Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kearifan Lokal Jawa dan Politik Pragmatis Jenderal De Kock

25 Maret 2021   08:43 Diperbarui: 28 Juni 2021   21:30 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kearifan lokal Jawa menjadi salah satu prinsip penting yang dipegang oleh Diponegoro dalam perang melawan Belanda. Nilai-nilai luhur Jawa dalam bentuk kearifan lokal dijunjung tinggi oleh Diponegoro dalam menjalankan misi keumatan. Sebagai pemimpin yang dianugerahi "sang ratu adil" oleh rakyatnya, ia mencoba menerapkan nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh para pendahulunya. Wujud kearifan lokal yang selalu dipedomani adalah kejujuran dan jiwa ksatria. Sebagai pemimpin ia berjuang untuk "ngugemi" (memegang teguh) kedua nilai tesebut, secara khusus dalam perjuangan melawan Belanda tahun 1825-1830.

Kilas balik perang yang yang terjadi dalam periode tahun 1825 sampai 1827 ditandai kemenangan Diponegoro. Banyak daerah yang dapat dikuasainya. Belanda mengalami kekalahan di berbagai daerah. Pada masa itu wilayah kekuasaan Diponegoro membentang dari Yogjakarta, Jawa Tengah hingga Jawa Timur.

Kondisi demikian membuat Jenderal De Kock sebagai panglima perang Belanda, berada dalam kepanikan.

Maka sejak 1827 Jenderal De Kock menerapkan stategi baru yang diberi nama Benteng Stelsell. Sebuah strategi dengan mendirikan benteng-benteng di wilayah yang berhasil dikuasai Belanda. Dalam praktiknya, Belanda berhasil membuat benteng sebanyak 165 buah tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sampai akhir tahun 1828 penerapan Benteng Stelsell belum membawa hasil secara signifikan. Diponegoro dan para panglima perang masih mampu melakukan perlawanan.

Maka sejak awal tahun 1829 Jenderal De Kock menerapkan "taktik" perang baru yaitu "politik tipu muslihat".  Politik ini merupakan jalan pintas menghentikan perang Diponegoro.

Ada beberapa hal mendasar yang mendorong Jenderal De Kock menggunakan "politik tipu muslihat". Hal-hal tersebut antara lain makin luasnya wilayah gerilya Diponegoro, biaya perang yang makin membengkak, penerapan benteng stelsell terbukti belum bisa mengakhiri perang yang berkecamuk. Yang terakhir adalah desakan pemerintah Belanda agar perang Jawa segera dihentikan.   

Secara garis besar langkah-langkah "politik tipu muslihat" yang dilakukan sebagai berikut :

  • Menangkap istri Mangkubumi (pendukung Diponegoro di Kesultanan) dan anak-anaknya (Wiryokusumo, Wiryoatmojo dan Suradi dan Notodiningrat). Maka pada 27 September 1829 Mangkubumi menyerah.
  • Menangkap Sentot Prawirodirjo (salah satu panglima Diponegoro) melalui jasa Bupati Madiun Pangeran Aryo Prawirodiningrat (kerabat Sentot) untuk melunakkan sikapnya. Pada tanggal 17 Oktober 1829 berhasil dibuat perundingan sepihak di Imogiri. Tindak lanjut pertemuan tersebut, 24 Oktober 1829 Sentot menyerahkan diri ketika memasuki keraton Yogjakarta.
  • Kyai Mojo (salah satu panglima perang dan motivator spiritual Diponegoro) ditangkap dengan modus perundingan.
  • Menggunakan penguasa-penguasa pribumi yang sudah dikalahkan untuk membantu Belanda mengalahkan pasukan Diponegoro.
  • Memberikan hadiah 20.000 ringgit untuk siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.   
  • Menangkap Diponagoro Anom (Anak Diponegoro) menggunakan jasa mata-mata pribumi pada bulan Desember 1829. Langkah ini untuk menjatuhkan mental Diponegoro. Tindak lanjutnya adalah mengirimkan pesan agar Diponegoro menyerah, apabila tidak mau, anaknya akan dibunuh.

Episode akhir yang ditempuh Belanda untuk menangkap Diponegoro adalah dengan modus perundingan. Belanda diwakili Kolonel Clereens, pihak Diponegoro dipimpin sendiri oleh Diponegoro.  Pada tanggal 16 Februari 1830 perundingan dimulai. Isinya agar Diponegoro melanjutkan perundingan di Magelang dengan jaminan memperoleh "perlakuan jujur", apabila gagal dalam perundingan, Diponegoro boleh melanjutkan perang lagi.

Ajakan berunding disikapi kooperatif. Nilai kejujuran dan jiwa satria ditunjukkan dengan menyanggupi untuk melakukan perundingan di Kantor Dinas Residen Kedu di Magelang, walaupun ia sadar bahwa tempat itu adalah tempat yang tidak netral untuk berunding. Namun secara diam-diam Jenderal De Kock memerintahkan agar menangkap Diponegoro apabila perundingan gagal. Jenderal De Kock secara diam-diam menyiapkan pasukan penyergap dengan senjata lengkap di belakang kantor Karesidenan Kedu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun