Bagaimana sikap saya menghadapi drama-drama di atas?
- Diam dan berusaha tidak merespon sikap emosinalnya. Maka saya sangat menjaga baik ucapan dan sikap saya agar tidak  bersinggungan dengan seniorku tersebut.Â
- Tetap berjuang mencari celah untuk menjalin komunikasi. Sebab saya merasa sebagai yunior, maka saya harus berjuang sekuat tenaga agar silaturahmi tidak sampai terputus karena sikap emosional saya.
- Merasa kasihan terhadap seniorku. Itu semua terjadi akibat  kurangnya jejaring dan keterbukaan wawasan serta literasi diri.
- Menyadari bahwa ini adalah ujian iman saya. Sebab betapapun seniorku adalah manusia biasa. Maka sikap salah kaprah yang ditujukan pada saya  dan sudah belasan tahun, menyadarkan saya bahwa iman itu butuh ujian, bukan sekedar teori keimanan.
Dalam perjalanan panjang tersebut akhirnya saya mendapat pelajaran hidup tentang filosofis "watuk dan watak" memang berbeda. Kalau watuk (batuk) itu lebih mudah sembuh, karena banyak opsi obatnya. Sedangkan "watak" obatnya adalah kesadaran diri sesorang tentang kekurangan  dan keterbatasannya sebagai manusia biasa. Sehingga mau mengakui kelebihan yang dimiliki orang lain.
Pelajaran kedua, saya makin meyakini bahwa setinggi apapun ilmu agama seseorang, jika tidak diimbangi dengan kesadaran mengakui kelebihan orang lain, maka ilmu agama itu akan menjadi belenggu jalan terang menuju surga.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!