Mohon tunggu...
Cinta Negriku
Cinta Negriku Mohon Tunggu... -

saya adalah pecinta NKRI

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Memprotes PP 103 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional

12 Januari 2019   06:40 Diperbarui: 12 Januari 2019   06:58 1482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada Kamis, 10 Januari 2019 lalu, sejumlah pihak yang bernaung dalam Forum Induk Pengobat Tradisional Indonesia atau FIPTI mendatangi Gedung DPR RI untuk melakukan dengar pendapat dengan Komis IX. Kedatangan mereka bukannya tanpa alasan, mereka membawa keresahan. Keresahan akan nasib pengobatan tradisional/ alternatif yang dianggap 'musuh' oleh dunia medis, sehingga keberadaannya di batasi dengan aturan-aturan yang memberatkan.

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang menjaga kerarifan lokal dengan melestarikan metode pengobatan alternatif, FIPTI merasa pemerintah telah melakukan tindakan kesewenangan melalui PP 103 tahun 2014. Pengobatan alternatif merupakan bagian dari kearifan lokal dan warisan budaya tradisional yang diwariskan secara turun temurun. 

Namun dengan aturan-aturan super ketat yang termahtub di dalam PP 103, merupakan bentuk pembelengguan terhadap para pelaku pengobatan alternatif untuk menjalankan praktiknya.

Seperti disampaikan Ketua Umum FIPTI B. Mahendra, ada empat hal pokok yang diperjuankan oleh para pengobat alternatif terhadap kesewenangan pemerintah melalui PP 103, yaitu; Pertama, bahwa pengobatan tradisional/ alternatif berakar pada aspek tradisi, turun temurun, aspek sosial budaya, etnik dan agama. 

Oleh karena itu pengobat tradisional harus berdiri sendiri berdasarkan keilmuan tradisionalnya dan tanpa harus dibenturkan dan atau harus dicampuradukan dengan keilmuan pengobatan konvensional.

Kedua, dasar keilmuan pengobat tradisional adalah bermuara pada nilai-nilai empiris yang turun menurun , maka perlu diberi kebebasan untuk menentukan jenis pendidikannya sendiri. Misalnya, melalui lembaga pendidikan nonformal yang disesuaikan dengan program Kementrian Pendidikan, tanpa harus dipaksakan untuk kuliah minimal D3 kesehatan.

Ketiga, dengan pengetahuan dan dasar keilmuan tradisonalnya, maka pengobat tradisional diberikan keleluasaan melakukan praktek pengobatannya, baik invasif maupun non-invasif sesuai dengan batas batas keilmuannya sebagai pengobat tradiaional. 

Dan yang keempat, pengobat tradisional diberi ruang untuk memperkenalkan dirinya dan pengobatannya di publik dengan batasan batasan yang wajar berdasarkan SOP tiap - tiap organisasi profesi yang menaungi.

Dengan idealisme yang dimiliki para pelaku pengobatan tradisional/ alternatif, hendaknya jangan dianggap musuh oleh dunia media. Keberadaan mereka justeru sebenarnya bisa dimanfaatkan dan disinergikan dengan dunia media, yang secara marwah tujuannya adalah sama-sama menciptakan masyarakat yang sehat.

Kita bisa bersepakat dengan apa yang disampaikan Ketua Umum FIPTI, B. Mahendra bahwa pengobatan tradisional dan para pelaku pengobatan alternatif bisa diberi peran dalam melakukan deteksi dini dan memonitoring tanda penyakit dengan alat periksa yang sudah umum digunakan oleh masyarakat, seperti thermometer, timbangan, tensimeter gigital, alat pemeriksa gula dara, kolesterol dan lain-lain. 

Tidak ada salahnya memberikan uang bagi pengobatan tradisional untuk memperkenalkan metode-metode yang dikembangkan selama masih dalam batasan-batasan wajar. Sebagai acuan dasar dan standarisasi, metode pemakaian alat kesehatan umum bisa diajarkan oleh tenaga kesehatan sebagai bagian dari usaha dasar dalam mensehatkan masyarakat.

Saat ini, berkembang banyak sekali metode pengobatan tradisional/ alternatif, seperti bekam yang tergabung dalam Perkumpulan Bekam Indonesia (PBI), akupuntur yang teraviliasi dengan organisasi Akupunturis Tradisional Empiris Nusantara (PATEN), thabib, homoeopathy, ruqyah, terapi lintah, totok syarat, kinesio, dan masih banyak lagi para pelaku pengobat tradisional yang tergabung dalam berbagai organisasi profesi.

Dengan adanya PP 103, semua ikhtiar dalam upaya membantu kesehatan masyarakat ini tidak bisa berkembang dan bahkan cenderung menuju 'pintu mati', karena adanya berbagai batasan yang memberatkan. Padahal dalam praktiknya, banyak para pelaku pengobatan tradisional itu mengembangkan metode dengan hati dan rasa, yang tujuannya bermuara pada usaha untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. 

Makanya tidak heran, ketika ada inisiasi untuk memprotes PP 103 melalui rapat dengar pendapat bersama para wakil rakyat, Kamis (10/01), banyak organisasi profesi yang mendukung dan rela menyempatkan dirinya datang, meskipun keberadaan mereka sangat jauh dari Jakarta.

Esensi Pengobatan Tradisional

Pada dasarnya, pengobatan tradisional atau alternatif bukanlah sesuatu yang tabu di Indonesia. Keberadaannya sudah diakui sejak dulu, ketika nenek moyang kita belum mengenal sistem pengobatan modern atau dunia medis. 

Pada zaman dulu, pengobatan tradisioanl merupakan upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Artinya, pengobatan tradisional tetap menjadi rujukan dan menjadi salah satu solusi dalam menjaga kesehatan masyarakat.

Khususnya di Indonesia, pengobatan tradisional erat terkait dengan kearifan lokal, karena banyak memanfaatkan kekayaan herbal yang dimiliki daerah setempat. Tidak heran, kalau kemudian dunia pengobatan tradisonal berkembang cukup pesat di Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi yang mengiringi pengobatan modern. 

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pengobatan tradisional juga berkembang dengan memanfaatkan kemajuan tersebut untuk peningkatan mutu dan manfaat.

Sementara itu dalam dunia internasional, pengobatan tradisional telah mendapatkan tempat dan perhatian di sejumlah negara. Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan sepakat bahwa pengobatan atau pelayanan kesehatan tradisional dalam diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan. Pernyataan WHO ini tentu saja mengadung syarat, yaitu jasa pelayanan kesehatan tradisional harus aman dan bermanfaat.

Kesepakatan WHO itu tertuang dalam Kongres Pengobatan Tradisional di Beijing, Tiongkok pada November 2008. Selanjutnya pada tahun 2009, WHO mendorong negara-negara anggotanya unntuk mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional yang disesuaikan dengan kondisi di wilayahnya. Artinya, pengobatan tradisional sebenarnya sudah diakui secara internasional.

Indonesia adalah salah satu negara yang perkembangan pelayanan kesehatan tradisionalnya tumbuh pesat. Agar layanan kesehatan atau pengobatan tradisional itu tepat sasaran dan tepat manfaat, perlu keterlibatan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. 

Keterlibatan pemerintah ini dalam rangka membina dan mengarahkan pengobatan tradisional agar bisa memaksimalkan manfaatnya dan penyelenggaraannya tetap mengacu pada manfaat, keamanan dan mutu pelayanan.

Pemerintah tidak boleh hanya fokus dalam menetapkan regulasi dan pembinaan untuk pengobatan modern. Atas kesamaan tujuan dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu kesehatan masyarakat, sudah seharusnya pengobatan tradisional dan modern (medis) berjalan seiring dan mendukung satu sama lain. 

Para pelaku pengobatan modern, dalam hal ini dokter yang berada di bawah IDI (Ikatan Dokter Indonesia) maupun organisasi profesi kesehatan lainnya, jangan menganggap pengobatan tradisional sebagai saingan.

Seluruh stake holder yang terlibat dan khususnya para pemangku pengobatan modern tidak boleh asal ngomong da nasal mengkampanyekan bahwa pengobatan tradisional menyalahi aturan-aturan yang berlaku dalam dunia medis. Mereka harus memahami bahwa pengobatan tradisional itu ada, karena warisan lelulur, berasal dari nenek moyang.

Seharusnya, baik IDI maupun organisasi profesi kesehatan lainnya ikut membantu pemerintah untuk membina dan mengembangkan agar pengobatan tradisonal ini lebih bermutu dan bermanfaat untuk mejaga menjaga kesehatan masyarakat. 

Secara hukum, sebenarnya pemerintah juga sudah mengatur tentang pengobatan tradisional ini. Jadi tidak ada alasan untuk mengucilkan pengobatan tradisional.

Dalam UU RI No.36 tahun 2009 terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang pelayanan kesehatan tradisional, yaitu pada pasal 1, 48, 59, 60 dan 61. Sebagai contoh, pasal 1 butir 16 disebutkan bahwa Pelayanan Kesehatan Tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Dengan adanya UU tersebut, seharusnya posisi pengobatan tradisional berdiri seimbang dan sama di mata konstitusi, sehingga keberadaannya pun harus saling melengkapi. (***)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun