Mohon tunggu...
Citra Yunita
Citra Yunita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional

Hi there.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Marjinalisasi China terhadap Taiwan: Kemerdekaan Taiwan Merupakan Pernyataan Perang bagi China

15 Juli 2021   11:37 Diperbarui: 15 Juli 2021   12:00 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Taiwan, secara resmi dikenal sebagai Republik China atau Republic of China (ROC), adalah sebuah pulau yang dipisahkan dari China (mainland) oleh Selat Taiwan. Hal ini telah diatur secara independen dari China mainland secara resmi sejak tahun 1949. China memandang pulau itu sebagai provinsi pemberontak dan bersumpah untuk akhirnya "menyatukan" Taiwan dengan mainland. Di Taiwan, yang memiliki pemerintahan sendiri yang dipilih secara demokratis dan merupakan rumah bagi dua puluh tiga juta orang, para pemimpin politik memiliki pandangan yang berbeda tentang status dan hubungan pulau itu dengan mainland. Ketegangan lintas selat telah meningkat sejak pemilihan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen pada 2016. Tsai telah menolak untuk menerima kiat yang didukung pendahulunya, Ma Ying-Jeou, untuk memungkinkan peningkatan hubungan lintas-selat.

China menegaskan bahwa hanya ada "Satu China" dan Taiwan adalah bagian darinya. Negara itu memandang People's Republic of China (PRC) sebagai satu-satunya pemerintah China yang sah, dan berusaha mencari cara untuk menyatukan Taiwan dengan mainland. China mengklaim bahwa Taiwan terikat oleh pemahaman yang dikenal sebagai Konsensus 1992, yang dicapai antara perwakilan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan partai Kuomintang (KMT). Bagi China, Konsensus 1992 mencerminkan kesepakatan bahwa "kedua sisi selat itu milik satu China dan akan bekerja sama untuk mengupayakan reunifikasi nasional." Dan bagi KMT dari Taiwan, hal itu berarti "satu China, dengan interpretasi yang berbeda," dengan ROC berdiri sebagai "Satu China".

KMT tidak mendukung kemerdekaan Taiwan dan secara konsisten menyerukan hubungan yang lebih erat dengan China Daratan. Namun dalam menghadapi kekalahan pemilu baru-baru ini, para pemimpin KMT kembali membahas apakah akan mengubah sikap partai pada Konsensus 1992. Partai saingan utama KMT, Partai Progresif Demokratik atau Democratic Progressive Party (DPP), tidak pernah mendukung pemahaman yang tercantum dalam Konsensus 1992. Presiden Tsai yang juga Ketua DPP menolak secara tegas menerima konsensus tersebut. Sebaliknya, ia selalu berupaya agar Taiwan mendapat pengakuan internasional, termasuk mendekatkan diri ke Amerika Serikat.

Jika berbicara mengenai hubungan China dengan negara lain, tentu tidak akan terlepas dari kehadiran Amerika Serikat. Pada tahun 1979, Amerika Serikat menjalin hubungan diplomatik formal dengan PRC. Pada saat yang sama, AS memutuskan hubungan diplomatiknya dan membatalkan perjanjian pertahanan dengan Taiwan. Tetapi AS tetap mempertahankan hubungan tidak resminya dan terus menjual peralatan pertahanan dengan Taiwan. China yang melihat itu kemudian terus mendesak AS untuk berhenti menjual senjata dan menghentikan kontak dengan Taiwan.

Kekhawatiran utama AS adalah bahwa kemampuan dan ketegasan militer China yang berkembang, serta memburuknya hubungan lintas-selat, dapat memicu konflik. Konflik semacam itu berpotensi mengarah pada konfrontasi AS-China. Hal itu karena China tidak ingin mengesampingkan penggunaan kekuatan untuk mencapai "penyatuan kembali" Taiwan dan Amerika Serikat juga tidak mengesampingkan membela Taiwan jika China menyerang. Kemungkinan bahwa China akan semakin gencar dalam menyatukan Taiwan juga disebut oleh Komandan militer AS di Indo-Pasifik, Philip Davidson, bahwa China dapat mencoba menyerang Taiwan dalam dekade berikutnya. Keterlibatan AS ini kemudian dikhawatirkan akan semakin memperburuk keadaan dan menarik Amerika Serikat ke dalam ketegangan mendalam dengan China.

Terlepas dari itu, PLA (People's Liberation Army) sebagai militer China menjadikan Taiwan sebagai salah satu prioritas utamanya. Dalam buku putih pertahanan 2019 yang bertajuk "Pertahanan Nasional China di Era Baru," PLA merumuskan tujuan dasar pertahanan keamanan, termasuk mencegah Taiwan untuk merdeka. Bahkan oleh Ren Guoqiang, Menteri Pertahanan China menyebutkan bahwa kemerdekaan Taiwan berarti perang, dan bersumpah akan melakukan segala cara, termasuk perang militer, demi mempertahankan Taiwan.

Amerika Serikat telah berusaha untuk menjaga keseimbangan antara mendukung Taiwan dan mencegah perang dengan China melalui kebijakan ambiguitas strategisnya. Amerika Serikat telah mendorong Taiwan untuk meningkatkan pengeluaran pertahanannya dan secara teratur mengirimkan kapal melalui Selat Taiwan untuk menunjukkan kehadiran militernya di wilayah tersebut. China telah menggunakan berbagai taktik pemaksaan selain konflik bersenjata sejak pemerintahan Tsai pada tahun 2016. Tujuannya adalah untuk melemahkan Taiwan dan mendorong masyarakat di pulau itu untuk menyimpulkan bahwa pilihan terbaik mereka adalah penyatuan dengan mainland. Taiwan bahkan melaporkan bahwa ribuan serangan siber dari China menargetkan lembaga pemerintahnya untuk mencuri data-data penting pemerintahan dan informasi pribadi.

Namun dengan berbagai tekanan yang dilakukan oleh China, ekonomi Taiwan tetap bergantung pada perdagangan dengan China, yang merupakan mitra dagang terbesar pulau itu. Namun, hubungan ekonomi mereka telah mengalami gangguan dalam beberapa tahun terakhir, sebagian karena tekanan China di pulau itu dan kekhawatiran pejabat Taiwan yang semakin besar tentang ketergantungannya yang berlebihan pada perdagangan dengan China. Di bawah Presiden Ma, yang menjabat dari 2008 hingga 2016, Taiwan menandatangani beberapa pakta perdagangan dengan China, termasuk Perjanjian Kerangka Kerja Sama Ekonomi Lintas Selat 2010, di mana mereka sepakat untuk menghilangkan hambatan perdagangan dan membuka lapangan pekerjaan.

Berbeda dengan Presiden Taiwan saat ini, Tsai dan DPP bahkan berusaha untuk mendiversifikasi hubungan perdagangan Taiwan. Tsai meningkatkan perdagangan dan investasi di negara-negara di Asia Tenggara dan Indo-Pasifik melalui kebijakan New Southbound Policy atau Kebijakan Baru ke Arah Selatan. Bahkan total volume perdagangan antara Taiwan dengan negara ASEAN mencapai US$ 80,6 miliar. Tak hanya volume perdagangan dengan negara-negara tersebut meningkat, namun juga investasi Taiwan di negara-negara tersebut juga terus meningkat. Pada 2019, pemerintahan Tsai sendiri juga meluncurkan rencana yang dijuluki "Rencana Aksi untuk Menyambut Bisnis Taiwan Luar Negeri untuk Kembali Berinvestasi di Taiwan" kepada produsen Taiwan untuk pindah dari mainland  kembali ke Taiwan. Kebijakan tersebut kemudian mencakup pembiayaan, perpajakan, air, listrik dan tenaga kerja. Semua langkah yang dilakukan oleh Tsai tidak lain adalah untuk berusaha melepaskan diri dari China dan tidak mengalami ketergantungan dengannya.

Dengan demikian, jika melihat upaya China menekan dan berusaha mempertahankan Taiwan untuk tidak mencoba mendeklarasikan kemerdekaannya begitu besar. Pertimbangan ketergantungan ekonomi oleh Taiwan terhadap China dibawah Presiden Ma saat itu dipandang oleh oposisi akan berdampak buruk bagi mereka. Akan tetapi sejak pemerintahan Tsai dinilai cukup berani dalam mengambil kebijakan yang untuk berusaha mengambil simpati negara lain agar dapat diterima di dunia internasional, termasuk mendekatkan diri dengan Amerika Serikat. Bahkan mantan Presiden AS, Donald Trump, menjelang pelantikannya melakukan komunikasi melalui telepon dengan Tsai. Pemerintahan Joe Biden pun mengambil pendekatan serupa, mengizinkan pejabat AS bertemu lebih bebas dengan pejabat Taiwan dan mengirim delegasi tidak resmi mantan pejabat AS untuk mengunjungi Tsai di Taipei. Biden juga merupakan presiden AS pertama yang mengundang perwakilan Taiwan untuk menghadiri pelantikan presiden, yang demikian keseluruhan peristiwa itu mengundang tensi China.

Beberapa pertimbangan jika Taiwan berdiri sebagai negara baru, akan berpotensi bagi Amerika Serikat untuk meletakkan armada militernya dan meletakkan China dalam keadaan yang sulit karena itu berarti pangkalan militer AS akan berdiri tepat di depan pintu China dan terpaksa tunduk terhadap AS di dalam setiap negosiasi.
Dengan berbagai pertimbangan itu, sudah dipastikan China tidak akan ragu menyerang secara militer Taiwan jika suatu waktu menyatakan kemerdekaannya dan melepaskan diri dari konsep "Satu China". Ibaratnya, China hanya ingin mempertahankan kedaulatannya dan tidak ingin ada kekuatan asing yang mengintervensi pulau itu. Penyatuan Taiwan jelas menjadi upaya nasional China dan menjadi ambisi Presiden Xi untuk menuntaskan "tujuan dan mimpi pendahulu"nya. Pertimbangan lainnya adalah Presiden Republik China (ROC) saat ini berasal dari DPP yang mempunyai tujuan untuk memerdekakan Taiwan sebagai negara berdaulat.

Sehingga bagi China Daratan, akan memilih harga yang dibayar lebih tinggi untuk menyerang Taiwan secara militer sekalipun daripada tidak. Jika mereka tidak melakukan itu, dengan kata lain PRC akan kehilangan sebuah provinsi yang tentu saja menjadi national embarrasement. Harga diri PRC sebagai sebuah negara dengan ekonomi kedua terbesar di dunia dengan tentara terbesar di dunia, akan jatuh di hadapan dunia.
Sebaliknya yang terbaik adalah posisi Taiwan yang paling bagus yaitu pemerintahannya tetap ada dan mempertahankan status quo seperti saat ini, yakni tidak mempunyai kedaulatan sebagai satu negara (de jure). Sebab jika keajaiban terjadi dan Taiwan merdeka maka China akan mengembargo Taiwan dan pulau itu akan mengalami resesi parah, kerusakan parah akibat perang, dan kemungkinan Taiwan menjadi negara miskin juga semakin besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun