Mohon tunggu...
Cipta Mahendra
Cipta Mahendra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter yang suka membaca apapun yang bisa dibaca.

Kesehatan mungkin bukan segalanya, tapi segalanya itu tiada tanpa kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Refleksi Covid-19: Bertahan Hidup

24 April 2021   00:58 Diperbarui: 24 April 2021   01:34 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jumlah penduduk dunia dan proyeksi untuk masa depan. Sumber: ourworldindata.org/world-population-growth 

Aktivitas manusia yang pada waktu itu dapat dikatakan hampir lumpuh total membuat level emisi menurun drastis. Langit pun juga menunjukkan rona kebiruannya dengan sangat indah pada saat itu. Alam raya seakan kembali pada masa keemasannya, masa saat campur tangan manusia belum mengganggu segi-segi keindahan siklus dan perputaran ekosistem abadinya.

Sejak awal masa pembentukan sampai sekarang ini, Bumi kita tidak mengalami pertambahan isi dan ukuran; semuanya segitu-gitu saja, hanya berputar dalam siklus abadi dan berubah bentuk atau wujud. Tidak demikian halnya dengan populasi manusia, yang kian waktu kian bertambah populasinya. Bisa dilihat dalam gambar di tulisan ini (world population growth, 1700-2100), jumlah penduduk mulai menanjak tajam sejak sekitar tahun 1950. 

Saat itu, jumlah manusia di dunia ini baru 2,5 miliar jiwa. Kurang dari 100 tahun kemudian, tahun 2019, jumlahnya menjadi 7,7 miliar! Fantastis... Semakin sesak saja planet ini. Ibaratnya, rumah kecil yang luas dan jumlah lantainya sebelumnya ideal untuk dihuni 1 keluarga kecil - ayah, ibu, 1-2 anak - kini dipaksa harus cukup untuk dihuni 3-4 keluarga kecil. Sempit sekali bukan?

Jumlah penduduk dunia dan proyeksi untuk masa depan. Sumber: ourworldindata.org/world-population-growth 
Jumlah penduduk dunia dan proyeksi untuk masa depan. Sumber: ourworldindata.org/world-population-growth 

Ini menjadi masalah besar sebetulnya. Di gambar itu pula bahkan sudah diproyeksikan juga bahwa penduduk Bumi akan terus bertambah, tidak tahu apakah akan pernah bisa menurun, plateau pun entah. Bagaimana caranya mengatasi ini? Solusinya secara logis hanya dua: memperbesar planet ini atau mengurangi jumlah penduduknya. Ukuran dan sumber daya planet tidak akan bisa bertambah (tidak mungkin akan ada kejatuhan air, bibit/tanaman baru, atau apapun itu dari atas langit kan?). Otomatis yang akan terjadi adalah pengurangan jumlah mulut yang harus diberi makan.

Di sinilah kita bisa mengingat kembali intisari 'ajaran' Charles Darwin - ilmuwan biologi sekaligus bapak evolusi - survival of the fittest. Alam raya tampaknya menganut hal ini sebagai nilai universalnya. Di tengah keterbatasan ruang hidup dan sumber daya dan semakin banyaknya jumlah penghuni, kompetisi tidak terhindarkan. Mereka yang masih ingin melanjutkan hidup dan mendapat makanan harus bersaing ketat dengan para pencari makan lain. 

Ibarat hunger games, yang akan bertahan adalah yang paling kuat dan cerdas, yang mengerti bagaimana bisa mendapat makanan dan mencegah pesaingnya memperoleh makanannya lebih dulu. Nilai alam ini pun juga sudah sejak lama termanifestasikan dalam hubungan dan fenomena sosial antar manusia. 

Kita lihat sendiri bagaimana keadaan dan status manusia yang beragam di dunia ini. Mereka yang bekerja keras dan berhasil unggul memiliki hidup yang lebih sejahtera dan makmur; mereka yang tidak mempu dan kalah bersaing terpaksa menerima keadaan hidup pas-pasan dan terhimpit hutang sana-sini. Ini mungkin terdengar kejam, namun inilah realitas yang teramati. Hal ini berlaku global, tidak hanya di Indonesia. Persaingan adalah hal tak terhindarkan; alam dan sosial, keduanya sama-sama mengamini prinsip itu.

Bahkan tidak jarang juga kita melihat hal-hal terkaitnya. Persaingan ketat nan sengit bisa membuat orang melakukan apa saja untuk bertahan dari kekalahan. Berbuat jahat pun tidak masalah asal bisa bertahan dan hidup dalam kenyamanan dunia. Menipu sana dan sini... menyuap si anu dan ono demi prospek untung yang berlipat... menjadi mafia... apapun demi uang. Oh uang... yang tanpanya, hidup sama saja dengan mati. Ini pun juga ada persaingan, antara yang menipu dan ditipu, yang menyuap dan disuap. Adu pintar... Seberapa lihai yang menipu agar bisa meyakinkan dan memperdaya korbannya, seberapa pintar yang dicoba untuk ditipu agar jeli dan ngeh bahwa dirinya sedang ditipu.

Covid-19 pun - menurut saya - bisa dilihat sebagai hal demikian. Alam sedang meradang dan 'marah' dengan manusia yang terus merusak keelokkannya. Ia sadar manusia semakin banyak jumlahnya, yang artinya semakin menguras kemampuannya untuk bernapas dan bertahan hidup dari kehancuran. 

Ia pun akhirnya 'mencoba menciptakan' sesuatu yang bisa menekan populasi manusia untuk menghambat laju kerusakan dirinya ini (dengan asumsi bahwa virus Covid-19 memang ada karena sebab natural, bukan diciptakan atau 'dikonspirasikan'). Terbukti, sampai sekarang dunia masih dibuat kewalahan dengan virus itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun