Mohon tunggu...
Citra Dano Putri
Citra Dano Putri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

More than just "ordinary".

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebuah Panggilan Telepon di Pagi Buta

18 April 2012   22:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:27 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naluri pengen tau saya kadang muncul tidak mengenal tempat dan waktu yang tepat. Dan itu yang terjadi di suatu siang bolong sekitar tiga bulan yang lalu, ketika sedang menunggu pete - pete saya penuh penumpangnya. Saya mendapati seorang perempuan usia sekitar 40-an akhir, sedang berusaha membujuk si sopir untuk sesuatu. Si sopir keliatannya agak - agak nyolot. Karena penasaran, saya nyolek si ibu dan nanya; "ada apa bu?" perempuan itu kaget, kayaknya nggak nyangka juga kalo ternyata ia lagi jadi pusat perhatian seisi pete - pete. "oohh, nggak apa - apa mbak. saya cuma lagi nanya pak sopir kalo nanti punya uang kembalian buat saya," ia ngomong sambil menunjukkan selembar uang lima puluh ribuan. Saya tanya lagi, "lah? kalo cuma nanya aja, kenapa sopirnya marah - marah bu?", si perempuan tersenyum malu, "iya, dia minta saya untuk nyari uang kecil dulu, kalo nggak saya harus turun. Padahal saya udah muter - muter disemua kios sekitar sini mbak. Nggak ada yang mau tukar uang saya. Maaf ya kalo saya udah bikin nggak nyaman?" Duuhhh... hati saya langsung jatuh kasian. Dan tanpa bermaksud jadi pahlawan, saya menawarkan untuk membayar ongkos si ibu itu. Berkali - kali ia mengucapkan terima kasih, sampai akhirnya saya jadi malu sendiri.

Kami berkenalan, namanya sebut saja ibu Nana. Ia ternyata seorang agen penjual asuransi yang sudah cukup sukses. Bahkan kini sering diundang untuk memberikan pelatihan tenaga pemasaran, tidak hanya oleh kantornya, tapi juga oleh perusahaan - perusahaan lain yang membutuhkan jasanya. Ibu Nana mengaku, kendaraannya saat itu lagi dipinjam salah satu anak buahnya, untuk keperluan prospek calon konsumen di luar kota. Suaminya tidak bisa menjemput karena lagi sibuk di kantornya. Itulah kenapa ia naik angkot, sesuatu yang menurutnya hampir tidak pernah dilakukannya. Saya nyeletuk; "ooooo.. pantas. Kalau yang sudah terbiasa naik angkot bu, biasanya memang sudah nyiapin duluan uang kecil," yang disambutnya dengan ketawa malu. Singkat cerita, kami pun saling bertukar nomor hp, dan berjanji untuk ketemuan lagi di kemudian hari.

Itu tiga bulan yang lalu. Saya dan ibu Nana masih sering telpon - telponan sekedar menanyakan kesibukan masing - masing, bergosip tentang kelakuan teman - temannya, teman - teman saya, dosen saya (sssttt), sampai pimpinannya, dan juga soal perasaan rindu akan keluarga masing - masing.  Ibu Nana sering mengaku  rindu anak perempuan satu - satunya yang kini sedang menimba ilmu di kota lain, dan saya pun juga sering curhat tentang keinginan saya pulang Gorontalo. Di akhir telepon, biasanya ia akan mengingatkan janji saya untuk ketemuan lagi.

Apa daya, janji tinggal janji. Penyebabnya sudah pasti ada di saya. Mulai dari kesibukan kuliah, hingga cuaca jadi alasan saya untuk menunda janji. Saya pikirnya, "ah, nanti lah kalau sudah weekend. Pasti ibu Nana juga sibuk deh hari kerja gini." Begitu weekend datang, "ah, weekend depan aja deh, panas banget diluar" Dan itu berlangsung terus menerus, hingga tidak terasa sudah menginjak bulan ketiga perkenalan kami, dan intensitas telepon maupun sms kami juga menjadi berkurang.

Sampai akhirnya pagi ini. Saya terbangun dan mendapati 3 buah pesan teks di hp. 1 dari adik saya yang nanya progress cetak undangan pernikahannya, 1 dari mantan pacar yang isinya nggak penting untuk dibahas disini, dan 1 lagi dari nomor tidak dikenal. Biasanya sih saya mengacuhkan telpon dan sms dari nomor asing. Tapi kali ini saya memberi perhatian penuh karena isinya; "Selamat malam. Maaf mbak Citra kalau mengganggu, saya suaminya ibu Nana. Cuman pengen tanya aja, mbak Citra temenan yah sama istri saya?" Karena penasaran tapi takut menelepon suami orang pagi - pagi buta, saya membalas sms-nya; "Maaf pak, saya semalam sudah ketiduran. Ibu Nana yang kerja di asuransi . . .???  (sensor merk). Iya benar pak. Ada apa pak ya?" Dua menit dari terkirimnya sms tadi, suami ibu Nana ini menelepon balik. Saya yang agak - agak parno menerima telepon di waktu - waktu yang tidak biasa, sempat deg - degan. "Maaf mbak Citra, istri saya pernah cerita kalo sering sms-an dan telpon - telponan sama mbak Citra. Makanya saya cari nomornya mbak di hp istri saya, cuman pengen kasih tau kalo dia sekarang lagi di Rumah Sakit. Sudah 3 hari ini mbak. Sakit paru - parunya kambuh. Mbak Citra kalau punya waktu sempatkan datang ya mbak? istri saya pengen banget ketemu sama mbak Citra, cuma katanya mbak sibuk, jadi belum sempat ketemuan."

Saya speechless... Sebelum menutup telepon, saya mengiyakan permintaan si bapak, untuk datang siang nanti sesudah jam kuliah.

Tiba - tiba jadi pengen nangis. Astaghfirullah, sesombong itukah saya, sampai - sampai seorang sahabat baru yang ingin mengenal diri sayapun, saya acuhkan. Apa salahnya meluangkan waktu sejam dua jam untuk bertemu dan ngopi bareng? Toh saya juga yang menawarkan persahabatan itu? kalau memang tidak berniat berteman, kenapa tidak saya cuekin aja waktu ibu Nana lagi adu mulut sama si sopir pete - pete? Kayaknya sifat anti sosial saya udah mulai keterlaluan. Kemandirian yang saya bangga - banggakan, karena terbiasa hidup sendiri dari kecil tanpa ditemani siapapun, mulai membuat saya sombong dan merasa tidak membutuhkan pertemanan. Sebelum saya menulis ini, saya melihat lagi nomor - nomor kontak di hp saya, sambil bertanya sendiri; "dari sekian ratus nomor, hanya berapa kira - kira yang masih sering saya hubungi secara intens?" Jawabannya mengejutkan, cuman 3 orang! Bapak, ibu, sama adik saya. Astagah.

Alasan kesibukan sayangnya memang selalu jadi kambing hitam buat saya untuk "menghindar" berkomunikasi tatap muka dengan orang lain. Berpikir "ah.. ada sms, telepon, video call, BBM, facebook, atau twitter ini. Ngapain capek - capek jalan cuman buat ngobrol ngalor ngidul aja?!" Padahal, saya tau, dan sadar sesadar - sadarnya, teknologi komunikasi secanggih apapun, belum ada yang bisa menyamai kualitas tatap muka.

Oke-lah, kayaknya kopi saya juga udah di dasar cangkir. Waktunya bersih - bersih kamar dan diri, sebelum kembali menjumpai kelas dan dosen saya, juga seorang sahabat baru sesudah jam kuliah nanti.

Buat ibu Nana dan semua yang lagi sakit, semoga cepat sembuh:)

Semangat pagi, kompasianer...

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun