Mohon tunggu...
Cipta Mahendra
Cipta Mahendra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter yang suka membaca apapun yang bisa dibaca.

Kesehatan mungkin bukan segalanya, tapi segalanya itu tiada tanpa kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sengkarut Bahasa Kita, Bahasa Indonesia

26 Februari 2021   04:22 Diperbarui: 26 Februari 2021   04:57 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Peta Indonesia bercorak Merah Putih. (Sumber: worldofghibli.id) 

Saya ingat ada sebuah episode video TED Talk yang pernah saya saksikan di Youtube. Video ini berjudul How Language Shapes the Way We Think, yang dibawakan oleh Lera Boroditsky. Di dalam video itu dibahas berbagai bahasa dunia yang dilihat dari sudut pandang sejarahnya. Keunikan-keunikan yang ditemukan dalam bahasa-bahasa tersebut mencerminkan budaya dan proses perkembangan alam pikiran masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Ini tentu sejalan dengan makna filosofis dari adanya bahasa dalam peradaban yakni untuk berkomunikasi dengan lawan bicara dan membuatnya mengerti. Dengan memahami seluk-beluk bahasanya, kita bisa mengerti pola pikir dan persepsi masyarakatnya.

Saya tidak akan membahas satu persatu bahasa yang dipakai dalam video itu, terlalu banyak. Anda bisa menonton sendiri video itu untuk lebih lengkapnya. Disini saya akan memberi sebuah contoh saja yang bisa sekiranya memberi gambaran kepada Anda apa inti dari video itu. Misalnya ada sebuah kejadian aksidental lukisan mahal terjatuh dan pecah. Dalam Bahasa Inggris, biasanya lumrah saja jika dikatakan: "He broke the painting." (Dia merusak lukisan itu). Tapi jika dilihat dari kacamata orang Spanyol, biasanya akan lebih umum mendengar: "The painting broke." (Lukisan itu rusak). Disini kita bisa melihat ada perbedaan cara lihat dari kedua kalimat tersebut. Kalimat pertama dalam Bahasa Inggris menekankan 'dia' sebagai pelaku, sementara kalimat kedua dalam kultur Spanyol lebih menekankan pada objek 'lukisan' sebagai fokusnya. Ini bisa diartikan bahwa budaya Inggris lebih berorientasi mencari siapa 'dalangnya' sedangkan masyarakat Spanyol lebih berfokus pada apa yang terjadi.

Ini baru dari perbandingan dua bahasa saja. Tentu masih banyak fenomena keunikan kebahasaan lain yang bisa ditemukan di bahasa-bahasa lain. Masih ada Bahasa Jerman dan Perancis yang menggunakan artikel gender pada setiap nomina (kata benda), Bahasa Rusia yang memiliki kata untuk setiap gradasi warna yang dikenal manusia, Bahasa Jepang yang memiliki susunan kalimat subjek-objek-predikat (SOP), Bahasa Cina (Mandarin) yang bersifat tonal (menekankan pada nada) dan berasal dari bentuk benda/barang yang disimbolkan, dan lain-lain. Bagaimana dengan Bahasa Indonesia?

Kosakata

Saya teringat pada guru Bahasa Indonesia saya ketika masih sekolah di bangku SMA. Guru saya itu pernah berkata bahwa Bahasa Indonesia itu miskin kosakata. Saya teringat dengan sebuah artikel yang saya baca, yang ditulis oleh David Fettling di portal berita bbc.com berjudul Why no-one speaks Indonesia's language. Tulisan ini mengungkap masalah yang dikeluhkan orang-orang yaitu terlalu kaku dan tidak bisa dipakai untuk menyampaikan maksud atau keinginan karena terlalu sedikit kata-katanya. Saya rasa tulisan ini benar. Saya sendiri juga membayangkan bagaimana jika saya pergi ke pasar atau supermarket, lalu berbicara dengan pedagang atau kasir atau pelayannya memakai Bahasa Indonesia yang baku seperti ini: Mbak, dimanakah saya bisa menemukan camilan/kudapan di sini? Saya rasa mungkin akan ada reaksi aneh dari mereka, mungkin terasa seperti mendengar robot berbicara. Akan lebih lumrah kalau seperti ini: mbak/mas, bagian snek tuh adanya dimana ya? Sama halnya dengan perbandingan "Berapakah harga satu ikat bayam ini satu kilogram?" dan "Sekilo (bayam) berapa nih bang?". Yang terakhir itu secara struktur/gramatikal sepertinya agak ngaco dibanding yang pertama tetapi jauh lebih nyantai dan jamak didengar sehari-hari.

Terkait kosakata, Bahasa Indonesia tampaknya lebih runyam lagi. Seiring perkembangan zaman, sudah seharusnya bahasa juga mengikuti sesuai perkembangan itu. Temuan-temuan sains dan fenomena sosial budaya baru menuntut terciptanya istilah dan sebutan baru untuk memudahkan. Seharusnya. Tetapi yang saya amati dan pahami, Bahasa Indonesia tampaknya memang miskin kosakata, terutama menyangkut istilah atau sebutan teknis ilmiah. Adopsinya biasanya menyerap begitu saja bahasa asing dan disesuaikan agar 'pas' di lidah kita. Ini sangat sesuai dengan bidang keilmuan saya di dunia medis. Sangat banyak istilah-istilah Inggris yang 'diindonesiakan' langsung, pola-polanya seperti '-tion' menjadi '-isasi', tulisan mengandung huruf 'c' diganti menjadi 'k', 'z' menjadi 's', dan lain-lain. Di bidang keilmuan lain pun, sejauh yang saya baca-baca di berbagai media juga demikian. Hal yang mungkin lebih mendingan itu menyangkut kosakata sosial untuk kehidupan sehari-hari, tetapi itupun bahkan juga masih kurang.

Saya mengambil contoh perbandingan dengan Bahasa Inggris karena bahasa ini yang paling sering 'dicomot' banyak orang untuk melakukan pembicaraan sehari-hari. Ada beberapa contoh kata Inggris yang saya perhatikan sering dipakai para tokoh yang muncul di televisi untuk wawancara atau memberi keterangan dan juga bahkan orang-orang biasa yang saya temui sehari-hari. Kata-kata ini yaitu misalnya share, create, margin, aware, commitment, dan assessment (masih ada kata-kata lain, tetapi akan terlalu panjang nanti bila dituliskan semuanya disini). Apa kira-kira padanan kata yang tepat untuk kata 'share'? Sepertinya agak sulit mencari kata yang pas. Kata 'share' bahkan bisa bermakna verba dan juga nomina. Kata terdekat yang bisa diambil mungkin 'membagikan', mungkin juga 'menyebarkan' jika yang dimaksud berupa verba. Tetapi bagaimana dengan kasus untuk sebagai nomina? Saya berpikir kata yang paling mendekati itu 'bagian'. Ketika saya mencoba mengecek sinonim lain dari 'bagian' itu di kamus tesaurus daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) - tesaurus.kemdikbud.go.id - untuk melihat kata alternatif lain (yang mungkin bisa lebih sesuai lagi maksudnya), saya justru menemukan yang lebih tidak pas: belahan, pecahan, penggalan; terdengar lebih 'absurd'. Kata 'create' juga agak sulit kita mencari padanannya selain 'menggampangkannya' menjadi 'mengkreasikan'; mungkin bisa dengan 'membuat', 'menghasilkan', atau yang lain.

Untuk yang selanjutnya, saya mulai tidak bisa memikirkan padanan yang sesuai karena terlalu bingung. Apa padanan kata Indonesia untuk margin, aware, commitment, dan assessment? Kata-kata ini mungkin bisa kita pahami konteksnya saat digunakan dalam sebuah kalimat dan kemudian kita cari kata dalam Bahasa Indonesia yang sudah ada untuk mendekati maksud aslinya, tetapi sulit jika dicari padanan kata per katanya (word for word). Akibatnya, kebiasaan yang cenderung dilakukan yaitu mengambil begitu saja kata asing itu dan dipakai untuk memudahkan percakapan (Contohnya untuk kata 'aware' ini, yang dalam kamus Bahasa Indonesia tidak ada kata ini); atau menyerapnya dengan mengubahnya sedikit menjadi lebih ramah untuk lidah orang Indonesia (dan kemudian dimasukkan sebagai lema di kamus bahasa kita). Kata 'margin' menjadi 'marjin', 'commitment' menjadi komitmen, dan 'assessment' menjadi asesmen. Ini baru untuk kasus bahasa Inggris, belum dari bahasa-bahasa lain seperti Bahasa Belanda (yang jumlah serapannya tampaknya lebih banyak lagi), Bahasa Arab, Bahasa Sansekerta/Sanskrit, dan bahasa-bahasa lain entah yang mana lagi. Bahkan bahasa lokal seperti Bahasa Jawa pun juga menjadi objek serapan untuk sebagian kata dalam kamus Bahasa Indonesia.

Jadi mungkin bisa dikatakan bahwa Bahasa Indonesia kita ini rasanya 'hanya' berisi kata-kata yang menjadi adaptasi dari bahasa-bahasa lain; jarang ada kata asli yang benar-benar murni kata Indonesia dan tidak diturunkan atau diserap dari bahasa manapun. Mungkin itu juga sebabnya seperti berita Fettling tadi, orang-orang lokal di daerah Yogyakarta lebih suka memakai bahasa lokal (Jawa) ketimbang Bahasa Indonesia. Bahasa mereka justru bisa menjadi sumber serapan dan bukan sebaliknya, yang menyiratkan bahwa kosakata mereka lebih kaya dan lebih membantu percakapan.

Ini belum kita berbicara soal ejaan yang disempurnakan (EYD). Ini juga menjadi masalah yang menurut saya masih sangat jamak ditemukan di kehidupan kita sehari-hari sebagai bangsa Indonesia. Sepengetahuan saya, bahasa Indonesia ini satu-satunya bahasa di dunia yang bisa ada (dan sudah terbiasa dengan) kosakata baku dan tak baku. Kosakata baku dan tak baku ini biasanya terkait penggunaan huruf hidup (a,i,u,e,o) dalam sebuah katanya. Saya rasanya tak menemukan ini di bahasa-bahasa lain dunia. Kata talk (bicara) dalam Bahasa Inggris tak pernah dituliskan 'tolk'. Kata 'spiel' (bermain) dalam bahasa Jerman tidak pernah dituliskan 'speel' atau 'spiil' atau apapun itu. Lebih lagi Mandarin, yang bisa tak dipahami lagi oleh orang yang membacanya jika ada satu garis atau titik saja yang dihilangkan dari karakternya, bahkan bisa juga jadi berubah arti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun