Mohon tunggu...
Cindy
Cindy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cindy Kurniawati

Cindy Kurniawati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dariku, untuk Bumi Indonesiaku

19 September 2016   13:35 Diperbarui: 19 September 2016   13:42 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semarang,19 September 2016

Kepada Bumi Indonesiaku,

Baru kali ini terlintas di pikiranku, belum pernah sekalipun aku memandangmu dan mengagumi keindahanmu. Kini terbersit pertanyaan di benakku, apakah ini hanya aku atau memang noda yang menutupimu sudah terlalu tebal, hingga sudah menua dan tidak dapat ditembus oleh mata yang melihat?

Setiap hari kami berjalan diatas tanahmu yang telah dilapis halus, tanpa sadar berapa banyak yang telah rusak.

Bagaimana mungkin bumi yang dulu indah dipenuhi tetumbuhan yang mengakar kuat, sekarang justru gundul, gersang hingga tiada hari tanpa keluh kesah. Hawa panas yang membakar inikah yang dulu kau rasakan ketika kami dengan tamaknya menyulut api yang menghanguskan seluruh hutan? Atau air yang semakin meninggi adalah teriakanmu, peringatan akan badaiyang akan melanda? Apakah alam memang menenggelamkan bangsanya, atau justru memperingatkannya? Banjir telah datang menerjang segala yang kami bangun. Laut yang menjadi sumber kehidupan kami menghitam karena limbah. Pulau-pulau yang kami miliki habis dimakan laut yang semakin tinggi. Tanah yang tak lagi memberikan hasil adalah hasil racun yang kami tebarkan sendiri.

Semua hanya untuk diri sendiri. Hutan yang ditebang habis demi kilau-kilau perhiasan dari tambang. Tanaman yang digilas hingga rata dengan tanah untuk gedung-gedung tinggi yang kami banggakan. Pohon yang telah ditebang demi lembaran kertas yang kami baca. Asap hitam yang membubung tinggi di langit demi aliran uang di pabrik. Laut yang semakin hitam karena minyak yang terus kami hisap.

Tak sadarkah manusia? Padahal, sampah yang kami biarkan menggununglah yang menyebabkan air semakin naik. Udara yang menyesakkan dada pun hasil keegoisan kami yang tidak mau peduli lagi. Meskipun pandangan dipenuhi asap, asap rokok dan pabrik terus menerus mengepul. Bahwa satu batang rokok yang kami isap akan membawa petaka bagi seluruh bumi. Air keruh yang meracuni adalah hasil kotoran yang dibuat manusia sendiri. Manusia sendiri lah yang merusak bumi ini.

Bumi Indonesia bukanlah tempat tinggal lagi. Di sini kami justru saling berlomba-lomba memenuhi pundi-pundi uang kami masing-masing. Umat manusia telah berubah menjadi sesuatu yang tidak lagi peduli. Tak peduli sampah semakin memenuhi tempat tinggal mereka, tak peduli hutan yang hilang karena mereka, tak peduli lagi akan sumber kehidupan mereka.

Lihatlah! Orang-orangmu tidak sadar, bahwa mereka telah terbakar api yang mereka nyalakan!

Barulah sekarang, ketika banjir menerjang, ketika lidah api menyala-nyala, kami bertanya, apakah dulu pun seperti ini rasanya? Atau justru lebih buruk?

Mungkinkah manusia yang selama ini telah kau lindungi di dalam-mu ini telah lupa akan bumi pertiwinya sendiri? Tanah yang dulu kami elu-elukan ini sekarang justru kami sendiri yang merusaknya. Tanah yang kami perjuangkan dengan seluruh jiwa, hingga berkorban nyawa, sekarang justru kami matikan sendiri. Hilang sudah jiwa bumi ini, dengan semua kerusakan di dalamnya, alam bukanlah lagi alam yang dulu. Akal yang diberikan pada manusia bukannya digunakan untuk melindungi, tapi merusak dan menghancurkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun