Mohon tunggu...
Cindy Sagita Pomalina
Cindy Sagita Pomalina Mohon Tunggu... Mahasiswa - pengguna baru

dalam proses belajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nasib Pendidikan Bangsa di Tengah Pandemi

18 April 2021   03:47 Diperbarui: 18 April 2021   05:08 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan sejarah adalah perkembangan dialektika. Begitulah kira-kira sebuah cuplikan kuotasi yang menggambarkan bagaimana sejarah berkembang dan akan terus berkembang dengan mengikuti hukum hukum objektif ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah determinan dasar semua pandangan manusia mengenai objek eksternal dari dirinya, dan cara manusia untuk menggunakannya. Ilmu pengetahuan menempati urutan yang tinggi dalam suatu hierarkis konstelasi aktivitas manusia karena semua civitas manusia selalu berdasarkan ilmu pengetahuan, maka sebuah pendidikan, yang mana adalah proses transfer ilmu pengetahuan, merupakan hal yang harus paling diprioritaskan bagi umat manusia, melebihi prioritas subjek-subjek lain.

Saat ini kita dipusingkan oleh kebijakan pemerintah yang dinilai cukup tidak konsisten, semrawut, dan tumpang tindih, bahkan dalam beberapa kasus tidak terlaksanakan, khususnya kebijakan pemerintah mengenai penanganan pandemi Covid-19. Kekacauan itu bisa kita lihat dalam berbagai pemberitaan media, seperti PSBB, bantuan sosial, kebijakan mudik yang membingungkan, sampai pada monopoli hukum. Tentu permasalahan tersebut akan mengganggu proses kegiatan kenegaraan, salah satunya adalah pendidikan, yang menjadi faktor utama berkembangnya suatu peradaban. Pemerintah—serta seluruh warga negara—harus memliki kejelian dalam usaha memberantas masalah pandemi ini dengan mencabut major utamanya, yaitu mengenai kasus positif Covid-19.

Namun, pada faktanya pemerintah dengan segala kuasanya, justru dinilai tidak serius dalam melihat realitas masalah ini. Berbagai kebijakan yang berubah-ubah, tentu akan memperpanjang periode pandemi ini semakin panjang pula yang berujung pada kemrosotannya kualitas fragmen-fragmen pendidikan. Ketidakseriusan itu mudah kita temui pada praktik-praktik pemerintah itu sendiri yang sifatnya politis. Serta, penulis menilai bahwa pandemi Covid-19 ini hanya dijadikan kesempatan bagi setiap lawan politik untuk didiskreditkan bahkan diintimidasi dan didiskriminasi, pandemi Covid-19 hanya sebagai alat untuk memukul mundur lawan politik. Di sini sepertinya tidak menjadi perhatian oleh pemerintah untuk mencoba fokus menyelamatkan maslahah pendidikan ini, juga pada partai-partai politik tidak ada rencana, atau pun minimal wacana yang serius mengenai dampak Covid-19 terhadap sektor pendidikan, hanya berpikir tentang bagaimana taktik-taktik politik untuk memenangkan kekuasaan pada periode berikutnya.

Dengan pemerintah melaksanakan kebijakan yang tidak konsisten, sudah pasti permasalan mengenai pandemi ini tidak akan konsisten pula selesainya dan dari situ, sektor pendidikan juga akan terkena imbasnya. Ini memantik pemerintah untuk membuat suatu kebijakan tersendiri di sektor pendidikan, Respon dari hal itu adalah munculnya kebijakan-kebijakan yang akan mendistorsi kualitas pendidikan, seperti pembelajaran daring. Memang, daring ini adalah salah satu upaya pemerintah untuk menekan laju kasus positif Covid-19 dengan tujuan menghindari kontak langsung satu orang dengan orang lainnya. Namun, yang membuat penulis berpikir bahwa akal sehat tidak ditemukan di dalam penyusunan kebijakan pemerintah adalah dengan adanya kebijakan yang konfrontatif di kalangan para aktivis dan akademisi, seperti pembukaan kembali diskotik yang sama sekali tidak bermanfaat, kebijakan pelarangan mudik tetapi memperbolehkan kunjungan pariwisata di tempat-tempat hiburan yang paradoks, dan berbagai kebijakan-kebijakan lain yang ambigu.

Pada Maret-April 2020, Plt Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudyaan Nizam mengatakan, 90 persen mahasiswa lebih memilih kuliah secara offline atau tatap muka di kelas (Kompas, 7/9/2020). Survei tersebut melibatkan 230.000 responden mahasiswa dari 32 provinsi di Indonesia. Ada beragam alasan mahasiswa tidak ingin menjalani kulian daring. Misalnya—dari beberapa pendek pengetahuan penulis mendengar pembicaraan-pembicaraan kawan-kawan mahasiswa—mereka sulit memahami materi yang disampaikan pemateri karena mereka sudah terbiasa menganyam pendidikan dengan tatap muka langsung dengan pendidikan, pikiran tidak bergairah untuk menjalani perkuliahan, merasa ada peningkatan kuantitas tugas yang membuat mahasiswa stres, serta yang terakhir adalah masalah kuota internet dan—dalam beberapa kasus—pengeluhan terhadap uang kuliah tunggal yang dirasa tidak responsif melihat keadaan pandemi, itulah beberapa sebagian besar efek kebiajakan dari adnaya pandemi, apalagi jika kebijakan yang diterapkan untuk melawan masalah pandemi tidak dilakukan secara sungguh-sungguh.

Opsi yang dipilih pemerintah untuk memberlakukan pembelajaran secara daring dapat dikatakan menjadi duri-duri tajam yang melukai pendidikan di Indonesia. Kebijakan yang semula dianggap mampu mengatasi problematik penularan virus Covid-19 justru tidak menyelesaikan masalah. Bersama dengan kebijakannya tersebut pemerintah seakan terjun ke dalam jurang kekacauan. Apabila kita mau membuka mata dengan lebih lebar, pembelajaran daring yang diterapkan selama ini lebih banyak menimbulkan dampak yang tidak baik, daripada dampak yang baik. Pernyataan ini dapat dilihat dari fakta fenomena stres yang terjadi di mahasiswa, akibat tugas yang menumpuk serta penyerapan materi yang sangat minimal. Suatu riset telah mengungkap sebuah fakta, bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapatkan laporan jika 79,9% siswa tidak menyukai pembelajaran di rumah yang dilakukan secara daring, karena ada sekitar 76,8% guru yang tidak melakukan pembelajaran tatap muka virtual, melainkan hanya memberikan tugas-tugas belaka (Jatira & S., 2021). Akibat tugas yang menumpuk dan metode mengajar yang digunakan guru atau dosen pada akhirnya menyebabkan mahasiswa-mahasiswa kemudian merasa kelelahan dan pada akhirnya kondisi psikisnya yang harus dijadikan korban. Padahal di samping faktor fisik, ada faktor psikis yang juga mendukung seorang pribadi untuk beraktivitas.

Berangkat dari fakta yang diungkap oleh KPAI tersebut, penulis kemudian berusaha untuk mengkaji lebih jauh mengenai korelasi antara belajar dan kondisi psikis seseorang. Stres merupakan suatu fenomena inheren yang terjadi di dalam diri tiap individu. Dampak dari stres sendiri bisa mempengaruhi kondisi fisiologis dan psikologis seseorang. Bahkan stres akademik disebut-sebut juga bisa menyebabkan seseorang mengalami depresi apabila tidak ditangani dengan tepat (Jatira & S., 2021). Seorang siswa atau mahasiswa akan merasa sangat bosan apabila ia sepanjang hari hanya duduk di depan layar monitor untuk mengikuti kelas virtual, kemudian mengerjakan tugas setelahnya, dan siklus ini terus berulang setiap harinya. Kebosanan ini juga akan berdampak pada semangat belajar dalam diri seseorang. Ia akan dengan mudah berpikir jika ia masih memiliki banyak waktu untuk mengerjakan ini dan itu. Padahal itu semua adalah jebakan, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan tersebut juga akan menyebabkan manajemen waktu yang buruk. Pada akhirnya nanti akan banyak pekerjaan yang belum tuntas, dan merasa tertekan hingga berujung stres atau mengalami tekanan psikologis yang lain.

Selain metode pengajaran yang hanya berkutat pada penugasan belaka, tanpa memperhatikan esensi dari pembelajaran itu sendiri. Pertimbangan berikutnya mengapa pembelajaran daring dapat mengganggu kondisi psikis mahasiswa adalah kendala jaringan internet yang tidak stabil. Seperti yang kita ketahui, jaringan internet di negeri ini masih sangat lemah dan tidak bisa menjanjikan performa yang stabil untuk pembelajaran daring. Kekuatan jaringan di Indonesia masih berada dalam kategori lemah, bahkan tidak menjangkau area Indonesia yang lebih dalam. Bahkan Indonesia masih berada di urutan ke-121 dalam peringkat tercepat di dunia dengan rata-rata kecepatan unduh di Indonesia hanya berkisar 17,33 Mbps, sedangkan rata-rata kecepatan unggah adalah 11,27 Mbps (Kurniawan, 2021). Kondisi demikian tentu akan menyulitkan mahasiswa dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Ketika mereka dituntut untuk cepat dalam mengakses sumber pembelajaran atau cepat dalam mengerjakan suatu tugas, dan sinyal yang mereka gunakan sangat tidak stabil, dapat dipastikan jika mahasiswa yang bersangkutan akan merasa frustrasi.

Persoalan dampak psikis yang dihadapi oleh mahasiswa selama pembelajaran daring di masa pandemi Covid-19 ini perlu ditangani dengan mekanisme yang tepat, tidak sembarangan. Sebab yang dihadapi adalah masalah pendidikan, kunci utama majunya peradaban. Mekanisme solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan membuka kembali universitas atau lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini ditutup. Apa gunanya pemerintah melarang masyarakat mudik, tetapi alasan berwisata dapat dibenarkan yang jelas-jelas hal tersebut tetap bisa menimbulkan kluster-kluster baru penyebaran Covid-19? Bukankah lebih baik kita membuka universitas atau lembaga pendidikan karena hal tersebut akan membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk kembali dalam pendidikan yang sesungguhnya. Tidak ada lagi masalah tidak memahami mata kuliah tertentu hingga merasa stres atas apa yang ia tempuh. Jika tidak memungkinkan untuk membuka kembali universitas dan lembaga pendidikan, maka mekanisme kedua adalah dengan memberikan kebijakan keringanan UKT, jika perlu pembiayaan UKT akan menjadi tanggung jawab pemerintah hingga periode waktu tertentu. Sebab, selama pandemi ini, yang menjadi keresahan mahasiswa adalah UKT yang masih tetap tinggi padahal kegiatan perkuliahan telah dialihkan secara daring. Dampaknya adalah mahasiswa akan memiliki beban lain selain beban akademik, yaitu beban ekonomi.

Pandemi Covid-19 adalah tanggung jawab kita semua, tidak mungkin kita melepaskan tanggung jawab untuk memulihkan kembali negeri ini dari serangan pandemi Covid-19. Kesehatan tetap menjadi prioritas, tetapi hal tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran untuk mengabaikan sektor-sektor yang lain. Di samping kesehatan yang harus ditangani, ada pendidikan yang juga memerlukan uluran tangan. Pendidikan merupakan aset bangsa yang sangat berharga dan harus dijaga. Saat ini akibat tindakan politis dan pengendalian pandemi Covid-19, pendidikan ikut menjadi imbasnya. Arahnya kian tidak pasti, terombang-ambing ke sana ke mari. Kebijakan pendidikan yang dibuat tampaknya pun hanya sebatas kebijakan, tidak ada persoalan pendidikan yang benar-benar terselesaikan dari kebijakan-kebijakan tersebut. Justru muncul permasalahan-permasalahan baru yang juga membutuhkan penyelesaian masalah yang serius. Peserta didik, guru, dan dosen tampaknya menjadi korban dari kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah, utamanya kebijakan pembelajaran daring. Peserta didik menjadi tidak mampu menyerap informasi dengan tepat, banyak mengeluhkan tidak memahami materi yang disampaikan, bahkan peserta didik merasakan stres, tekanan, dan gangguan psikis lainnya. Pengaruh-pengaruh buruk ini tentu akan sangat berpengaruh pada luaran dari kegiatan belajar mengajar yang dilakukan. Luaran berupa pemahaman yang matang dan mampu mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari akan sangat sulit untuk dicapai. Di sisi lain, kondisi keuangan dari keluarga mahasiswa tentu akan terganggu karena membengkaknya pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran daring. Hal demikian tentu akan semakin menambah rumit masalah yang dihadapi mahasiswa dan orang tua.

Berbelitnya regulasi baik di pusat maupun di daerah juga semakin memperkeruh suasana. Pemerintah dinilai tidak objektif dalam merumuskan suatu kebijakan, dan tidak memandang dari berbagai sisi sebelum pada akhirnya memilih suatu kebijakan. Saat ini yang dibutuhkan hanya satu, yaitu keseriusan dari berbagai pihak dalam menangani permasalahan pendidikan di negeri ini. Harapannya meski sekarang kita masih berperang melawan Covid-19, pendidikan tidak boleh sampai lesu dan lumpuh. Justru di momen inilah pendidikan harus diperkuat lagi fondasinya agar tidak runtuh digerogoti pandemi yang tak kunjung usai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun