Mohon tunggu...
buliah cinto
buliah cinto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ranah Minang

22 September 2017   09:54 Diperbarui: 22 September 2017   10:29 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ranah Minang adalah sebutan atau istilah untuk tanah  Minangkabau.  Jika berkaitan dengan orangnya, bahasanya ataupun  keseniannya maka  istilah yang digunakan adalah "Minang". Namun jika  berkaitan dengan  wilayahnya, asalnya yang digunakan adalah istilah  "Minangkabau" atau  "Ranah Minang".

Sebagai orang rantau,  kerinduan apakah yang kadang-kadang membayang  di dalam pikiran? Tentu  saja tanah kampung halaman. Apalagi jika di  tanah itu anda pernah  dilahirkan, dibesarkan, lalu ketika beranjak  dewasa pergi  meninggalkannya. Jika masih punya orangtua di sana, maka  keinginan  untuk pulang selalu ada. Tapi jika sudah tidak punya orangtua  lagi,  dua-duanya sudah almarhum, maka apakah tanah kampung halaman itu  masih  akan Anda kunjungi lagi?

Jawabnya ya, teutama bagi saya sendiri.  Meskipun kedua orang ibu-bapa  saya sudah meninggalkan dunia fana ini,  tetapi keinginan untuk pulang  selalu tetap ada. Minimal menengok rumah  warisan orangtua, tempat di  mana saya dulu dilahirkan dan dibesarkan  dengan kasih sayang. Dua kali  setahun saya pasti akan pulang, sekali  sebelum bulan puasa untuk  berziarah ke makam orangtua, kedua kali pada  awal tahun. Rasanya tanah  kelahiran selalu memanggil untuk pulang dan  pulang.

Setiap kali meninggalkan kota Padang menggunakan pesawat,  saya selalu  mengambil duduk pada sisi pesawat sebelah kiri. Tujuannya  satu: menatap  dari atas udara tanah kota yang telah membesarkan saya.  Kota ini  berhalaman lautan yang terbantang luas di sebelah barat, yaitu  Samudera  Hindia. Kawasan pinggir pantai sangat padat dengan pemukiman,   gedung-gedung, dan perkantoran. Dari udara semua pemandangan itu   terlihat dengan jelas selepas pesawat take-off dari Bandara  Minangkabau.

Lihatlah  daratan bagian bawah, tampaklah tanah yang berbentuk kepala  burung.  Diujungnya teronggok Gunung Padang yang seakan duduk termenung  di  pinggir laut. Tanah yang berbentuk kepala dan badan burung itu adalah   bagian dari perbukitan yang berhadapan dengan Samudera Hindia. Salah   satu bukit itu diberi nama Bukit Siti Nurbaya karena di sinilah kisah   Siti Nurbaya bermula. Sebuah sungai yang bernama Batang Arau memisahkan   kawasan perbukitan dengan dataran kota. Ujung sungai itu bernama  Muara.  Di sepanjang sungai itulah terletak kawasan kota lama yang  dibangun  sejak zaman Hindia-Belanda.

Teruslah  mengarahkan pandangan menyusuri perbukitan itu ke arah  tenggara, maka  sampailah ke kompleks pemakaman orang kampung saya. Di  sana, di atas  tanah bukit yang curam, terletak makam ibu dan ayah saya.   Tidak tampak  dari atas pesawat, tapi saya bisa membayangkannya dari  atas pesawat  dengan perasaan sedih. Semoga Allah SWT menerima amal  sholehmu wahai  ayah dan ibu, dan menempatkamu di tempat yang layak di  sisi-Nya, amin.

Lamat-lamat  pesawat semakin menjauh dari tanah kota Padang, terbang  ke selatan  menuju tanah Jawa. Tanah yang telah memberikan kenangan  kepada saya pun  hilang dari pandangan. Tanah itu tidak akan pernah  kulupa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun