di Provinsi Cochabamba yakni adanya blokade Jembatan Vinto yang menyebabkan kerusuhan antara kaum pro dan anti pemerintah dan menyebabkan meninggalnya tiga orang. Alasan demonstrasi ini yakni kekecewaan terhadap hasil pemilu yang memenangkan Presiden Petahana Evo Morales. Pendukung oposisi Evo Morales bertindak brutal dengan menyerang markas kota dan menyeret paksa Walikota Patricia Arce ke jalan serta memotong dan mengecat rambut walikota. Evo Morales melalui cuitannya mengecam tindakan demonstran oposisi tersebut pada Kamis, 7 November 2019 bahwa tindakan penyerangan terhadap Walikota Arce merupakan tindakan yang kejam dan merendahkan wanita serta menuntut kepolisian untuk mengusut pelaku kekerasan ke pengadilan (CNN Indonesia, 2019).
  • Sebagai respon dari hasil pemilu yang dirasa curang, maka pihak oposisi Morales yakni Carlos Mesa meminta Evo Morales yang sedang menjabat sebagai Presiden Bolivia untuk mundur. Pada 30 Oktober 2019, terjadi aksi demonstrasi yakni protes terhadap krisis politik tersebut dilakukan oleh pengikut Carlos Mesa di jalanan utama Bolivia termasuk di Pegunungan Andes. Pada aksi demonstrasi tersebut, terjadi kekacauan atau bentrok antara pendukung Evo Morales dan pendukung Carlos Mesa yang berujung pada meninggalnya dua orang. Pada hari Minggu, 3 November 2019, oposisi Evo Morales yaitu Carlos Mesa mengatakan bahwa perlu diadakannya pemilihan umum baru sebagai solusi dari krisis politik yang terjadi di Bolivia, sehingga apabila solusi tersebut belum tercapai maka aksi protes secara damai akan terus berlangsung. Selain itu, demonstasi tersebut juga menuntut Presiden Evo Morales turun dari jabatan kepresidenannya. Di lain sisi, pihak Evo Morales tidak merespon kondisi mengenai tuntutan diadakannya penyelenggaraan pemilu.
  • Dengan meningkatkan kerusuhan di Boliviam Evo Morales setuju untuk diadakannya pemilu putaran kedua, namun gejolak publik tidak mereda (CNN Indonesia, 2019). Pada hari Minggu, 10 November 2019, Evo Morales yang masih menjabat sebagai Presiden Bolivia mengumumkan pengunduran dirinya dikarenakan adanya tuduhan melakukan tindakan curang dalam pemilihan presiden yang berlangsung pada Bulan Oktober 2019 (LEBA, 2019). Pengunduran diri ini diserukan oleh banyak pihak antara lain warga sipil, komandan militer dan kepolisian. Ketidakpastian politik pasca pemilu dan adanya ketidakberpihakan dukungan dari militer dan polisi Bolivia turut mendasari latar belakang pengunduran diri Morales (CNN Indonesia, 2019). Hal ini tercermin dari pidato Morales:
  • “Saya mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai presiden. Saya mengirim surat pengunduran diri ke Majelis Legislatif Bolivia.”
  • Dengan mundurnya Morales, di tengah adanya demonstrasi, masyarakat Bolivia merayakan pengunduran diri Presiden Evo Morales (CNN Indonesia, 2019). Di sisi lain, terjadi kerusuhan yang semakin membesar di Bolivia. Krisis ini menyebabkan 23 warga Bolivia meninggal dunia (MESSWATI, 2019).
  • Keesokan harinya, pada malam hari Senin, 11 November 2019, Morales pergi meninggalkan Bolivia dijemput oleh Pemerintah Meksiko menuju Meksiko, setelah menerima tawaran suaka dari Pemerintah Meksiko. Penerbangan menuju Mexico City ini dikonfirmasi oleh Menteri Luar Negeri Meksiko Marcelo Ebrard. Dalam konferensi pers pada tanggal 12 November 2019, Menlu Meksiko menjelaskan penerimaan oleh Meksiko didasarkan pada alasan kemanusiaan yang antara lain sebanyak lebih dari 20 pejabat tinggi pemerintahan Bolivia (CNN Indonesia, 2019). Melalui akun media sosial Twitter, Morales mencuit, ”Tetapi, saya sedih harus meninggalkan Bolivia karena alasan. Meksiko yang dikenal sebagai benteng politik bagi pemimpin sayap kiri di Amerika Latin memberi suaka kepada mantan Presiden Bolivia Evo Morales. (kompas, 2019).  Morales berjanji akan kembali ke negerinya dalam kondisi lebih kuat (KOESTANTO, 2019)
  • Selanjutnya, setelah mundurnya Presiden Evo Morales, Wakil Presiden Bolivia Alvaro Garcia Linera juga mengundurkan diri dari jabatannya dan juga mengajukan suaka politik ke Meksiko (CNN Indonesia, 2019). Selanjutnya, pengunduran diri juga dilakukan oleh Presiden Senat Adriana Salvatierra, Pimpinan DPR Bolivia Victor Borda dan Wakil Presiden Pertama Senat Ruben Medinaceli. Pada tahap ini krisis politik di Bolivia semakin parah.
  •  Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu Bolivia, Kepala Otoritas penyelenggara pemilu Bolivia (TSE) Maria Eugenia Choque Quispe dan anggota TSE Antonio Costas termasuk 38 di dalamnya yang ditangkap oleh kepolisian Bolivia seperti yang dikonfirmasi oleh Kepala Kepolisian Bolivia Yuri Calderon. Sebelumnya, Kepala TSE Maria mengundurkan diri dari jabatannya. Hal ini berkaitan dengan pernyataan resmi dari Kantor Jaksa Agung Bolivia yang melegalkan segala tindakan terhadap seluruh anggota otoritas pemilu, TSE dan pihak lainnya yang terlibat dalam kecurangan pemilu 2019. (Felia, 2019).
  • Pada hari Selasa, 12 November 2019, dikarenakan adanya kekosongan kekuasaan pada pemerintahan Bolivia, maka Jeanine Anez  selaku wakil senat mengklaim dirinya sebagai presiden sementara Bolivia setelah kongres gagal mencapai jumlah peserta kuorum (LEBA, Senator Bolivia Klaim Diri sebagai Presiden Sementara, 2019). Sidang Kongres tersebut tidak mencapai kuorum karena diboikot oleh para legislator dari Partai Gerakan untuk Sosialisme (MAS) yang merupakan pendukung Evo Morales. Jeanine Anez merupakan politisi yang termasuk barisan oposisi. Naiknya Jeanine Anez ke kursi presiden mendapat dukungan dari polisi dan militer Bolivia.
  • Peralihan kekuasaan ke Jeanine Anez dianggap tidak sah oleh beberapa negara di dunia. Sebagai tindak lanjut untuk mencari solusi krisis politik ini, Presiden Evo Morales memercayakan penyelesaian kepada PBB sebagai organisasi internasional dengan diutusnya Jean Arnult sebagai perwakilan dan Gereja Katolik khususnya Paus Fransiskus. Di saat yang bersamaan, para pendukung Evo Morales mengharapkan kembalinya Morales ke Bolivia dari Meksiko (Redaksi WE Online, 2019). Hingga saat ini, otoritas tertinggi Bolivia dipegang oleh Jeanine Anez.

Keterlibatan OAS dalam Krisis Politik Bolivia 2019

Organization of American States (OAS) adalah organisasi regional di Benua Amerika yang beranggotakan sebanyak 35 negara merdeka termasuk salah satunya adalah negara Bolivia. Sebagaimana terjadinya krisis politik akibat pemilu pada tahun 2019 di Bolivia, Organization of American States (OAS) bertindak sebagai pihak pengamat atas penyelenggaraan pemilu Bolivia. OAS sebagai institusi regional bergerak mengupayakan penyelesaian krisis politik yang menegangkan di Bolivia. Kecurigaan terhadap terpenuhinya margin 10% dalam perolehan suara pemilu oleh Evo Morales menjadi latar belakang penyelidikan atau audit oleh OAS. Kepala Staf OAS Gonzalo Koncke mengatakan tim beranggotakan 30 orang itu akan mulai bekerja Kamis dan merilis hasilnya dalam 10-12 hari, dengan fokus pada verifikasi perhitungan, sertifikat, surat (DW, 2019)

OAS memulai keterlibatannya pada krisis politik di Bolivia, setlah diundang oleh Presiden Morales untuk melakukan audit, yang hasilnya dijanjikan akan dihormati. OAS justru memperparaha kekacauan Bolivia. Audit pemilihan penuh semula dijadwalkan pada 12 November, tetapi pada 10 November, sehari setelah Morales mengumumkan bahwa terjadi kudeta dan di tengah kekerasan politik di seluruh negeri, OAS memutuskan untuk mengeluarkan audit pendahuluan.

Laporan ini, yang tidak termasuk data yang dapat diverifikasi secara independen, mengulangi klaim palsu dari pernyataan 21 Oktober dan menyerukan pemilihan baru. Sebagai tanggapan, Morales menyetujui pemilihan baru dan untuk mengganti dewan badan pemilihan, namun tawaran ini ditolak oleh para pemimpin kudeta. Alih-alih mengecam kudeta dan bersikeras bahwa Morales diizinkan untuk menyelesaikan masa jabatannya (yang berakhir pada Januari), OAS mengadakan pemungutan suara yang menolak menyebutnya kudeta, meskipun beberapa negara tidak setuju. (Flores, 2019)

Pada laporan akhir yang dirilis OAS mengenai pemilu Bolivia, menemukan bahwa adanya manipulasi yang disengaja dan adanya penyimpangan yang serius sehingga OAS tidak dapat menvalidasi hasil pemilu 2019 yang telah dikeluarkan otoritas Bolivia.  Laporan tersebut menegaskan bahwa manipulasi pemilu yang disengaja terjadi di dua bidang. Pertama, audit mendeteksi perubahan dalam berita acara dan pemalsuan tanda tangan pejabat pemilihan. Kedua, ditemukan bahwa dalam pemrosesan hasil aliran data dialihkan ke dua server tersembunyi dan tidak dikendalikan oleh personil Mahkamah Pemilihan Umum (TSE), yang memungkinkan untuk memanipulasi data dan memalsukan notulen. Untuk ini ditambahkan penyimpangan serius, seperti kurangnya perlindungan terhadap tindakan dan hilangnya materi sensitif. Laporan ini juga merinci sejumlah besar kesalahan dan indeks.

Temuan audit juga mengungkapkan keberpihakan otoritas pemilihan. Anggota TSE, yang ditugaskan untuk memastikan legalitas dan integritas proses, memungkinkan aliran informasi dialihkan ke server eksternal, menghancurkan semua kepercayaan dalam proses pemilihan. Kesimpulan dari laporan ini adalah bahwa terdapat manipulasi dan penyimpangan sehingga  tidak memungkinkan untuk memastikan margin kemenangan kandidat Evo Morales atas kandidat Carlos Mesa. Sebaliknya, berdasarkan bukti berlimpah yang ditemukan, yang dapat ditegaskan adalah bahwa telah ada serangkaian operasi yang disengaja yang bertujuan mengubah kemauan yang diungkapkan dalam jajak pendapat. ” (OAS, 2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun